Oleh: Charles Siahaan
MEGAH, mewah. Itu opini yang terbangun setelah menyaksikan upacara pembukaan PON XVII di Stadion Utama Palaran Samarinda, Sabtu (6/7) lalu. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama istri dan sejumlah Menteri ikut menjadi saksi mata kemegahan itu.
Di situasi harga minyak mentah telah melonjak mendekati angka US$ 150 per barel yang berarti semakin besar subsidi pemerintah, tapi ‘hari gene’ masih ada perhelatan super mewah di bumi Kalimantan Timur.Tercatat, setidaknya Rp4,5 triliun uang yang bersumber dari APBD Kaltim digelontorkan sejak persiapan mendirikan venues-venues sampai penyelenggaraan PON.
Sebuah kemegahan memang mahal harganya. Bahkan ada yang berpendapat untuk pesta PON, Kaltim wajib membuktikan sebagai yang terbaik; ’’biar tekor yang penting kesohor”. Tidak apa-apa dana APBD dihabiskan untuk itu, toh 50 tahun ke depan belum tentu daerah ini menyelenggarakan kembali even tersebut.
”Biar tekor asal kesohor” boleh jadi adalah sikap mental peninggalan era Orde Baru. Lantaran sistim sentralistik pemerintahan yang berakibat tidak meratanya pembangunan sarana dan prasarana di provinsi dan kabupaten / kota.
Dana-dana pembangunan dikonsentrasikan lebih dari 60 persen APBN untuk pembangunan fisik di Pulau Jawa. Itu sebabnya, tidak heran kalau daerah-daerah di sana menjadi daerah ’saudara tua’ yang lebih dulu berkembang, dengan hasil produksi juga mudah terdistribusi. Bandingkan dengan Kalimantan yang antar propinsi saja belum bisa tersambung semua, apalagi antar kabupaten dan kecamatan.
Orang-orang daerah benar-benar dahaga. Mereka ingin keluar dari lingkar kemiskinan dan menikmati kesetaraan dengan ’saudara tuanya’. Kemegahan dan kemewahan peradaban yang sudah dinikmati orang-orang kota, ingin pula dirasakan oleh warga di kabupaten/kota lainnya. Muncul hasrat, pemberontakan diri bahwa Indonesia itu bukan hanya Jakarta.
Jawaban itu ada di otonomi daerah. Kebijakan yang berpindah dari dominasi pemerintah pusat ke daerah. Euphoria itu yang pada akhirnya membuat keberanian rakyat di Palembang dan Kaltim mengangkat tangan sebagai tuan rumah PON. Keberanian yang tidak pernah terpikirkan di era Orde Baru.
Cukupkah dengan euphoria itu? Tentu tidak. Daerah-daerah kaya penghasil minyak patut bersatu padu untuk terus memantapkan hati, bahwa hasil bumi Kaltim memang sebesar-besarnya untuk rakyat Kaltim. Bukan untuk pembangunan Pulau Jawa lagi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar