SELAMAT merayakan Hari Pers Nasional (HPN) 2009 dan selamat ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-63. Diantara suasana suka cita itu, insan pers masih menyimpan duka.
Pertama, yang terpenting tentunya, soal kesejahteraan para insan pers. Seringkali karena lembaga pers dianggap sebagai pabriknya para idealis, para pemodal memperlakukan semena-mena pendapatan para wartawannya. Yang paling getol memperjuangkan gaji para wartawan ini nampaknya baru dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu organisasi pers berpengaruh di negeri ini.
Soal gaji para wartawan, mestinya memang muncul dari komitmen kolektif semua yang terlibat dalam penerbitan pers itu. Sebab tidak semua media massa dilahirkan dalam kondisi langsung punya uang yang dimodali konglomerat. Ada media yang benar-benar merambat dari bawah. Dilahirkan secara bersama oleh para wartawan, lengkap dengan suka dan dukanya. Karena perjuangan bersama, maka konsekwensinya adalah semua yang terlibat ‘wajib’ mendapat saham di perusahaan tersebut.
Duka yang kedua, para wartawan masih dicekam ancaman pasal-pasal kriminal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Setidaknya ada dua pasal yang menghantui, yakni perbuatan tidak menyenangkan berupa penistaan melalui tulisan serta pencemaran nama baik, seperti dalam pasal 310 (2) KUHP. Kedua pasal ini sepertinya mengalahkan Undang-undang Pers Nomor 40 yang telah diundangkan sejak 23 September 1999.
Adalah perjuangan kalangan pers agar undang-undang itu tidak hanya menjadi pajangan saja. Tiap kasus sengketa pers yang ditangani petugas kepolisian, wajib menggunakan undang-undang tersebut. Kalau penyidik memaksa menggunakan KUHP, kemungkinan juga bakal mentul di kejaksaan dan hakim.
Tapi persoalan tidak sederhana begitu. Penyidik atas nama undang-undang bisa ngotot dengan KUHP-nya. Apalagi kalau ada ’roket pendorong’ di balik itu. Misalnya saja dari pihak-pihak yang diberitakan. Nah, kalau yang diberitakan adalah aparat pemerintahan yang terlibat korupsi, atau pengusaha culas yang main politik, maka sudah pasti persengkongkolan yang muncul. Pemerintah atau pengusaha bersama polisi bersatu padu menggencet insan pers.
Seberapa tahan wartawan bisa diperlakukan situasi itu? Apalagi bagi wartawan yang bertugas jauh di daerah perbatasan dan pedalaman. Pada momentum Hari Pers Nasional (HPN), sepatutnya kita perjuangkan lagi agar UU Pers dihormati para penyidik. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar