Sabtu, 16 Juli 2016

Aspirasi Faroek



Persoalan kita, salah satunya, bagaimana mengelola aspirasi. Para pejabat tinggi seperti Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, seringkali mudah mengucapkan kata ‘aspirasi’, tetapi sulit mengelolanya hingga menjadi sebuah kebijakan.
Sederhananya, aspirasi itu adalah keinginan rakyat. Apakah itu menyangkut keamanan, lingkungan, pendidikan dan apa saja yang diatur negara sebagai hak warga negara. Sebutlah kondisi jalan yang mulus, jembatan penghubung agar akses ekonomi dan sosial warga lebih mudah.
Dari tingkatannya, bisa dibilang begini; aspirasi si A disampaikan kepada pimpinan di kampungnya, terus sampai ke Lurah, Camat, terus Bupati / Wali Kota. Bisa juga melalui perwakilannya di DPRD, terus dibawa ke rapat dewan sampai paripurna untuk memutuskan kebijakan merealisasi aspirasi itu.
Itu adalah langkah-langkah ideal. Aspirasi perorangan dari warga kemudian dikaji apakah menjadi aspirasi warga secara umum. Semakin detil meneliti, maka semakin diketahui bahwa ‘keinginan’ rakyat memang seperti yang disampaikan oknum warga tadi.
Sampai di sini, tidak ada yang bisa membantah bahwa ada sistim ‘mengalirnya’ aspirasi dalam sistim pemerintahan di negeri ini. Yaitu ada Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini lebih akrab disebut UU Otonomi Daerah.
Sangat jelas, akumulasi dari aspirasi rakyat itu muaranya ada di Bupati / wali kota atau di DPRD masing-masing. Dari sana dipilah-pilah mana ditujukan kepada Pemerintahan Provinsi dan mana aspirasi untuk kepentingan pemerintah pusat. Dua pemerintahan di atas kabupaten / kota adalah fasilitator agar terwujudnya aspirasi masyarakat. Mereka menghitung anggaran apakah proyek jalan yang diminta warga bisa dipenuhi.
Dengan komposisi manajemen pemerintahan seperti itu, semestinya seorang Gubernur di suatu daerah hanya menjalankan tugas-tugas fasilitator dari aspirasi masyarakat. Apalagi posisinya juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Manakala Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dengan sangat ngotot menuangkan ide membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda, saya sejak tahun 2009 lalu sudah menggulirkan pertanyaan; “Jalan tol itu aspirasi dari mana. Siapa punya ide?”
Sebagai seorang wartawan, saya mencatat  tidak pernah ada muncul penyampaian aspirasi tentang  jalan tol dari masyarakat kepada Wali Kota Balikpapan, Bupati Kutai Kartanegara maupun Wali Kota Samarinda. Ketiga pejabat itu adalah pemimpin di ketiga daerah yang bakal dilewati jalan tol.
Wacana jalan tol pernah ada di era Gubernur Suwarna AF. Itupun tidak melewati mekanisme penjaringan aspirasi dari rakyat. Hanya tiba-tiba saja muncul di APBD Kaltim untuk memulai memetakan jalurnya.
Ini model aspirasi jaman dulu. Era sebelum reformasi. Di mana penguasa selalu memaksakan kehendaknya. Memaksakan aspirasi pribadinya. Model yang begitu, ternyata masih berulang diera reformasi. #




Ssst.. Kutai Raya Serius

Dulu, zaman Syaukani HR menjadi Bupati Kutai yang kemudian berubah menjadi Kutai Kartanegara, predikat buruk selalu menyertai penyebutan daerah ini. Ada beberapa kalimat favorit yang melekat kalau menyebut Kukar. Misalnya, daerah kaya tapi masyarakat miskinnya terbesar. Lalu, daerah para koruptor.
Memang tidak ada yang bisa membantah. Karena semua adalah fakta. Pemberi data tentang jumlah kemiskinan adalah lembaga berkompeten seperti BPS (Badan Pusat Statistik). Sementara, untuk iko n ‘daerah para koruptor’, lantaran di era reformasi ini banyak pejabat dari daerah itu yang ditangkap karena kasus korupsi. Seperti Bupati Syaukani HR dan juga wakilnya Syamsuri Aspar.
Apa penyebab munculnya predikat minor dari Kutai Kartanegara? Barangkali baru bisa dicari jawabnya ketika pemerintahan telah berpindah. Bupati Syaukani yang tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya karena masuk penjara dan sakit permanen, ternyata mewariskan kharismanya kepada salah seorang putrinya, Rita Widyasari.
Saat Pilkada Kukar tahun 2010, Rita Widyasari, putri kedua Syaukani memutuskan maju dan ternyata menang. Setelah tiga tahun menjadi Bupati, Rita semakin memahami mengapa citra buruk itu menimpa Kukar.
Salah satu masalah, ternyata adalah karena Pemprov dan Pemerintah Pusat minim perhatian terhadap Kukar. Merasa bahwa Kukar memiliki APBD terbesar di antara kabupaten / kota se-Kaltim, Pemprov dan pusat seolah tak lagi begitu peduli pembangunan sarana publik yang sangat penting. Contohnya adalah pembangunan sarana jalan provinsi maupun jalan negara. Keberadaan jalan-jalan poros ini teramat penting untuk menyambung jalan-jalan kampung.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak diangap Bupati Rita tidak mau memperhatikan aspirasi rakyat Kukar. Ia berjalan dengan programnya sendiri. Padahal, sumber keuangan untuk membiayai APBD provinsi Kaltim sebagian berasal dari hasil pengolahan sumber daya alam di Kutai Kartanegara. Tiap tahun tidak kurang dari Rp130 triliun disumbangkan dari daerah bersejarah Kerajaan Mulawarman itu.
Puncak kekecewaan Bupati Rita tak terbendung lagi. Ia dengan keras menyuarakannya saat Musrenbang tingkat provinsi berlangsung. “Kalau begini kami tidak diperhatikan, lebih baik kami membentuk provinsi baru, Kutai Raya,” seru Rita.
Semua peserta tercengang. Baru kali ini ada pejabat – perempuan dan muda lagi – berani garang dengan kebijakan Pemprov Kaltim yang dipimpin Awang Faroek Ishak. Terlalu lama tidak ada bupati dan wali kota yang siap bersikap berlawanan dengan sang Gubernur, walau banyak kebijakannya tidak mengakar untuk kepentingan masyarakat daerahnya.
Memang, waktu itu, kesannya Rita hanya menumpahkan kekecewaan semata. Tapi sebenarnya, rencana untuk membentuk provinsi baru itu bukan baru mengemuka. Sejak ayahandanya, Syaukani menjadi bupati, sudah muncul wacana tersebut. Rita yang pada awal kepemimpinan bupati berjanji melanjutkan cita-cita Syaukani, benar-benar serius menjalankannya.  Bravo!
==

Rita Dapat Dukungan

Wacana membentuk Provinsi Kutai Raya dilontarkan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari. Diam-diam, perencanaan sudah berjalan.

Rita Widyasari, tadinya tenang. Saat Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) Kaltim berlangsung di Lamin Etam, hari Rabu 3 April 2013 silam, perempuan satu-satunya bupati se provinsi Kalimantan Timur itu duduk mendengarkan pemaparan dari Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Tentu tentang rencana membangun provinsi tahun 2013 ini.
Saat tiba giliran dibuka dialog, Rita tak menyia-nyiakan. Dengan suara yang keras, ia mengaku kecewa dengan Pemerintah Provinsi Kaltim. Pasalnya, rencana membangun jembatan Loa Kulu yang telah diagendakan, tidak masuk dalam rencana anggaran.
Karena merasa Pemprov Kaltim tidak  mampu memperjuangkan, Rita dengan spontan mengatakan akan membentuk Provinsi Kutai Raya. Karena kontribusi daerah itu cukup besara ke devisa negara. Sekitar Rp130 triliun, sehingga dianggap mampu dari sisi keuangan membiayai provinsi sekalipun.
Wacana Kutai Raya, sebenarnya pernah juga dicetuskan ayah Rita, yakni Syaukani HR ketika menjabat Bupati daerah itu. Hanya saja, Syaukani memilih merintisnya dengan tidak terbuka. Ia telah mengumpulkan dukungan dari anggota DPRD, termasuk juga kesultanan. Sayangnya, rencana dengan gerakan diam-diam itu kandas setelah Syaukani masuk penjara.
Munculnya lagi rencana membentuk Kutai Raya, diyakini beberapa pihak bukan sekedar kekecewaan Rita Widyasari. Ia telah mewarisi cita-cita ayahandanya, seperti janjinya sebelum menjadi bupati, akan meneruskan perjuangan Syaukani. Sedangkan masalah perlakuan Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat yang dianggap tidak berkeadilan terhadap Kukar, hanya jadi pemicu saja.
Tidak hanya pada acara Musrenbang di Lamin Etam Samarinda, Rita juga menyampaikan sikap emosionalnya saat dilakukan peletakan batu pertama (Groundbreaking) Pembangunan Jembatan Kartanegara di lokasi jembatan yang runtuh dua tahun silam.
Rita menuding Pemprov tidak care. Jalan-jalan berstatus jalan provinsi tidak tersentuh dan sebagian besar kondisinya rusak parah. Padahal jalan protokol seperti itu sangat penting keberadaannya untuk mendorong perbaikan jalan-jalan antar kampung. Begitu juga jalan arteri primer berstatus jalan negara.
“Saya merasa sulit sekali membangun Kukar,” ujar Rita. “Kukar tak meminta banyak hanya sedikit keadilan,” lanjutnya. Ia memperlihatkan fakta, ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun.
“Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN,” ujarnya, ketus.
Soal jalan-jalan yang rusak, warga seluruh Kaltim sudah merasa jengkel dengan Gubernur Awang Faroek Ishak. Sebab keluhan ini juga dialami oleh warga kabupaten dan kota lain se-Kaltim. Hanya saja, para bupati dan wali kotanya tidak ada yang berani garang seperti yang dilakukan Rita. Selama ini banyak yang kesal karena Gubernur Awang Faroek memilih melaksanakan agendanya sendiri, seperti membangun jalan tol sementara banyak jalan provinsi dibiarkan rusak parah.
Dukungan terhadap pembentukan Provinsi Kutai Raya, spontan diberikan anggota DPRD Kutai Kartanegara. Misalnya Guntur, Plt Wakil Ketua DPRD Kukar, menganggap wacana itu wajar dan patut direalisasikan karena dengan konstribusi sekitar Rp130 triliun per tahun ke kas negara, Kukar bisa menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru).
Di Tenggarong, gema pembentukan provinsi Kutai Raya juga bergulir positif. Masyarakat setempat semakin memahami kenapa banyak jalan di daerah mereka mengalami rusak-rusak, namun tidak ada upaya perbaikan dari Pemprov Kaltim maupun pusat.
“Lebih baik gabung provinsi sendiri kalau memang memungkinkan,” tutur Syaref, seorang pedagang minuman ringan di sana.
Spekulasi tentang provinsi baru Kutai Raya yang menyebar di masyarakat menyebut Kukar akan bergabung dengan Kutai Barat, Kutai Timur, Berau dan Kabupaten Mahakam Ulu. Dengan lima kabupaten tersebut, sudah cukup syarat untuk mendirikan provinsi.
Namun beberapa kalangan yang dekat dengan Rita Widyasari menceritakan, wacana pembentukan provinsi Kutai Raya memang santer dibicarakan di kalangan terbatas. Ini berawal dari keinginan Rita menjawab perkembangan aspirasi pembentukan Kutai Pesisir yang tinggal menunggu restu dari Rita selaku bupati.
Rita konon tidak begitu happy dengan rencana membentuk Kutai Pesisir karena dirasakan kurang berkeadilan dengan kecamatan-kecamatan di kabupaten induk. Seperti diketahui Kabupaten Kutai Pesisir berkeinginan mencaplok Kecamatan Muara Jawa, Samboja, Sanga-sanga, Muara Badak dan Loa Janan sebagai daerahnya, padahal kecamatan itu adalah ladang migas yang menjadi sumber pendapatan APBD Kutai Kartanegara.
Tim Pemkab Kukar lebih memilih opsi lain, yakni melakukan pemekaran kecamatan lebih banyak untuk menjadi kabupaten, sekaligus mempersiapkan terbentuknya Provinsi Kutai Raya. Daerah yang rencana dimekarkan di antaranya, Kecamatan Samboja akan dimekarkan menjadi lima kecamatan dan kemudian membentuk Kabupaten Samboja.
Rencana kedua membentuk Kabupaten Muara Jawa yang berintegrasi dengan Sanga-sanga dan Loa Janan, ditambah memekarkan lagi beberapa kecamatan. Pemekaran ketiga adalah membentuk Kabupaten Muara Badak yang bergabung dengan Tenggarong Seberang ditambah memekarkan kecamatan lagi.
Di sebelah hulu, rencana memekarkan Kutai Tengah juga sudah bergulir sejak era Bupati Syaukani. Kabupaten Kutai Tengah terdiri dari Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Muara Muntai, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang. Deklarasi Kutai Tengah pernah dilaksanakan di Kota Bangun dan mendapat dukungan Sultan Solehuddin II dan kerabat kesultanan. #les


==





///foto: rita widyasari///
Saya Punya Kajian Kutai Raya

“Hidup ini adalah tantangan. Hadapilah,” demikian tulis perempuan Kelahiran 7 November 1973 di ruang kutipan favorit akun facebooknya, Rita Kaning.
Dan, terbukti, meski begitu kuat terjangan ‘badai’ yang pernah menimpa diri dan juga keluarganya, ia malah semakin kokoh. Ia mampu menghadapi tantangan itu.
Rita Widyasari dalam akun facebook sengaja memakai nama Rita Kaning. Selain untuk mendekatkan publik di media sosial dengan ayahandanya, Syaukani Hasan Rais yang akrab dipanggil Kaning, juga lantaran beberapa akun facebook Rita yang memakai lengkap namanya, konon, dihack oleh orang tidak bertanggungjawab.
“Maaf ya, kalau ada akun dengan nama saya lagi, itu bukan saya. Ini akun asli saya,” tulis Rita kemudian di media sosial itu.
Nama Syaukani Hasan Rais, di dunia politik Kalimantan Timur, masih begitu dikenang. Beliau adalah ayahanda Rita Widyasari yang terkenal berani. Waktu era Presiden Soeharto, Kaning malah sudah lebih dulu mewacanakan sistim negara federal yang cocok untuk Kutai Kartanegara. Pernyataan itu menjadikannya diperhitungkan di forum-forum nasional, sampai akhirnya dipilih menjadi Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia).
Syaukani juga yang berani melawan kebijakan Gubernur Kaltim Suwarna AF sehingga membuat keduanya saling bermusuhan. Sayangnya, Syaukani yang pernah jadi Ketua Partai Golkar Kaltim itu harus mengakhiri karirnya di penjara. Dan, saat menjalani hukuman, ia terserang sakit yang membuatnya mendapat pembebasan karena dokter memvonisnya sakit permanen.
Belakangan ini, Rita Widyasari menjadi pusat perhatian. Ia jadi satu-satunya bupati di Kaltim – setelah era ayahandanya Syaukani – yang berani menentang kebijakan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Apakah ia akan mengulang reputasi ayahandanya?
Rita merasa kecewa dengan Pemprov Kaltim yang tidak memperjuangkan anggaran proyek jembatan Loa Kulu. Padahal, sebelumnya telah dijanjikan gubernur untuk dimasukkan dalam proyek MP3EI (Masterplan percepatan, perluasan pembangunan ekonomi Indinesia). Dengan spontan Rita mengatakan lebih baik berpisah dengan Kaltim dan membentuk provinsi baru bernama Kutai Raya.
Semua terkaget-kaget. Perempuan lembut dengan tiga anak ini tiba-tiba saja bisa begitu garang. Apalagi Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak masih ada hubungan keluarga dengannya. Ibu kandung Rita masih bersepupu dengan Awang Faroek.
Masa remaja Rita dihabiskan untuk dunia seni. Ia sering tampil dalam even-even peragaan busana. Namun siapa mengira justru dia yang mewarisi bakat politik dari ayahandanya. Kakak perempuannya, Silvy Agustina, lebih memilih mengabdi kepada suami, mengurus rumah tangga. Sedangkan seorang adik lelakinya, Windra Sudarta yang akrab dipanggil I’ing baru meninggal dunia karena sakit kronis yang dideritanya.
Apa sebenarnya cerita di balik terlontarnya ide mendirikan Provinsi Kutai Raya itu, berikut petikannya.

Ide  berpisah dengan Kalimantan Timur itu, apa hanya karena emosional kekecewaan?
Sebenarnya tidak. Itu akumulasi. Saya menyampaikan untuk membentuk provinsi kutai raya, (karena) saya punya kajian. Bagaimana caranya, harus jadi provinsi. Ini kan karena pemerataan tidak dirasakan Kutai Kartanegara. Kalau pembangunan merata, ya ngapain sih pemekaran.
Anda merasakan Pemprov Kaltim sengaja tidak memperhatikan Kukar?
Jalan-jalan provinsi banyak yang rusak berat. Jembatan Loa Kulu yang sudah dijanjikan didanai APBN ternyata tidak masuk dalam program MP3EI. Masalah pembangunan bandara, kami sudah berusaha mengalah, bahwa membangunnya dengan dana investor supaya kukar punya bandara, tapi kan tidak diperjuangkan juga.
Sebagai Bupati, Anda bilang malu dengan masyarakat karena jalan-jalan rusak?
Memang. Dulu, dalam  rapat kerja saya bilang, 2015 tak ada jalan jelek lagi di Kukar. Minimal jalan protokol hingga ke kecamatan. Ini kan janji saya. Semoga Pak Gubernur mengerti bahwa saya hanya minta diberi perhatian lebih karena kami penyumbang terbesar.
Kok bisa jalan-jalan provinsi tidak diperhatikan?
Di Kukar, banyak jalan provinsi yang belum tersentuh perbaikan. Belum lagi jalan arteri primer yang merupakan kewenangan nasional. Ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun. Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN.
Begitu juga jalan kolektor II di Kukar yang merupakan kewenangan provinsi, banyak yang rusak berat. Hanya jalur Balikpapan-Samboja dan Samarinda-Anggana yang kondisinya baik. Sedangkan dari Samarinda-Sangasanga jauh dari kata mulus. Begitu pula Simpang Patung Lembuswana (Tenggarong Seberang)-Muara Kaman yang nyaris tak pernah bagus.
Jalur Sebulu-Muara Kaman sudah lama rusak. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) saya, mobilnya ambles di kubangan lumpur saat pulang dari MTQ. Terus di jalur Samarinda-Sangasanga yang selalu saya lewati ketika peringatan Peristiwa Merah Putih. Rusaknya jalan malah membuat peralatan untuk pameran peringatan peristiwa bersejarah malah banyak rusak ketika dibawa.
Jalan provinsi rusak, Anda yang disalahkan warga?

Iya. Banyak warga hingga tokoh masyarakat yang tak mengerti tentang jaringan jalan.  Misalnya jalan lokal yang menjadi tanggungan APBD Kukar, yaitu hanya berupa jalan lingkungan dan jalan desa.  Sedangkan jalan provinsi dan jalan negara rusak, juga yang tertimpa kecaman warga adalah bupatinya.
Anda konsentrasi ke pembangunan  jalan ya?
Kepada semua pihak, mulai Ketua DPRD Kaltim, Gubernur, dan kepala SKPD provinsi, saya ingin menyampaikan sesuatu. Jika saya sendirian membangun dan memelihara jalan, tak akan bisa. Kami (saat ini) tidak membangun gedung mewah sebelum jalan mulus terbentang. Itu bisa terlihat dari APBD Kukar yang lebih banyak dialokasikan ke Bina Marga yang mengurusi jalan ketimbang Cipta Karya. Dinas Pendidikan pun, tidak boleh membangun sekolah baru kalau masih ada sekolah jelek.
Bagaimana kondisi di Hulu Mahakam?
Berbicara kondisi kecamatan Kukar di hulu Sungai Mahakam jauh lebih menyedihkan. Itu sebabnya saya lebih memilih memakai speedboat ketimbang melewati jalur darat. Jika ke hulu lagi, saya lebih baik naik helikopter. Bukan sombong, kondisi jalan yang tak memungkinkan. Bisa bikin pinggang patah. Padahal tahun ini, 12 negara akan datang saat Erau. Tapi terasa malu karena kondisi jalan di Kukar seperti tahun 1945.

Statemen Anda sangat menyerang Gubernur Awang Faroek. Ada agenda lain?
Begini, jangan karena masalah ini, ada yang beranggapan saya benci Pak Gubernur. Saya hanya mengingatkan bahwa Kukar banyak mengalah. (Contohnya) kami tiap tahun Erau, tapi jalan menuju Tenggarong tak dibangun-bangun. Jembatan sudah kami bangun sendiri.
Saya ini pendeklarator Pak Mukmin (Faisjal) dan Pak Awang Faroek Ishak (gubernur). Setitikpun saya enggak ada niat menjelekkan calon saya. Saya hanya minta Kukar diperhatikan. Minta Kukar jadi daerah tujuan. Karena selama ini saya (Kukar) merasa dinomorduakan.
Jangan beranggapan saya mau jadi gubernur. (Atau hanya sekadar) mau tenar atau ikut-ikut Pak Syaukani dan Pak Suwarna. Saya ini politisi yang enggak mau punya musuh. Asal Kukar diperhatikan, saya akan jadi anak manis.
Kasihan rakyat saya yang naik kapal tiap hari. Jadi, saya mau cepat ada jembatan, tidak satu tapi 2 buah. Catat,  saya tidak mau menjatuhkan nama Pak Gubernur. Saya cuma minta dibuatkan jembatan dan jalan yang dibiayai dan dilelang di pusat dan provinsi.
Kata Pemprov Kaltim, Kukar punya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) Kukar besar. Dari Rp 6,92 triliun APBD Kukar 2012, Silpa mencapai 52 persen, sekitar Rp 3,5 triliun. Dianggap tidak mampu habiskan anggaran. Jadi gak perlu dibantu lagi?
Silpa tak bisa menjadi penghambat upaya Pemprov membangun di Kukar. Masalah Silpa, memang kalau bangun jembatan Loa Kulu masuk APBD Kukar? Bangun jalan Loa Janan- Loa Kulu dan Trans Kaltim masuk APBD Kukar? Jelas tidak. Jembatan Loa Kulu jelas dilelang pusat, juga jalan-jalan tadi.
 (Untuk) jalan Trans Kaltim, ya, dilelang di Pemprov Kaltim. Jadi tak ada hubungannya antara Silpa dan APBD Kukar. Jangan keluar subtansilah.
Silpa kami Rp 3,447 triliun. Terdiri dari over pendapatan Rp 1,6 triliun dan sisa belanja Rp 1,746 triliun. Jadi bukan Silpa Rp 3,5 triliun. Masalah angka jangan salah,karena ini pasti. #

Tidak ada komentar: