Minggu, 25 Juli 2010

Prestasi


Suatu hari dalam sebuah perbincangan dengan warga di kawasan kumuh Kota Samarinda saya tertegun dengan keluhan seorang pria yang usianya ditaksir sekitar 50 tahun. “Pejabat sering bicara tentang rakyat miskin, sepertinya mereka peduli dengan kita. Tapi kok tidak ada tanda-tanda pemerintah membantu kita”.

Saya jadi ikut tertegun. Betul juga. Mengapa bicara soal rakyat miskin, tapi yang diturunkan kebijakan membangun Jalan Tol, membangun rel kereta api pengangkut kelapa sawit atau kebijakan membangun pelabuhan sawit Maloy di Kutai Timur.

Atau, mengatasi orang miskin kok dengan merencanakan pendirian Kaltim Airlines, menggelorakan sektor wisata dengn progam Visit Kaltim 2010?

Tentu saya berpikir, ‘orang kecil’ pasti tidak sama pemikirannya dengan ‘orang besar’, para pejabat-pejabat negeri ini. ‘Orang kecil’ cuma perlu makanan, pakaian dan rumah yang layak, sedangkan para pejabat berpikir tentang prestasi selama dia menjabat.

Nah, prestasi itu tidak termasuk kalau dia berhasil mengurangi angka kemiskinan. Yang terjadi sekarang ini, prestasi masih diidentikkan dengan keberhasilan membangun jalan tol, membangun pelabuhan dan membangun rel kereta api. Atau prestasi menebang hutan dan menggantinya menjadi kebun kelapa sawit seluas sejuta hektar.

Padahal, orang miskin yang jumlahnya masih di atas 40 persen memerlukan perhatian langsung dari pemerintah. Mereka perlu makanan yang cukup, rumah atau hunian yang sehat, jaminan kesehatan tanpa rasa takut nanti kalau sakit dia harus membayar di rumah sakit, jaminan hari tua agar ia bisa dengan tenang menghabiskan sisa hidupnya.

Siapa yang konsen memikirkan nasib orang-orang miskin ini? Faktanya, politisi hanya menjadikan cerita kemiskinan sebagai ajang kampanyenya untuk menarik simpati massa. Pejabat pemerintah juga cenderung menjadikan cerita kemiskinan di daerahnya untuk mendapatkan proyek-proyek pengentasan kemiskinan dari pemerintah pusat.

Begitu terus yang terjadi tiap tahun. Akibat ‘menjual’ kemiskinan politisi dan pejabat meraih prestasi, tapi si miskin ya tetap miskin. **

Tidak ada komentar: