Sabtu, 30 Juli 2011

Bergolak di Kebun Sawit


Para aktivis lingkungan mengangkat tangan, menunjukkan jari yang membentuk huruf V yang dikenal dengan kata victory. Ya, itulah kemenangan para aktivis lingkungan yang berhasil membujuk negara-negara berkembang seperti Indonesia menandatangani kesepakatan Oslo.

Sejak Konferensi Iklim dan Kehutanan di Oslo, Norwegia, 26-27 Mei 2010 dan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia harus ‘bertekuk lutut’ menjaga keutuhan hutannya. Salah satu poinnya adalah moratorium izin perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan besar tidak lagi diperbolehkan memperluas lahannya dengan alasan demi menyelamatkan lingkungan dari pemanasan global. Begitu pula perorangan (plasma) harus mengubur mimpinya punya kebun kelapa sawit.

Aturan itu berlaku efektif mulai tahun 2011. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sedang menyiapkan peraturan pelaksananya berupa peraturan pemerintah (PP), yakni mengatur moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan primer, juga moratorium konversi perkebunan kelapa sawit dari hutan gambut.

Pada sisa waktu menjelang 2011 inilah rupanya beberapa perusahaan perkebunan berusaha menggenjot luasan arealnya. Pengusaha yang terlanjur mengurus perizinan dibuat kalang kabut, sebagian harus merubah perencanaan perkebunannya.

Reaksi negatif juga ditunjukkan oleh GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri). Kedua lembaga para pengusaha itu protes, menuding adanya konspirasi negara-negara maju menekan negara berkembang seperti Indonesia. Munculnya kesepakatan itupun dituding sebagai penghalang terserapnya tenaga kerja di sektor perkebunan.

Perjanjian Oslo, seakan begitu cepatnya sampai di Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit di sana, PT Sanjung Makmur, tengah berusaha memperluas lahannya. Perusahaan mengklain sudah memiliki izin untuk memperluas lahan sawit mereka.

Tapi, celakanya, lahan yang terlanjur dibabat adalah kebun-kebun buah yang diklaim milik masyarakat Sekatak. Kebun itu menjadi sumber pendapatan warga, sehingga mereka marah. Maka, konflik tak terhindarkan. Masyarakat Sekatak bersikeras perusahaan sudah merusak lahan mereka.

Kabupaten Bulungan termasuk salah satu daerah yang tergiur dengan cerita kejayaan perkebunan kelapa sawit, sehingga menyiapkan lahan untuk perkebunan sekitar 400.000 hektar untuk komoditi itu. Sudah lebih 20 perusahaan perkebunan mendapat izin dan yang masih berproses, dengan luasan keseluruhan sekitar 300 ribu hektar.

Data yang dimiliki media ini menyebutkan, di areal kebun PT Sanjung Makmur sudah mulai tergarap 236 hektar kebun plasma, melengkapi kebun intinya yang luasnya sudah 2.064 hektar. Untuk plasma, perusahaan itu menjalin kemitraan dengan kelompok tani Suka Maju seluas 48 Ha, Kelompok Tani Suka Sukses (64 Ha), kelompok tani Maju Bersama (46 Ha) dan Koperasi Anugerah Tani seluas 78 Ha. Rencananya pola plasma juga akan dibuka untuk masyarakat Desa Kendari, Kelencauan, Pentian, Keriting, Desa Pungit, Desa Ambalat, Belilau, Kujau dan Mendupo.

Perusahaan PT Sanjung Makmur termasuk diandalkan oleh pemerintah di sana, karena pemiliknya adalah pengusaha lokal bernama Lim Tung. Apalagi perusahaan itu sudah membangun pabrik CPO (crude palm oil), sebagai industri ilir.

Sebenarnya, pergolakan di kebun sawit, tak hanya terjadi di Bulungan. Hampir di semua kabupaten yang jor-joran mengejar perkebunan kelapa sawit, konflik dengan petani terjadi. Simak saja bagaimana petani di Simenggaris Nunukan berebut lahan dengan PT TML (Tunas Mandiri Lumbis). Kemudian di Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kabupaten Paser. *

Tidak ada komentar: