Oleh: Charles Siahaan
Selama
Hari Kemerdekaan yang jatuh pada hari Minggu tadi bertepatan pula dengan dimulainya partai-partai politik mendaftarkan calon legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di daerah, hiruk pikuk juga terjadi mulai dari pengurusan administrasi
Berbarengan dengan itu para politisi juga memulai kampanyenya, terutama mengenai program yang akan diperjuangkan kelak jika duduk sebagai anggota DPR. Umumnya para politisi itu mengangkat persoalan kemiskinan yang menurut sisi pandang mereka tak kunjung membaik.
Tema kemiskinan itu nyaris sama dengan keluhan saya lima tahun lalu. Bahkan sejak 20 tahun silam ketika Presiden Soeharto berkuasa. Di jaman Soekarno dan penjajahan Belanda atau Jepang, kondisinya lebih parah lagi.
Mengapa tema kemiskinan selalu diupdate? Saya jadi teringat dengan para artis yang rame-rame terjun ke politik. Ternyata umumnya para selebriti itu juga tertarik untuk mengatasi kemiskinan dengan visi yang diyakini para artis itu paling benar. Dari sebagian besar pernyataan para artis itu akhirnya memberi kesimpulan kalau isinya; kosong. Mereka sangat diragukan mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik.
Kemiskinan telah menjadi komoditas politik. Alat retorika yang tak perlu dipertanggungjawabkan kelak ketika publik telah memilihnya ke kursi kekuasaan. Setiap perayaan hari Kemerdekaan, isu itu berulang dan biasanya disertai kalimat tambahan; itu bukti rakyat Indonesia belum merdeka.
Kemiskinan dan kemerdekaan seringkali dikait-kaitkan. Warga Indonesia yang tinggal di pedalaman selalu berkata kalau mereka belum merdeka. Mereka seperti hidup di pengasingan yang tak terjangkau akses jalan darat dan tidak ada alat-alat komunikasi. Itu sebabnya tiap merayakan hari kemerdekaan kita masih membicarakan kemiskinan. Kita memang belum benar-benar merdeka. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar