Oleh: Charles Siahaan
SUATU kali saya membaca sebuah kalimat; ”tambang itu kutukan?” Kalau tidak salah kalimat itu berasal dari seorang pakar ekonomi penerima Nobel tahun 2001, Joseph Stiglitz, yang dikenal dengan karyanya ‘resource curse’ atau ‘kutukan sumberdaya alam’.
Kalimat itu memaksa saya berpikir apa benar demikian. Bukankah negeri-negeri yang menghasilkan tambang minyak di kawasan Timur Tengah misalnya adalah negeri yang makmur? Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil menjual minyak dan gas ke seluruh dunia.
Barangkali cerita Stiglitz diilhami oleh fakta sejarah di mana kemilau tambang seperti emas, migas, batubara dan nikel lainnya telah membuat banyak manusia, negara saling berlomba mencarinya. Seperti kisah pada awal tahun 1500-an ketika Raja Ferdinand dari Spanyol menetapkan prioritas kepada para conquistador (penakluk) hambanya yang akan berangkat mencari ”dunia baru”; "Bawa pulanglah emas," perintah raja kepada mereka.. ”Kalau bisa, dapatkan semanusiawi mungkin, tapi apapun risikonya, bawalah emas."
Minyak juga telah menjadi sumber konflik dibeberapa negara. Negara super power seperti Amerika Serikat talah lama dicurigai mengintervensi Irak karena tergiur ingin mengelola dan memperoleh hak membeli minyak negeri itu.
Di Indonesia, lumpur Lapindo di Jawa Timur adalah salah satu contoh nyata bahwa migas telah menjadi kutukan. Belum lagi cerita rakyat sekitar tambang yang tidak pernah mendapatkan kenyamanan kehidupan, walau hasil bumi di sekitar mereka dikeruk habis. Cerita tentang kesengsaraan rakyat pasca tambang justru lebih sering terdengar dari pada pertumbuhan kualitas hidup rakyatnya.
Beberapa riset membuktikan sejak adanya pertambangan di suatu daerah, maka dampak yang sudah pasti selain kerusakan lingkungan adalah meningkatnya tindakan kriminal. Secara berurutan kasus-kasus terbesar yang muncul adalah penyiksaan, perkosaan, pembunuhan, penculikan, penangkapan secara tidak sah, pencarian dan intimidasi, diskriminasi dalam ketenagakerjaan, serta pelarangan beraktivitas.
Kemudian – menurut data Walhi – munculnya kasus pelanggaran terhadap hak penghidupan secara subsistem yang berasal dari perampasan dan penghancuran ribuan hektar hutan, termasuk wilayah berburu dan berkebun masyarakat, serta kontaminasi sumber air dan wilayah penangkapan ikan, pelanggaran terhadap hak budaya, termasuk penghancuran gunung dan tempat-tempat lain yang bersifat spiritual dan dianggap suci oleh masyarakat adat. Sedangkan hal lainnya adalah terjadinya pemindahan masyarakat secara paksa dan perusakan rumah-rumah, gereja, dan tempat-tempat tinggal lainnya.
Di Kalimantan Timur ’kutukan tambang’ itu juga sepertinya sudah terjadi. Kota Sanga-sanga Kukar yang lebih seratus tahun digarap minyaknya, tak juga membuat kawasan daerah itu maju. Begitu pula dengan kawasan batubara yang digarap PT Kaltim Prima Coal di Kutai Timur.
Yang terjadi, masyarakat hanya menjadi penonton. Dan celakanya, sebentar lagi ketika tambang sudah habis digarap, tinggal masyarakat sekitar tambang yang menanggung derita akibat kerusakan lingkungan di sana. *