Sabtu, 30 Juli 2011

Devide Et Impera


Politik adu domba. Itu terjemahan bebas dari devide et impera. Kalimat yang identik dengan politik Belanda ketika menjajah Indonesia.
Tujuan Belanda waktu itu sangat jelas. Yakni memecah kelompok besar menjadi kecil-kecil. Dengan demikian tidak ada kekuatan besar yang bisa mengalahkan Belanda.
Sebenarnya, bukan cuma Belanda yang menerapkan strategi ‘pecah belah’. Bukan pula hanya ada dalam dunia politik, tetapi taktik seperti itu selalu muncul pada bidang-bidang yang punya kuasa besar seperti sektor ekonomi.
Devide et impera sudah menjadi strategi standar. Yang digunakan untuk mempertahankan keuntungan besar perusahaan dari tuntutan buruh, bahkan tuntutan masyarakat dan pemerintah lokal di mana perusahaan itu beroperasi.
Entah disadari atau tidak, setidaknya rakyat Kalimantan Timur pernah menyaksikan adanya praktik mirip devide et impera ketika PT Kaltim Prima Coal (KPC) diwajibkan mendisvestasikan sahamnya kepada pemerintah atau pengusaha dalam negeri. Begitu banyak yang mengincar saham itu, sampai akhirnya sesama lembaga dan orang Kaltim saling mencurigai dan berbuntut perpecahan.
Waktu itu, antar pemerintah sudah ‘berperang’. Pemerintah pusat dan oknum-oknumnya punya agenda sendiri, begitu juga Pemerintah Provinsi Kaltim yang dikomandani Gubernur Suwarna AF serta Bupati Kutai Timur, Mahyudin.
Belum lagi ada kelompok-kelompok pengusaha yang juga sama-sama mengincar keuntungan jika membeli saham perusahaan batubara yang beroperasi di Sengata Kutai Timur itu.
Pendek cerita, karena masing-masing pemerintahan punya agenda, polemik pun tak terhindarkan. Masing-masing membawa ‘jago’ siapa yang mau membeli saham. Sampai akhirnya jatuh ke tangan BUMI (Bumi Resources), perusahaan yang sahamnya ada dimiliki Aburizal Bakrie.
Alih-alih bisa memiliki saham, yang terjadi adalah ‘pertempuran’ panjang. Masing-masing tingkatan pemerintahan berargumentasi paling berhak, tapi akhirnya hanya pemerintahan Kutai Timur yang dapat goodwill sebesar 5 persen. Padahal, waktu itu Pemprov Kaltim yang paling gigih.
Entah disadari atau tidak, atau entah ada yang memainkan atau tidak, yang pasti tidak ada kesamaan berpikir antar tingkat pemerintahan waktu itu. Masing-masing ngotot membawa argumen sendiri dan memberikan kesan adanya perpecahan di pemerintahan. Semua mempertahankan egonya.
Pengalaman buruk bernegosiasi soal divestasi saham KPC, boleh jadi menimbulkan kesadaran orang-orang pemerintahan. Tapi, anehnya, justru ketika masuk membahas soal kemungkinan memiliki saham di perusahaan pengelola ladang minyak dan gas Blok Mahakam, skenario yang ditempuh nyaris sama.
Pemerintah Provinsi Kaltim yang nampak tergiur, bertindak menyusun skenario sendiri. Menggandeng calon pembeli saham dan pengelolanya dari PT Yudhistira Bumi Energi. Tidak ketinggalan Pemprov juga membuat perusahaan sendiri PT PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Ini adalah perusahaan daerah (Perusda) baru di Pemprov Kaltim yang direktur utamanya Sofyan Helmi.
Skenario Pemprov, PT YBE dan PT MMP akan membentuk lagi perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE). Inilah perusahaan yang bergerak menjadi pengelola baru sumur Migas Blok Mahakam itu. Tak hanya sebatas skenario, tapi sudah ada bagi-bagi tentang kepemilikan saham.
Kalau dicermati, Pemprov benar-benar berusaha keras menggolkan maksudnya. Sama seperti yang dilakukan Pemprov Kaltim ketika berjuang mendapatkan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF juga membawa PT Intan Ini Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC. Sampai akhirnya ‘bertempur’ dengan Pemkab Kutim yang merasa berhak karena perusahaan beroperasi di daerah mereka.
Bagaimana dengan Blok Mahakam?
‘Pertempuran’ serupa nampaknya nyaris tak terhindarkan juga. Sebab Blok Mahakam berada di wilayah administrasi Kutai Kartanegara. Saat ini Pemkab Kukar sudah mulai meradang karena tak banyak dilibatkan dalam skenario yang dibuat Pemprov Kaltim.
Persoalannya, apakah ini juga bagian dari skenario pecah belah alias devide et impera dari pihak tertentu yang mencoba memainkannya?
Wallahulam. Kita tunggu kelanjutannya. **

=================================================================

Berbisnis di Blok Mahakam

Total E&P Indonesie baru habis masa kontraknya atas ladang minyak dan gas di Blok Mahakam pada tahun 31 Maret 2017. Tapi Pemprov Kaltim sudah pasang skenario untuk menguasainya.


Dulu, orang tak berpikir sampai ke bulan. Tapi, kenyataannya, Neil Amstrong menjawab mimpi-mimpi itu. Tak ada yang tidak mungkin. Begitu pula ketika daerah bermimpi menjadi pengelola sumber daya alam (SDA) seperti batubara serta minyak dan gas. Semua sudah serba terbuka, tinggal orang daerah membuktikannya; apa memang bisa.
Pekan tadi, mimpi bisa menggali minyak dan gas itu mencuat ke permukaan. Ada Pemerintah Provinsi dikomandani Awang Faroek Ishak yang disimbolkan tengah berjuang, dan ada pejabat publik, masyarakat serta Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang juga merasa berhak atas pengelolaan migas itu karena lokasi tambang ada di daerah administrasi mereka.
Nama lokasi tambang itu adalah Blok Mahakam. Saat ini pengeboran dilakukan PT Total E&P Indonesie (TEPI) dan Inpex Corporation. Tahun 2017 kontrak perusahaan asing itu berakhir.
Nah, tujuh tahun sebelum tiba masa berakhirnya kontrak, Pemprov Kaltim berusaha intervensi ke dalam bisnis minyak yang menggiurkan itu. Katanya, peraturan memungkinkannya. Contohnya adalah di Blok Cepu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pemprov Riau, Pemprov Sumsel dan Pemkab Bekasi. Daerah-daerah itu sudah lebih dulu membentuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk eksploitasi minyak dan gas.
Pemprov Kaltim bukan secara tiba-tiba ingin berbisnis tambang Migas. Setidaknya sejak tahun 2009 lalu, ide itu sudah tercermin dalam usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam usulan yang disampaikan eksekutif kepada legislatif, Pemprov Kaltim meminta restu agar dialokasikan penyertaan modal usaha Migas sebesar Rp160 Miliar.
Hanya saja, dalam usulan tersebut disebutkan penyertaan modal dalam usaha pertambangan baru di Simenggaris Nunukan. Bukan di Blok Mahakam seperti yang heboh belakangan ini.
Secara aturan, daerah memang berpeluang menjadi pengelola langsung sumur-sumur migas di daerah masing-masing. Bukan hanya sumur-sumur tua eks perusahaan multinasional yang habis kontrak, tapi juga sumur-sumur baru yang belum tergarap. Tinggal bagaimana kemampuan daerah itu, baik menyangkut sumber daya manusia maupun keuangan.
Salah satu aturan yang memungkinkan daerah mengoperasikan sumur Migas adalah Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001. Kemudian ada juga Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1 Tahun 2008. Selain mengelola sendiri, juga dibolehkan berpartisipasi memiliki saham. Di Blok Cepu, Pemerintahan Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapat participating interest (PI) sebesar 10 persen.
Di Blok Cepu, peran mereka hanya sebatas pemilik saham. Sedangkan operator tetap dipegang Exxon Mobile. Itu sebab ketika muncul gunjang-ganjing soal terjadinya penurunan produksi, pemerintah daerah selaku pemilik saham jadi ikut gusar karena kalkulasi mereka soal bagi hasil perimbangan keuangan dan deviden pemilikan saham ikut terganggu pula.
Begitu pula ketika operasi Blok Cepu memerlukan penambahan biaya investasi. Misalnya tahun 2006, saat rencana pengembangan Blok Cepu (PoD-Plan of Development) untuk ladang Banyuurip membengkak dari USD 2,7 Miliar menjadi USD 5 Miliar, BUMD Migas yang dibentuk pemerintah daerah Blora jadi kalang kabut. Sebab, dari yang semula hanya disediakan Rp700 Miliar, kini harus disediakan Rp1,3 Triliun. Demikian pula dengan BUMD Jateng yang semula hanya menginvestasikan dana sekitar Rp 350 miliar kini harus menyediakan dana sekitar Rp 700 miliar.
Cerita pemilikan saham di Blok Cepu, barangkali bisa jadi bahan pemikiran bagi niat kuat Pemprov Kaltim untuk menguasai saham perusahaan operator di Blok Mahakam. Apalagi, seperti didengungkan, niat Pemprov memiliki saham itu sebelum berakhirnya masa kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017.
Skenarionya, saat Total E&P Indonesie mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah pusat untuk menjadi perusahaan operator 25 tahun ke depan, Pemprov Kaltim juga melakukan intervensi kepada pemerintah pusat. Harapan dari intervensi ini, Pemprov dengan Perusda Migas yang dibentuknya bisa membeli 10 persen saham tersebut. Bahkan Pemprov sudah menggandeng perusahaan swasta PT Yudistira Bumi Energi (YBM). Disebut-sebut perusahaan ini bisa menggelontorkan sebanyak USD600 Miliar alias sekitar Rp6 Triliun demi membeli saham tersebut.
Rupanya, YBM sudah menyusun skenario pembiayaan sebelum mempengaruhi Pemprov Kaltim agar mendukung niat mereka. Jurus skema keuangan yang diusungnya adalah pinjam dari lembaga keuangan Morgan Stanley.
Reputasi Morgan Stanley dalam percaturan pembiayaan proyek-proyek global memang tak diragukan lagi. Lembaga ini terlibat dalam 5 proyek besar di Indonesia, yakni 1. Proyek Cruise Terminal Tanah Ampo, Karangasem, Bali; 2. Proyek Pengembangan Rel Kereta Api Bandara Sukarno Hatta – Stasiun Manggarai; 3. Proyek Listrik Swasta (IPP/Independent Power Producer) PLTU Jawa Tengah; 4. Proyek Jalan Tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi; dan 5. Proyek Umbulan Water Suply, Jawa Timur.
Meski kantor pusatnya di New York Amerika Serikat, namun untuk melayani kawasan Asia Tenggara, Morgan Stanley ini memiliki perwakilan di Singapura. Konon kabarnya, PT YBE yang dikendalikan oleh Yulius Isyudianto sudah lobi-lobi ke Morgan Stanley. Yulius yang tercatat juga sebagai komisaris PT Ramadina Mitra Buana, perusahaan pertambangan Migas juga, langsung dipercaya oleh Pemprov Kaltim untuk menangani Blok Mahakam.
Skenario Pemprov sudah matang betul bersama YBM. Satu persatu siasat itu dijalankan, apalagi ada ‘angin surga’ bahwa jika skenario benar-benar lolos, maka sudah terbayang di depan mata ada pemasukan bagi kas Pemprov sebesar Rp 350 miliar setiap tahun. Perhitungan itu didasarkan asumsi Pertamina setuju melepas 15 persen sahamnya dari pengelolaan Blok Mahakam.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya. Mengapa sekitar Rp 350 miliar? Karena diperkirakan 15 persen saham yang dilepas Pertamina itu adalah bernilai sekitar Rp 2,5 triliun lebih, dan ketika dibagi 15 persen Kaltim dan 85 persennya adalah PT Yudhistira, maka yang kita dapatkan sekitar Rp 350 miliar itu," kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Angan-angan itu kian bertambah besar mencapai 30 persen atau sekitar Rp700 Miliar setelah tahun 2017. "Makanya ketika berbicara saham pengelolaan Blok Mahakam itu ada dua macam, yakni sebelum 2017 atau sebelum kontrak Total E&P habis, dan setelahnya sampai 2025. Nah yang kita perjuangkan sekarang ini adalah sebelumnya, sedangkan setelahnya sudah ada ketentuannya siapapun yang nantinya mengelola Blok Mahakam itu, kita mendapat bagian 30 persen," kata Hazairin.
Makin tergiurnya Pemprov Kaltim, karena muncul berita bahwa Blok Mahakam menyimpan kandungan sekitar 13 TCF dan tingkat produksi rata-rata 26 miliar kaki kubik per hari (mmscfd). Disebut pula operasi Blok Mahakam masih dapat berlangsung sekitar 20 tahun ke depan. Hal ini lebih lama sekitar 13 tahun dibanding masa kontrak yang akan berakhir pada tahun 2017.
Jika harga rata-rata minyak selama periode produksi diasumsikan (moderat) sebesar US$ 80/barel dan 1 barel oil equivalent, boe = 5,487 cubic feet (CF), maka potensi keseluruhan blok adalah sekitar US$ 190 miliar atau Rp 1800 triliun. Ayo! Siapa tak tergiur? **

=======================================================

UU RI No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas

Pasal 9

(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.


==================================================

Pemprov Sudah Kolutif


Munculnya nama PT Yudistira Bumi Energi (YBE) yang dikomandani Yulius Isyudianto langsung menyengat publik. Termasuk sebagian anggota DPRD Kalimantan Timur.

Kisah pilu warga Kalimantan Timur sekitar 18 tahun silam seperti bakal terulang lagi. Yaitu ‘drama’ panjang perebutan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang mesti didivestasi mulai 10, 15 sampai 55 persen.
Waktu itu, Gubernur Kaltim Suwarna AF memulai cerita bahwa PT KPC wajib mendivestasikan sahamnya. Kemudian ia memperkenalkan sebuah perusahaan di bawah bendera Salim Grup, PT Intan Bumi Pradana, sebagai mitra Pemprov Kaltim yang bersedia mengucurkan modal membeli saham itu.
Alhasil, Gubernur Suwarna jadi ‘bulan-bulanan’ publik. Ia dicurigai melakukan kolusi, karena secara tiba-tiba sudah menggandeng perusahaan yang namanya asing di telinga orang Kaltim. Dan akhirnya perusahaan yang digandeng Suwarna tidak bisa menggapai niatnya menguasai saham PT KPC.
Sejak beberapa pekan lalu, Pemprov Kaltim yang dikomandani Awang Faroek Ishak juga membawa cerita serupa. Kalau era Suwarna adalah bisnis batubara, di era Faroek lebih canggih lagi yakni minyak dan gas bumi. Singkat cerita, Pemprov Kaltim ingin jadi juragan minyak dan gas. Tak sekedar jadi penonton, tapi bisa berbisnis dan punya saham di perusahaan yang menjadi operator migas.
Perusahaan yang digandeng Faroek, PT Yudistira Bumi Energi (YBE). Konon, perusahaan ini yang membawa info adanya peluang menjadi pemilik saham perusahaan minyak dan gas yang dikuasai TEPI. Nah, sebagai balas jasa, Pemprov harus mengikuti skenario yang dibuat YBE.
Skenario pertama, Pemprov membentuk perusahaan daerah (Perusda). Namanya PT Migas Mandiri Pratama (MMP). Nah, Perusda ini dikawinkan dengan PT YBM, yang kemudian melahirkan anak perusahaan bernama PT Cakra Pratama Energi (CPE).
Kedua, anak perusahaan itu yang didorong berperan aktif untuk mengurusi kongsi saham di Blok Mahakam. Termasuk bernegosiasi dengan para pihak yang berhubungan dengan Blok Mahakam. Selain ada Total E&P Indonesie selaku operator saat ini, juga ada Pertamina yang juga berniat masuk mengambil saham. Kemudian pihak pemerintah pusat selaku pemegang regulasi.
Skenario ketiga, kongsi Perusda dengan PT YBE memasuki hitung-hitungan permodalan dan hasil yang kelak diperoleh. Rencananya, PT YBE menggandeng lembaga pembiayaan Morgan Stanley dari New York Amerika Serikat. Konon, angka Rp6 Triliun siap digelontorkan untuk membeli saham.
Menyangkut bagi-bagi saham, ada dua opsi yang telah dibuat. Pertama adalah masa sebelum berakhirnya kontrak Total E&P Indonesie (TEPI) tahun 2017. Perusahaan yang didirikan Pemprov Kaltim bersama dengan PT YBE, akan menggandeng Pertamina dengan mengambil maksimal 25 persen saham TEPI. Dari 25 persen itu diusahakan 15 persen untuk perusahaan dari Kaltim.
"Jadi dari total 15 persen yang dikelola bersama-sama, Pemprov mendapatkan 15 persennya, sedangkan PT Yudhistira 85 persennya,” kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kaltim Hazairin Adha.
Sedangkan opsi kedua, pasca berakhirnya kontrak TEPI tahun 2017. Sebab siapapun yang menjadi operator yang disetujui pemerintah pusat, perusahaan daerah Kaltim optimistis mendapat 30 persen.
"Ini adalah hak daerah. Kita akan berupaya untuk memperoleh hak setidaknya sebesar 10 persen. Sama seperti di Riau, Cepu atau Bojonegoro yang masing-masing daerah telah mendapatkan hak atas pengelolaan itu," kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim.
“Kami merasa tidak puas dengan perimbangan keuangan daerah dan pusat. Kami sebagai penyumbang besar devisa negara dari migas tapi tidak bisa mensejahterakan rakyat. Ini juga hak daerah seperti diisyaratkan Undang Undang Nomor 22/2001 tentang Migas,” ujarnya lagi.
Skenario PT YBE dan Pemprov Kaltim, memunculkan pro dan kontra. Setidaknya ada tiga elemen yang tampil di media massa untuk menyoalnya.
Kalangan DPRD Kaltim adalah yang pertama menyoal. Bahkan mencurigai ada sesuatu sehingga Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE. “PT YBE itu semacam apa ya,” sindir Syaifuddin DJ dari Partai Gerindra. Di barisan Syaifuddin juga terdapat rekan-rekan sejawatnya yang tak begitu saja merestui kehadiran PT YBE.
“Ini benar-benar aneh. Kok sudah ada PT YBE,” kata Bendahara Fraksi Hanura–PDS DPRD Kaltim Mudiyat Noor.
Rupanya, setelah adanya info peluang Kaltim punya saham di perusahaan migas, tak semua anggota DPRD Kaltim mengetahui skenario yang telah dibuat Pemprov bersama PT YBE. Yang dilibatkan wira-wiri masalah itu ke berbagai pertemuan dengan Pertamina di Jakarta hanya Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisyal dan Ketua Komisi II Rusman Ya’kub.
Perlawanan kedua, datang dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selaku pemegang adminsitrasi Blok Mahakam. “Kami yang paling berhak di Blok Mahakam,” kata Rita Widyasari, Bupati Kukar.
Kalangan DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) juga ngotot kalau porsi terbesar harus diberikan kepada Pemkab Kukar. “Kami tidak mau berpikiran buruk soal YBE (Yudhistira Bumi Energi, Red). Tapi kalau ditanya soal pengelolaan, kami akan usung perusda. Kan Kukar punya perusda KSDE (Kelistrikan dan Sumber Daya Energi, Red). Kami sangat yakin perusda ini mampu, termasuk dari sisi SDM,” kata Wakil Ketua DPRD Kukar Marwan.
Bagi kalangan di Kukar, ulah Pemprov Kaltim menggandeng PT YBE dan kemudian menyusun skenario lainnya sampai ke bagi-bagi saham, sangat aneh dan tidak etis. Karena dalam semua penyusunan itu Pemkab maupun DPRD Kukar tidak pernah dilibatkan.
“Kalau dianalisis persoalan pengelolaan dan negosiasi tentang blok Mahakam kami pikir itu bukan porsi Pemprov, tapi milik Pemkab Kukar. Untuk konteks ini kami pun bertanya-tanya apakah Pemprov memang tidak tahu aturan atau pura-pura tidak tahu, padahal seharusnya Gubernur kita yang notabene adalah mantan Bupati Kutim harusnya belajar dari pengalaman dengan PT KPC,” kata Sekretaris KNPI Kukar, Junaidi.
Perang sudah ditabuh sendiri oleh Pemprov. Walau sebenarnya perjuangan mendapatkan hak eksklusif membeli saham belum terbentang, tapi ‘pertempuran’ antar elemen tentang siapa yang paling berhak lebih dominan.
Belum lagi dari kalangan masyarakat dan akademisi. Marwan Batubara, dari Indonesian Resources Studies, IRESS, mendukung rencana pemerintah provinsi diikutsertakan dalam mengelola sumber daya alam (SDA). “Tapi harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Untuk mengelola sumber daya alam, sarannya, pemerintah daerah harus membentuk BUMD Migas, guna mewujudkan kepentingan daerah. Pemerintah Pusat harus memimpin, menggabungkan dan mengendalikan berbagai kepentingan BUMN dan BUMD tersebut.
“Daerah jangan dibiarkan sendiri seperti kasus Newmont atau tambang minyak di Riau dan Cepu. Pusat harus menjamin dan mendukung kebutuhan dana investasi bagi BUMD,” ungkap Marwan.
Marwan mengingatkan BUMD jangan jalan sendiri, karena godaannya besar sekali dari swasta. Biasanya oknum-oknum daerah dan swasta nasional maupun asing berkampanye menuntut sebagian hak mengelola sumber daya alam. Tapi pelaksanaannya nanti bagi hasil kerjasama justru lebih menguntungkan swasta dibanding daerah.
“Biasanya kepala- kepala daerah bertindak kolutif dengan swasta. Itulah sebabnya aspirasi daerah tersebut harus dikoordinasikan dengan pusat. Hanya kadang -kadang ada oknum pusat yang justru menghambat terjadinya kerjasama pusat-daerah tersebut. karena oknum ini memang bagian pendukung swasta,” ungkap Marwan. *

Tidak ada komentar: