POKOKNYA, Tol! Dua kata itu mengingatkan saya kepada anak bungsu laki-laki yang berusia empat tahun. Tiap kali jalan bersama ia hampir pasti ngotot dibelikan mainan. Hanya ada dua pilihan mainan yang disukainya, mobil-mobilan atau refliika superman, batman, spiderman serta asesorisnya. Tak peduli di mana belinya. Beli di pedagang pinggir jalan atau di toko mainan. Di Mal atau pasar tradisional; ”Pokoknya... harus ada mainan”.
Rupanya, kata ”pokoknya..” sedang menjadi trend di mana-mana. Bukan hanya mengilhami anak-anak untuk menekan orangtuanya agar dikabulkan permintaannya, tapi juga orang dewasa. Tentu saja dalam perspektif yang lebih besar dan jumlah uang yang duperlukan sangat besar pula.
Jelang tutup tahun 2008 - usai Awang Faroek Ishak (AFI) dilantik menjadi Gubernur Kaltim, kalimat ’pokoknya...’ muncul dalam wacana pembangunan jalan Tol di Kaltim. ”pokoknya tol”.
Padahal, wacana itu telah menjadi polemik liar sejak beberapa tahun silam. Ide awalnya memang dari Awang Faroek Ishak (AFI) yang patut diduga saat itu dilontarkannya sebagai bagian strategi pribadi untuk meraih simpati publik. Jalan tol yang disebut-sebut itu adalah Balikpapan – Samarinda – Kutim - Bontang.
Rupanya, wacana itu mengendur ketika AFI benar-benar dipilih rakyat menjadi gubernur. Selain bukan pekerjaan mudah, memerlukan biaya sangat luar biasa besar karena dipastikan berada di atas angka Rp3 Triliun Kalau mengukur masa jabatan AFI yang lima tahun, maka setidaknya alokasi anggaran APBD Kaltim pada proyek ‘pokoknya tol’ di atas Rp600 Miliar per tahun.
Tak hilang akal, AFI pun memunculkan wacana baru; Jalan Tol Tenggarong – Samarinda. Ini sebagai pengganti kekecewaan warga sekitar Loa Kulu Kukar, karena pembangunan Bandara Sultan Kutai Berjaya (SKB) yang digagas Syaukani HR dulu dibatalkan Awang. SKB dianggap tidak etis karena berdekatan dengan calon Bandara Samarinda Baru Sungai Siring Samarinda.
Ibarat bermain bola, Awang terlihat piawai ’meliuk-liuk’ agar tujuan ”pokoknya tol” Balikpapan – Samarinda – Kutim – Bontang tercapai tanpa ada kontraversi. Toh, jalan tol Tenggarong – Samarinda hanya sekitar 30 kilometer, sehingga bisa cepat dirampungkan dalam tempo kerja 1 atau 2 tahun.
Siapa setuju ide itu? Kalangan pengusaha, pasti menyambut karena jalan tol adalah bagian dari kelancaran bisnis. Sedangkan bagi masyarakat, terutama yang berada di perbatasan dan pedalaman, proyek jalan tol melukai hati mereka. Bayangkan, jangankan jalan tol yang mulus dan bersih, sarana jalan yang terhubung di kampung mereka saja belum ada. Sebagian besar warga di pedalaman pasti kecewa, karena selama ini aspirasi mereka tidak diperhatikan. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar