Tadinya saya tidak begitu percaya dengan anggapan orang berpolitik hanya untuk mengejar harta. Begitu tingginya nilai kemuliaan seorang yang bekerja untuk negara demi melayani rakyat yang membutuhkan rasa aman dan sejahtera.
Tapi belakangan rasa ingin memuliakan itu semakin hilang. Malah berubah menjadi sikap jijik, karena begitu banyaknya tokoh-tokoh publik yang tertangkap karena menggerogoti uang rakyat. Uang yang mestinya ia lindungi untuk kepentingan orang banyak, tapi parkir di rekening sendiri.
Berita-berita di televisi dan media sosial tidak mungkin saya bendung agar anak-anak di rumah tidak sampai mengikuti kebobrokkan yang terjadi di negara ini. Biarlah mereka tetap berpikir ideal, sehingga suatu saat para pewaris negeri ini berbuat lebih baik untuk generasi mereka maupun berikutnya.
Tapi sulit sekali untuk menjelaskan kepada anak-anak itu ketika mereka bertanya; “mengapa si polan yang terkenal itu ditangkap karena korupsi? Dan kenapa orang-orang terkenal itu dipenjara?”
Dalam perspektif yang ideal, seseorang memasuki dunia politik memang sudah dipersiapkan sejak masa kecil. Dengan mengasah sikap dan tingkat kepeduliaan mereka pada masalah-masalah sosial, lingkungan juga perhatian dan kecintaan mereka terhadap tanah air. Dari sana mereka akan punya bekal yang cukup untuk mengabdikan dirinya secara penuh untuk rakyat. Tanpa memikirkan lagi berapa kekayaan yang diperoleh dari kedudukan jabatan itu.
Tapi kisah ideal itu sekarang menjadi sesuatu yang langka. Memang masih ada politisi yang bagus, bersih. Tapi mereka tenggelam di antara politisi kotor.
Mengapa mereka memilih menjadi politisi? Menurut penelitian Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat mempertahankan disertasi doktoralnya, ternyata mayoritas motivasinya adalah kepentingan ekonomi. “Jadi DPR ini dianggap lembaga untuk mencari nafkah,” kata Pramono.
Karena itu tidak mengherankan kalau para politisi beramai-ramai menggunakan pengaruh jabatan dan kekuasaannya untuk ‘mengalihkan’ uang negara menjadi uang pribadi. Apakah itu dengan cara membuat kebijakan anggaran proyek dengan dalih aspirasi, sampai dengan anggaran operasional masing-masing anggota yang cenderung mengada-ada.
Ada ribuan kesempatan ‘mencari uang’ ketika seseorang naik menjadi anggota DPR RI. Misalnya seperti yang dialami Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS. Menurut KPK, dia diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur jatah impor daging sapi kepada perusahaan tertentu.
Argumen yang sering muncul di media menyebutkan, para politisi melakukan korupsi anggaran atau menyalahgunakan jabatan tak semata-mata karena kebutuhan dapurnya sendiri. Tapi besar kemungkinan untuk menambah pundi-pundi kas partai. Apalagi sebentar lagi berlaga dalam Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2014.
Hajatan politik itu memerlukan “amunisi” yang kuat. Amunisi untuk pencitraan diri sendiri agar bisa tampil lagi dalam panggung politik dan amunisi untuk partai. Begitu seterusnya roda berputar, entah kapan terjadi perubahan.
Salam integritas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar