BULAN November 2008 lalu, dua kali sudah Kota Samarinda dilanda banjir. Ada sekitar 50 ribu jiwa yang harus meratap sedih, karena rumah dan lingkungan sekitar nyaris tenggelam.
Banjir tahun ini tergolong parah, dan orang cenderung mencari-cari alasan dengan mengkaitkan peristiwa banjir tahun 1998 yang juga cukup dahsyat. Karena rentang waktu berselisih 10 tahun, maka enak menganalogikan bahwa banjir tahun 2008 sebagai; bencana 10 tahunan.
Saya hanya mampu tersenyum ketika membaca surat kabar yang memberitakan pejabat pemerintahan yang memberikan alasan itu. Terbersit dalam hati; kalau peristiwa banjir besar ini terjadi tahun 2010, maka pasti pejabat juga beralasan kalau banjir tersebut sebagai gejala alam ’siklus duabelas tahunan’.
Tiba-tiba saja semua orang; pejabat, pengusaha, pedagang soto, ibu-ibu jadi ’tukang’ analis banjir. Mereka berteori tentang sumber banjir, membahas meteorologi dan yang paling sering adalah mencari ’kambing hitam’ terjadinya bencana lingkungan itu. Nah, kalau sudah bicara lingkungan, maka yang kena tuding adalah eksploitasi tambang batubara yang memang menggila di Kaltim.
Bayangkan, saat ini sudah ada 750 perusahaan yang berusaha batubara di Kaltim. Mulai dari yang kecil-kecil berizin Kuasa Pertambangan (KP), sampai yang izinnya dari Pemerintah Pusat yaitu PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Untuk KP yang izin dari Bupati dan Walikota ada sekitar 200 perusahaan yang eksploitasi.
”Pokoknya pertambangan harus ditutup,” kata seseorang. Kemudian dari sebelah lainnya juga mengomel; ”Izin tambang harus dievaluasi”. ”Izin perusahaan tambang bernuansa KKN,” kata suara lainnya.
Rakyat Kaltim sudah lama gelisah dengan sistim pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dulu, rakyat digelisahkan oleh begitu bersemangatnya pemerintah memberikan izin menebang hutan, sekarang di sektor tambang. Kedua sektor ini adalah sumber penyebab banjir dan bencana lingkungan jika tidak dikelola dengan benar.
Banjir yang sedang melanda Kota Samarinda dan juga beberapa daerah di Indonsia, momentum yang bagus untuk ’mengaudit’ kembali lingkungan, sekaligus mengevaluasi pemberian izin pertambangan batubara di Kaltim.
Para bupati dan walikota harus bisa ngerem nafsu memberikan izin pertambangan, karena kontribusi kerusakan lingkungan ternyata lebih besar dari pada aspek keuntungan daerah. Karena aspek kerusakan lingkugan lebih besar dari keuntungan, maka izin mengelola sumber daya alam tidak bisa hanya dari stakeholder lokal atau bupati dan walikota saja. Logisnya, izin mengelola sumber daya alam harus melewati pintu multi stakeholder, dimulai dari tingkat lokal, regional dan nasional. Ayo, selamatkan bumi Kaltim!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar