Ini kali kedua saya menurunkan tulisan tentang ‘rasa aman’ warga negara. Dua pekan sebelumnya saya juga membuat opini di halaman ini dengan judul “Pembunuh Rakyat”. Itu mengenai kebijakan pemerintah dibidang pertambangan batubara yang menghasilkan kolam-kolam besar eks tambang dan akhirnya menelan korban nyawa anak-anak yang bermain mandi di sana.
Kali ini, rasa aman warga kota Samarinda juga terusik dengan adanya kasus perampokan bersenjata api di Kantor Unit Pegadaian Syariah Samarinda. Tingkat kerugian mencapai Rp6,7 miliar dan ironisnya, ini peristiwa kali ketiga di kota itu.
Polisi masih mengindikasi. Sampai lewat 10 hari dari hari kejadiannya, tanda-tanda siapa pelakunya belum juga jelas. Inti cerita; pelaku perampokan bersenjata api masih berkeliaran di mana saja.
Saya lama tidak begitu mengikuti lagi perkembangan kasus kriminal di Samarinda maupun provinsi Kalimantan Timur. Padahal, ketika masih menjadi wartawan yang mangkal di kepolisian, jaksa dan pengadilan, masalah kriminal adalah menu sehari-hari.
Dari ‘kebiasaan’ itu seolah tertanam, bahwa tindak kriminal disebuah kota mencerminkan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Artinya, jika kota itu semakin menuju kota besar, metropolitan, maka jenis kejahatan yang terjadi juga ‘naik kelas’.
Itu sebab, ketika ada peristiwa perampokan menggunakan senjata api di Kota Samarinda, seolah menjadi pembenaran teori itu; Samarinda telah menjadi kota metropolitan.
Ya, barangkali teori itu benar. Tapi juga tidak seluruhnya bisa diaminkan. Sebab dari beberapa hasil penangkapan pihak kepolisian, banyak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) justru orang dari luar kota. Mereka sengaja datang dari kota-kota sekitar. Tadinya untuk mencari kerja, tapi kemudian beraksi kejahatan.
Arus migrasi penduduk ke kota-kota di Kalimantan Timur tengah terjadi dalam gelombang besar. Mereka biasanya didorong untuk memperbaiki nasib. Mencoba peruntungan di kota baru yang sedang bergeliat dengan eksploitasi tambang dan jasa lainnya.
Ya, kandungan sumber daya alam Kaltim sudah menjadi tujuan harapan banyak kalangan. Ya pengusaha yang ingin mengembangkan bisnis, maupun para ‘pengangguran’ dari daerah mana saja. Coba simak opini yang telah terbentuk pada warga di Pulau Jawa tentang Kalimantan Timur. Maka, yang spontan keluar dari benak pikiran mereka adalah kayu, batubara dan migas. Ini fakta, seolah-olah ketiga sumber daya alam itu adalah status sosial masyarakatnya. Yakni masyarakat yang punya uang. Kaya.
Potret kehidupan ini mengharuskan pemerintah, aparat keamanan, khususnya kepolisian, TNI dan segenap warga sipil perlu mengkoreksi diri apakah kita telah menyiapkan antisipasinya. Sebab, dari migrasi itu bukan hanya pertumbuhan penduduk yang didapat, tapi juga ragam perilaku yang mungkin membawa perubahan bagi budaya dan lainnya. Misalnya dengan adanya kasus perampokan di Pegadaian Samarinda yang sampai tiga kali itu, tentu spontan kita mengatakan; kenapa Satpam di sana tidak dikasih senjata api.
Padahal, kita tahu, senjata api bukanlah barang mainan. Warga masih tidak terbiasa memegang, apalagi memiliki untuk mengamankan rumah-rumah mereka. Nah, kalau tidak mungkin mempersenjatai warga sipil, apa jalan keluarnya?
Bagaimanapun, rasa aman adalah hak warga negara. Itu sebabnya, tiap kali ada kejadian yang berlatar kekerasan, apakah itu kriminal maupun konflik sosial, masyarakat selalu menuntut pemerintah selaku pemegang ‘agunan’ rasa aman. Dan, mana kala rasa aman tidak lagi dapat diberikan, maka risikonya negara bisa jadi bubar.
Salam integritas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar