SEPANJANG jalan kota-kota di Kaltim mulai membuat sumpek. Sudut-sudut kota penuh dengan poster, baliho, spanduk iklan. Gambar-gambar orang dengan berbagai gaya dan kata-kata.
Publik disuguhkan iklan-iklan politik tanpa bobot. Figur yang ingin ’bekerja’ sebagai anggota DPRD dan DPR berdampingan fotonya dengan tokoh-tokoh nasional sekelas Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo, dll. Sedangkan calon ’pekerja’ DPD alias Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil tunggal dengan isu-isu kegemaran mereka.
Dari banyak foto-foto yang ada di berbagai baliho, spanduk dan poster, rasanya sedikit sekali yang benar-benar tokoh masyarakat yang dikenal konsisten dengan perjuangannya membela rakyat. Terbanyak, malahan, adalah tokoh tidak dikenal.
Nama calon pekerja politik itu tiba-tiba muncul. Seolah-olah mereka sudah menjadi tokoh masyarakat yang punya talenta. Seolah-olah mereka yang paling pantas mewakili rakyat.
Yang patut dipuji dari para tokoh ’iklan’ dadakan itu adalah keberanian mereka untuk tampil dan memohon kepada rakyat agar dipilih pada Pemilu nanti. Padahal, yang bersangkutan ada yang sama sekali tidak pernah berjuang untuk kepentingan rakyat. Bahkan ada yang tidak dikenal sama sekali, karena domisilinya pun bukan di Kaltim.
Sepertinya ketokohan seseorang bisa dibangun dengan iklan. Mereka terjebak dalam budaya instan. Langsung main di atas, tanpa melalui proses integritas diri dari bawah. Modalnya adalah duit untuk pasang iklan di televisi dan radio, surat kabar serta banner-banner di baliho, spanduk dan poster.
Kondisi saat ini, publik tak mudah tertarik dengan gambar-gambar para kandidat yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Mereka akan memilih figur yang dikenal secara langsung, dan dikenal sehari-hari karena telah memberikan kesan yang bagus dalam berbagai pertemuan. Sangat tak masuk akal kalau akhirnya ada calon droping dari Jakarta, tapi akhirnya duduk menjadi anggota DPR RI mewakili rakyat Kaltim.
Karena modal politik yang begitu mahal, maka para kandidat berupaya menggandeng investor yang ujung-ujungnya adalah kompromi mencari jalan korupsi, ketika kandidat itu gol masuk menjadi anggota dewan.
Apakah kandidat seperti itu yang diingingkan rakyat?
Untuk itu, publik juga perlu ’diboboti’ agar pilihan mereka lebih rasional. Agar ada perubahan yang lebih baik. Saatnya untuk mengabaikan pertautan tali saudara, suku dan agama. Karena akibat dari hubungan emosional dalam politik seperti itu telah memposisikan Indonesia seperti sekarang ini. Memposisikan kemiskinan yang angkanya terus membesar. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar