Oleh: Charles Siahaan
KADANG kita terkejut menyaksikan ada kelompok saling menyerang fisik seperti di Maluku dan Sulawesi Selatan usai pelaksanaan pemilihan gubernur. Massa yang melancarkan demo berdarah, membakar ban dan saling lempar batu.
Mengapa massa cenderung mudah beringas? Apakah mereka bersentuhan langsung kalau saja ’jagonya’ menang dalam Pilkada?
Mencari pokok masalah dari fenomena euphoria itu membuat kita merenung; ”oh sudah begini wajah Indonesiaku”. Kalau jagoku tidak menang, maka aku ’wajib’ marah. Apalagi kalau ada indikasi curang dalam pelaksanaan Pilgub.
Kalimantan Timur akan memilih pemimpin pada 26 Mei 2008. Rakyat mulai ditawari berbagai program oleh para kandidat. Rayuan dilancarkan dengan berbagai cara agar ikut dalam gerbongnya.
Rakyat Kaltim mulai terkotak-kotak. Kemarahan oknum, kelompok, mulai mudah memuncak manakala menyaksikan spanduk jagonya tenggelam diantara lautan spanduk jago lain. Apalagi kalau sampai spanduk jagonya tergeletak di tanah, walaupun sebenarnya bukan lantaran sengaja dijatuhkan oknum kandidat lain, tapi karena tertiup angin.
Euphoria reformasi, keinginan untuk perubahan bertalu-talu dan cenderung memekakkan telinga. Kandidat seperti punya kesempatan untuk membicarakan masalah-masalah pembangunan dalam versinya sendiri. Seolah-olah dia paling mampu membangun daerah ini.
Hebatnya, rakyat tidak punya pilihan alternatif lagi. Sudah ada empat kandidat yang mendapat nomor untuk ikut Pilgub dan mereka adalah yang terbaik versi partai-partai politik.
Tidak heran kalau akhirnya sistim rekrutmen oleh partai politik itu menghasilkan kekecewaan dari rakyat. Di Indonesia rata-rata angka golongan putih alias Golput alias mereka yang cuek dengan Pilgub selalu di atas 30 persen. Bahkan dibanyak daerah sebenarnya jumlah Golput yang terbesar dan layak dinobatkan menjadi ”pemenang” Pilgub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar