PADA momentum HUT Provinsi Kaltim ke-52 tanggal 9 Januari 2009, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mulai menunjukkan gaya khasnya; ‘kaya gagasan’. Mulai soal wacana pembangunan jalan tol dari Balikpapan – Samarinda – Bontang – Sengata yang dirancang menjadi pelabuhan hasil sawit dan pertanian, sampai pembangunan bandara di seluruh kabupaten dan kota.
Tak kalah seru, mantan anggota DPR RI dua periode itu juga mencanangkan slogan baru; ‘Membangun Kaltim untuk Semua’ sebagai pengganti slogan “Bangga Membangun Kaltim” yang dirancang Gubernur Kaltim sebelumnya. Dengan slogan baru itu -- tentu yang diharapkan – menciptakan spirit bagi rakyat Kaltim.
Lalu, ada lagi program Awang yang disebut Cemerlang yang merupakan singkatan dan kata Cerdas Merata Prestasi Gemilang. Masih dalam tataran wacana Awang pula, muncul keinginan menjadikan Kaltim sebagau provinsi hijau dan kemudian pencanangan tahun 2009 sebagai tahun kunjungan wisata Kaltim.
Sebagai orang yang sudah 24 tahun tinggal di Kaltim dan telah menjadi ‘bapaknya putra daerah’ (karena saya memperistri perempuan kelahiran Bulungan dan dua anak saya lahir di Samarinda), terus terang, gagasan-gagasan itu membuat saya jadi bingung, mengerutkan kening. “Ah, banyak kali idenya,” kata saya dalam hati.
Jalan tol, jelas saya bukan termasuk yang setuju. Karena dalam sudut pandang saya program itu untuk para orang kaya yang punya mobil saja. Sedangkan rakyat yang menumpang bis dari Balikpapan ke Samarinda atau ke Bontang dan Sengata, pasti akan dibebani tambahan ongkos akibat bis juga wajib membayar tol.
Lebih ironi lagi kalau untuk membangun jalan tol, pemerintahan Awang Faroek Ishak menempuh pola kebijakan politik, yakni ’menjual’ sumber daya alam Kaltim pada kelompok pengusaha kakap dengan memberi konsesi pengelolaan SDA selama 50 tahun. Apa bedanya dengan Alm Soeharto (mantan Presiden RI ke-2) yang telah ’menjual’ Jayapura kepada PT Freport atau pemberian konsesi sejumlah ladang minyak di Indonesia kepada para kapitalis asing.
Akhirnya, orang Papua (dulu Irian Jaya) menjadi asing di negerinya. Kekayaan negeri hanya membuat tebal kantong para konglomerat – dan tentu saja – juga menyenangkan para pemberi konsesi dengan berbagai fasilitas dan mungkin sampai saham goodwill.
Dari banyak gagasan Awang, toh memang saya belum melihat kalau programnya kelak bakal mensejahterakan rakyat Kaltim. Ia punya mimpi menjadikan kebun sawit di Kutai Timur, tapi tak dipikirkannya ketika suatu saat krisis global datang dan harga sawit jatuh yang membuat petani menangis pedih.
Awang pun mencanangkan tahun 2009 sebagai tahun wisata Kaltim, tapi tak dipikirkannya bahwa tahun ini adalah masanya mengencangkan ikat pinggang, karena di seluruh dunia sedang mengalami krisis finansial. Wisatawan lokal dan mancanegara tak bakal terpikirkan untuk melancong wisata ke Indonesia, karena sebagian besar sedang berusaha menyehatkan keuangannya. Kita lihat saja! *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar