Di kelas sebuah Sekolah Dasar di Samarinda, seorang anak perempuan bercerita, dirinya didorong rekan-rekannya untuk dicalonkan menjadi ketua kelas. Hatinya sempat galau. Apakah ia sanggup? Apakah bisa mengatur teman-temannya, apalagi para lelaki yang sering bandel.
Ketika masih diselimuti tanya, Ibu gurunya sudah memutuskan agar porsi ketua kelas diberikan kepada cowok, sedangkan wakilnya perempuan.
Mendengar kisah itu saya segera menyimpulkan; guru-guru di era modern pun belum mendukung kehadiran perempuan menjadi pemimpin. Ini masalah dasarnya. Lembaga pendidikan di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, mestinya menjadi pioneer dalam mengkampanyekan kesetaraan. Anak perempuan yang sedang galau itu mestinya didorong menjadi kuat. Bukan dipatahkan semangatnya.
Jadi, tidak heran kalau sampai kini perempuan lebih banyak memilih mengambil peran di dapur. Ketika ditawari terjun ke politik, seolah itu dunia asing milik para lelaki. Beruntung di Kaltim sudah ada perempuan menjadi Bupati dan Ketua DPRD, sehingga sedikitnya bisa memberi stimulan bahwa dunia politik tak didominasi oleh para lelaki.
Saya coba cek komposisi parlemen masa lalu. Sejak zaman kemerdekaan dan dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) – semacam MPR – yang berjumlah 68 orang, ternyata hanya ada dua perempuan, yakni Ny.Maria Ulfah Santoso dan Ny. RSS Soenarjo Mangoenpoespito.
Di eksekutif, pada zaman pemerintahan Syahrir tahun 1946, hanya ada satu perempuan menjadi Menteri Sosial, yaitu Maria Ulfah Santoso. Era berikutnya pemerintahan Amir Syarifuddin (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948), hanya ada SK Trimurti menjadi Menteri Perburuhan.
Situasi seperti ini tidak segera berubah di zaman Presiden Soeharto. Walau ada first lady Ibu Tien yang selalu mendukung gerakan peminisme, dunia politik dan jabatan publik masih menjadi dominasi kaum lelaki.
Saat reformasi sudah bergulir lebih enam tahun di mana Presiden Gus Dur mengeluarkan kebijakan antidiskriminasi, saya masih terkejut ketika mendapat data hasil Pemilu tahun 2004, bahwa dari 550 kursi anggota parlemen, jumlah perempuan hanya 28 orang.
Padahal, saat ini masyarakat dunia telah disuguhi data bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dari lelaki. Termasuk di Indonesia. Jadi, logisnya, karena sudah muncul kesadaran dan prinsip kesetaraan itu, maka di parlemen dan jabatan publik lainnya, posisinya sudah fifty-fifty.
Kecilnya jumlah perempuan di parlemen, memang diyakini merugikan kalangan peminisme. Sebab, ketika merancang peraturan dan undang-undang, seringkali tidak memperhatikan kepentingan bahkan perlindungan pada perempuan. Misalnya masih ada diskriminasi terhadap perempuan pada undang-undang perburuhan, atau apa jadinya kalau soal nikah sirri masuk dalam Undang-undang Perkawinan.
Saya kira, masyarakat sudah siap menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Namun kita juga harus memulai mengajarkan kepada anak-anak kita dari rumah. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar