Mari meluangkan waktu untuk berpikir tentang masa depan masyarakat yang tinggal Provinsi Kalimantan Timur. Sebuah provinsi yang selalu dian ggap kaya sumber daya alam seperti minyak dan gas, batubara dan tambang mineral lainnya serta juga hasil hutan.
Kekayaan alam itu jelas bukan kepunyaan rakyat Kaltim karena Undang-undang Dasar 45 telah mengunci bahwa tanah dan air serta isi kandungannya dikuasai oleh negara. Yaitu negara yang diatur oleh pemerintah memiliki tingkatan tertinggi di pusat, pronvinsi dan kabupaten / kota.
Sampai di sini sudah benar. Kalau ada yang mengklaim bahwa minyak dan gas yang disedot di perairan Selat Makassar bernama Blok Mahakam adalah kepunyaan rakyat Kaltim, maka itu sudah jelas salah besar. Hampir-hampir tak ada akses rakyat terhadap sumber daya yang tersimpan di dalam tanah tersebut. Meski tambang bernilai triliunan dolar itu berada di pelataran rumah kita sendiri.
Lantas bagaimana nasib rakyat Kalimantan Timur yang ingin kekayaan alam dikelola oleh rakyat sendiri. Tidak lagi diserahkan pekerjaan eksploitasinya kepada perusahaan bangsa-bangsa asing. Seperti diketahui saat ini sumber energy Migas di Kalimantan Timur digarap oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Total E&P Indonesie, Chevron, Vico. Kemudian juga koorporasi nasional seperti Pertamina dan Medco yang sahamnya dimiliki pengusaha nasional Arifin Panigoro.
Warga lokal maupun pengusaha dari Kalimantan Timur hanya jadi penonton. Sejak dulu kala, mereka tidak pernah punya cita-cita bisa menjadi operator penyedotan Migas. Padahal ada ratusan sumur mengandung Migas yang bertebaran sejak zaman Belanda di daerah ini.
Seperti layaknya masyarakat penonton, maka tentu memunculkan opini bahwa rakyat Kaltim tidak mungkin menjadi pemain. Penonton hanya sebatas mengamati, tapi tidak mampu untuk bekerja. Akhirnya, tidak terelakkan, perdebatan berputar pada tahap ini; apa tetap menjadi penonton atau menjadi pemain?
Saat reformasi berjalan memasuki usia 15 tahun, tekad itu datang membara. Kekuatan lokal yang didukung masyarakat adat, tetua kerajaan-kerajaan, tokoh masyarakat, pemimpin pemerintahan, seolah sepakat; saatnya mengelola sendiri ladang-ladang minyak di Kaltim.
Peluang itu memang ada. Ketika Total Indonesia yang menggarap ladang minyak di Selat Makassar bernama Blok Mahakam harus mengakhiri kontraknya tahun 2017. Itu berarti tersisa waktu empat tahun bagi kekuatan lokal Kaltim u ntuk menunjukkan keseriusan secara professional. Kemampuan untuk mengelola lahan bisnis yang tergolong padat modal itu.
Pertanyaannya; Sanggupkah rakyat Kaltim menerima estafet dari Total E&P Indonesie kalau pemerintah pusat benar-benar memberikan kesempatan itu? Apakah Kaltim punya dana untuk menanamkan modalnya, punya sumber daya manusia, punya kemampuan pasar, dan sebagainya.
Mari merenung bersama. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar