Tiba-tiba, Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayor Jenderal TNI Agus Sutomo mengeluarkan statemen; siap bertanggung jawab atas terjadinya penyerangan dan pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Sebelas orang yang menyerang itu diketahui adalah anggota Kopassus.
Spontan kalimat yang terdengar dalam berita televisi itu membuat saya lega. Juga mungkin puluhan juta rakyat Indonesia lainnya. “Masih ada sikap kesatria pemimoin seperti itu di negeri ini”. Kita merindukan sosok-sosok seperti Agus Sutomo.
Di balik rasa lega itu, saya berusaha menelusuri lagi mengapa ada Agus dan mengapa ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyno), Presiden kita. Keduanya sama-sama berlatar belakang militer. Apakah ini ada kaitannya; untuk menaikkan lagi branding militer demi Pemilu 2014 nanti? Apakah ada skenario besar untuk menuntun opini publik bahwa dalam Pilpres 2014 nanti, masih figur militer yang terbaik?
Berlebihan barangkali untuk curiga hal seperti itu. Tapi tak bisa dipungkiri, zaman pemerintahan Presiden SBY ini – menurut hasil survey LSI (Lingkaran Survei Indonesia), 41,3 persen responden menilai sama saja dibanding pemerintah sebelumnya. So, yang menyatakan SBY lebih baik 22,6 persen dan yang menyatakan lebih buruk 26,5%. Sisanya, 9,6 persen menjawab tidak tahu.
Apa artinya?
Publik merasa pemerintahan SBY tidak berhasil. Tapi, beda dengan sikap ksatria yang masih berlaku di lingkungan militer, setelah menjadi sipil ternyata sikap-sikap ksatria itu padam. Ujian Nasional (UN) yang gagal, masih dicari kambing hitam bahwa masalahnya adalah pada perusahaan percetakan, bukan kegagalan pada manajemen pemerintah mengelola sistim ujian nasional itu.
Jadi, wajar saja kalau akhirnya sikap-sikap ksatria juga punah di pemerintahan level bawahnya. Sebutlah seorang gubernur, bupati, wali kota. Semakin jauh levelnya, maka semakin langka jiwa ksatria itu.
Suatu kali saya datang melihat GOR Palaran yang dibangun dengan uang rakyat triliunan rupiah. Bangunan-bangunan untuk pertandingan olahraga berkelas internasional itu adalah karya Gubernur Kaltim era Suwarna AF yang kemudian lengser masuk penjara karena korupsi. Dulu, GOR dibangun karena Kaltim menjadi tuan rumah PON tahun 2008.
Usai itu, tak ada lagi kegiatan di GOR Palaran. Tidak ada even olahraga besar yang rutin bisa diagendakan terlaksana di daerah ini. Gubernur Kaltim sekarang Awang Faroek Ishak, kata orang-orang dekatnya, sudah menginstruksikan semua venue boleh dipakai masyarakat dan gratis. Alhasil, meski gratis tak ada berminat juga.
Kalau saja ada sikap ksatria kalangan sipil seperti Komandan Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo, maka sesungguhnya kegagalan pengelolaan GOR Palaran itu jelas ada di tangan Gubernur Kaltim. Mengapa? Karena dia yang punya otoritas tertinggi di daerah yang mampu mengeluarkan kebijakan atas pemanfaatan asset daerah. Jika seorang gubernur punya kemampuan, saya kira dia tak sekedar menggratiskan, tapi mampu memobilisir semua elemen untuk berkonsentrasi di GOR Palaran. #
menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Sabtu, 18 Mei 2013
Matinya Inspirasi
Ada batas-batas rawan antara penguasa dengan pengusaha. Jika terlalu kental hubungannya, maka dia dekat dengan sorotan KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme). Bila terlalu jauh, jelas merugikan kedua belah pihak.
Pendek cerita, penguasa (baca; pemerintah) dan pengusaha adalah kait mengkait. Mereka tumbuh bersama, namun harus memahami posisi masing-masing agar tidak muncul konspirasi berdimensi negatif, yaitu berkongsi melakukan kejahatan seperti membobol APBD dan meloloskan perizinan berlandaskan suap.
Pemimpin pemerintahan, idealnya menjadi sumber inspirasi semua kekuatan di masyarakat. Termasuk di antaranya pengusaha. Sebab, sebuah provinsi, kabupaten/kota membutuhkan partisapasi swasta. Sebuah kota menjadi terlihat maju dan cantik dengan bangunan megah misalnya, karena keterlibatan pengusaha swasta. Bahkan saya merasa yakin, bahwa 90 persen yang membuat kota itu terlihat maju lantaran dinamisnya karya swasta.
Sayangnya politik kerap menjadi penghalang hubungan penguasa – pengusaha. Karena berbeda partai politik, bahkan berseberangan calon ketika dalam pencalonan (Pilgub/pilwali/pilbup), pemimpin pemerintahan cenderung tak memberi tempat. Karena dinilai bukan kelompoknya.
Suasana itu terasa juga di Kalimantan Timur. Tokoh-tokoh yang terpilih menjadi pemimpin selalu saja masih menyimpan dendam dengan orang-orang yang bukan termasuk dalam tim pemenangannya. Alhasil, ide-ide besar dalam membangun kota jadi terhambat.
Saya masih jelas mengingat, bagaimana Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan pasangannya Nusyirwan Ismail, yang kini ‘terjerembab’ dengan pengusaha-pengusaha “orang dekatnya” saja. Ibarat katak dalam tempurung. Bahkan untuk menghidupkan Perusda sendiri saja sulitnya bukan kepalang.
Juga bagaimana Gubernur Awang Faroek Ishak gagal dalam menghadirkan pengusaha swasta dalam menggarap proyek-proyek besarnya. Rakyat Kaltim masih mengingat bahwa beberapa tahun silam Gubernur Awang Faroek berjanji mengajak swasta dalam membangun jalan tol dan mendirikan perusahaan penerbangan Kaltim Air. Faktanya? Nol besar.
Sangat jelas, kemampuan pemimpin pemerintahan di Kaltim umumnya tidak memiliki jiwa entrepreunur. Mereka hanya sebatas mampu memberi jalan kepada pengusaha untuk ketergantungan proyek-proyek pemerintah. Bermain tender proyek.
Padahal banyak perencanaan pembangunan skala besar di depan mata, yang logis secara bisnis bisa direalisasi atas dasar kerjasama penguasa-pengusaha. Seperti misalnya ketika ada wacana memindahkan kantor pemerintahan Pemkot Samarinda atau Pemprov Kaltim ke Samarinda Seberang. Saya kira itu tidak sekedar wacana, tapi sebuah inspirasi untuk sebuah karya besar. #
Pendek cerita, penguasa (baca; pemerintah) dan pengusaha adalah kait mengkait. Mereka tumbuh bersama, namun harus memahami posisi masing-masing agar tidak muncul konspirasi berdimensi negatif, yaitu berkongsi melakukan kejahatan seperti membobol APBD dan meloloskan perizinan berlandaskan suap.
Pemimpin pemerintahan, idealnya menjadi sumber inspirasi semua kekuatan di masyarakat. Termasuk di antaranya pengusaha. Sebab, sebuah provinsi, kabupaten/kota membutuhkan partisapasi swasta. Sebuah kota menjadi terlihat maju dan cantik dengan bangunan megah misalnya, karena keterlibatan pengusaha swasta. Bahkan saya merasa yakin, bahwa 90 persen yang membuat kota itu terlihat maju lantaran dinamisnya karya swasta.
Sayangnya politik kerap menjadi penghalang hubungan penguasa – pengusaha. Karena berbeda partai politik, bahkan berseberangan calon ketika dalam pencalonan (Pilgub/pilwali/pilbup), pemimpin pemerintahan cenderung tak memberi tempat. Karena dinilai bukan kelompoknya.
Suasana itu terasa juga di Kalimantan Timur. Tokoh-tokoh yang terpilih menjadi pemimpin selalu saja masih menyimpan dendam dengan orang-orang yang bukan termasuk dalam tim pemenangannya. Alhasil, ide-ide besar dalam membangun kota jadi terhambat.
Saya masih jelas mengingat, bagaimana Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan pasangannya Nusyirwan Ismail, yang kini ‘terjerembab’ dengan pengusaha-pengusaha “orang dekatnya” saja. Ibarat katak dalam tempurung. Bahkan untuk menghidupkan Perusda sendiri saja sulitnya bukan kepalang.
Juga bagaimana Gubernur Awang Faroek Ishak gagal dalam menghadirkan pengusaha swasta dalam menggarap proyek-proyek besarnya. Rakyat Kaltim masih mengingat bahwa beberapa tahun silam Gubernur Awang Faroek berjanji mengajak swasta dalam membangun jalan tol dan mendirikan perusahaan penerbangan Kaltim Air. Faktanya? Nol besar.
Sangat jelas, kemampuan pemimpin pemerintahan di Kaltim umumnya tidak memiliki jiwa entrepreunur. Mereka hanya sebatas mampu memberi jalan kepada pengusaha untuk ketergantungan proyek-proyek pemerintah. Bermain tender proyek.
Padahal banyak perencanaan pembangunan skala besar di depan mata, yang logis secara bisnis bisa direalisasi atas dasar kerjasama penguasa-pengusaha. Seperti misalnya ketika ada wacana memindahkan kantor pemerintahan Pemkot Samarinda atau Pemprov Kaltim ke Samarinda Seberang. Saya kira itu tidak sekedar wacana, tapi sebuah inspirasi untuk sebuah karya besar. #
Aspirasi Faroek
Persoalan kita, salah satunya, bagaimana mengelola aspirasi. Para pejabat tinggi seperti Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, seringkali mudah mengucapkan kata ‘aspirasi’, tetapi sulit mengelolanya hingga menjadi sebuah kebijakan.
Sederhananya, aspirasi itu adalah keinginan rakyat. Apakah itu menyangkut keamanan, lingkungan, pendidikan dan apa saja yang diatur negara sebagai hak warga negara. Sebutlah kondisi jalan yang mulus, jembatan penghubung agar akses ekonomi dan sosial warga lebih mudah.
Dari tingkatannya, bisa dibilang begini; aspirasi si A disampaikan kepada pimpinan di kampungnya, terus sampai ke Lurah, Camat, terus Bupati / Wali Kota. Bisa juga melalui perwakilannya di DPRD, terus dibawa ke rapat dewan sampai paripurna untuk memutuskan kebijakan merealisasi aspirasi itu.
Itu adalah langkah-langkah ideal. Aspirasi perorangan dari warga kemudian dikaji apakah menjadi aspirasi warga secara umum. Semakin detil meneliti, maka semakin diketahui bahwa ‘keinginan’ rakyat memang seperti yang disampaikan oknum warga tadi.
Sampai di sini, tidak ada yang bisa membantah bahwa ada sistim ‘mengalirnya’ aspirasi dalam sistim pemerintahan di negeri ini. Yaitu ada Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini lebih akrab disebut UU Otonomi Daerah.
Sangat jelas, akumulasi dari aspirasi rakyat itu muaranya ada di Bupati / wali kota atau di DPRD masing-masing. Dari sana dipilah-pilah mana ditujukan kepada Pemerintahan Provinsi dan mana aspirasi untuk kepentingan pemerintah pusat. Dua pemerintahan di atas kabupaten / kota adalah fasilitator agar terwujudnya aspirasi masyarakat. Mereka menghitung anggaran apakah proyek jalan yang diminta warga bisa dipenuhi.
Dengan komposisi manajemen pemerintahan seperti itu, semestinya seorang Gubernur di suatu daerah hanya menjalankan tugas-tugas fasilitator dari aspirasi masyarakat. Apalagi posisinya juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Manakala Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dengan sangat ngotot menuangkan ide membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda, saya sejak tahun 2009 lalu sudah menggulirkan pertanyaan; “Jalan tol itu aspirasi dari mana. Siapa punya ide?”
Sebagai seorang wartawan, saya mencatat tidak pernah ada muncul penyampaian aspirasi tentang jalan tol dari masyarakat kepada Wali Kota Balikpapan, Bupati Kutai Kartanegara maupun Wali Kota Samarinda. Ketiga pejabat itu adalah pemimpin di ketiga daerah yang bakal dilewati jalan tol.
Wacana jalan tol pernah ada di era Gubernur Suwarna AF. Itupun tidak melewati mekanisme penjaringan aspirasi dari rakyat. Hanya tiba-tiba saja muncul di APBD Kaltim untuk memulai memetakan jalurnya.
Ini model aspirasi jaman dulu. Era sebelum reformasi. Di mana penguasa selalu memaksakan kehendaknya. Memaksakan aspirasi pribadinya. Model yang begitu, ternyata masih berulang diera reformasi. #
=============================================================
Dulu, zaman Syaukani HR menjadi Bupati Kutai yang kemudian berubah menjadi Kutai Kartanegara, predikat buruk selalu menyertai penyebutan daerah ini. Ada beberapa kalimat favorit yang melekat kalau menyebut Kukar. Misalnya, daerah kaya tapi masyarakat miskinnya terbesar. Lalu, daerah para koruptor.
Memang tidak ada yang bisa membantah. Karena semua adalah fakta. Pemberi data tentang jumlah kemiskinan adalah lembaga berkompeten seperti BPS (Badan Pusat Statistik). Sementara, untuk iko n ‘daerah para koruptor’, lantaran di era reformasi ini banyak pejabat dari daerah itu yang ditangkap karena kasus korupsi. Seperti Bupati Syaukani HR dan juga wakilnya Syamsuri Aspar.
Apa penyebab munculnya predikat minor dari Kutai Kartanegara? Barangkali baru bisa dicari jawabnya ketika pemerintahan telah berpindah. Bupati Syaukani yang tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya karena masuk penjara dan sakit permanen, ternyata mewariskan kharismanya kepada salah seorang putrinya, Rita Widyasari.
Saat Pilkada Kukar tahun 2010, Rita Widyasari, putri kedua Syaukani memutuskan maju dan ternyata menang. Setelah tiga tahun menjadi Bupati, Rita semakin memahami mengapa citra buruk itu menimpa Kukar.
Salah satu masalah, ternyata adalah karena Pemprov dan Pemerintah Pusat minim perhatian terhadap Kukar. Merasa bahwa Kukar memiliki APBD terbesar di antara kabupaten / kota se-Kaltim, Pemprov dan pusat seolah tak lagi begitu peduli pembangunan sarana publik yang sangat penting. Contohnya adalah pembangunan sarana jalan provinsi maupun jalan negara. Keberadaan jalan-jalan poros ini teramat penting untuk menyambung jalan-jalan kampung.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak diangap Bupati Rita tidak mau memperhatikan aspirasi rakyat Kukar. Ia berjalan dengan programnya sendiri. Padahal, sumber keuangan untuk membiayai APBD provinsi Kaltim sebagian berasal dari hasil pengolahan sumber daya alam di Kutai Kartanegara. Tiap tahun tidak kurang dari Rp130 triliun disumbangkan dari daerah bersejarah Kerajaan Mulawarman itu.
Puncak kekecewaan Bupati Rita tak terbendung lagi. Ia dengan keras menyuarakannya saat Musrenbang tingkat provinsi berlangsung. “Kalau begini kami tidak diperhatikan, lebih baik kami membentuk provinsi baru, Kutai Raya,” seru Rita.
Semua peserta tercengang. Baru kali ini ada pejabat – perempuan dan muda lagi – berani garang dengan kebijakan Pemprov Kaltim yang dipimpin Awang Faroek Ishak. Terlalu lama tidak ada bupati dan wali kota yang siap bersikap berlawanan dengan sang Gubernur, walau banyak kebijakannya tidak mengakar untuk kepentingan masyarakat daerahnya.
Memang, waktu itu, kesannya Rita hanya menumpahkan kekecewaan semata. Tapi sebenarnya, rencana untuk membentuk provinsi baru itu bukan baru mengemuka. Sejak ayahandanya, Syaukani menjadi bupati, sudah muncul wacana tersebut. Rita yang pada awal kepemimpinan bupati berjanji melanjutkan cita-cita Syaukani, benar-benar serius menjalankannya. Bravo!
=================================================================
Wacana membentuk Provinsi Kutai Raya dilontarkan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari. Diam-diam, perencanaan sudah berjalan.
Rita Widyasari, tadinya tenang. Saat Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) Kaltim berlangsung di Lamin Etam, hari Rabu 3 April 2013 silam, perempuan satu-satunya bupati se provinsi Kalimantan Timur itu duduk mendengarkan pemaparan dari Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Tentu tentang rencana membangun provinsi tahun 2013 ini.
Saat tiba giliran dibuka dialog, Rita tak menyia-nyiakan. Dengan suara yang keras, ia mengaku kecewa dengan Pemerintah Provinsi Kaltim. Pasalnya, rencana membangun jembatan Loa Kulu yang telah diagendakan, tidak masuk dalam rencana anggaran.
Karena merasa Pemprov Kaltim tidak mampu memperjuangkan, Rita dengan spontan mengatakan akan membentuk Provinsi Kutai Raya. Karena kontribusi daerah itu cukup besara ke devisa negara. Sekitar Rp130 triliun, sehingga dianggap mampu dari sisi keuangan membiayai provinsi sekalipun.
Wacana Kutai Raya, sebenarnya pernah juga dicetuskan ayah Rita, yakni Syaukani HR ketika menjabat Bupati daerah itu. Hanya saja, Syaukani memilih merintisnya dengan tidak terbuka. Ia telah mengumpulkan dukungan dari anggota DPRD, termasuk juga kesultanan. Sayangnya, rencana dengan gerakan diam-diam itu kandas setelah Syaukani masuk penjara.
Munculnya lagi rencana membentuk Kutai Raya, diyakini beberapa pihak bukan sekedar kekecewaan Rita Widyasari. Ia telah mewarisi cita-cita ayahandanya, seperti janjinya sebelum menjadi bupati, akan meneruskan perjuangan Syaukani. Sedangkan masalah perlakuan Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat yang dianggap tidak berkeadilan terhadap Kukar, hanya jadi pemicu saja.
Tidak hanya pada acara Musrenbang di Lamin Etam Samarinda, Rita juga menyampaikan sikap emosionalnya saat dilakukan peletakan batu pertama (Groundbreaking) Pembangunan Jembatan Kartanegara di lokasi jembatan yang runtuh dua tahun silam.
Rita menuding Pemprov tidak care. Jalan-jalan berstatus jalan provinsi tidak tersentuh dan sebagian besar kondisinya rusak parah. Padahal jalan protokol seperti itu sangat penting keberadaannya untuk mendorong perbaikan jalan-jalan antar kampung. Begitu juga jalan arteri primer berstatus jalan negara.
“Saya merasa sulit sekali membangun Kukar,” ujar Rita. “Kukar tak meminta banyak hanya sedikit keadilan,” lanjutnya. Ia memperlihatkan fakta, ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun.
“Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN,” ujarnya, ketus.
Soal jalan-jalan yang rusak, warga seluruh Kaltim sudah merasa jengkel dengan Gubernur Awang Faroek Ishak. Sebab keluhan ini juga dialami oleh warga kabupaten dan kota lain se-Kaltim. Hanya saja, para bupati dan wali kotanya tidak ada yang berani garang seperti yang dilakukan Rita. Selama ini banyak yang kesal karena Gubernur Awang Faroek memilih melaksanakan agendanya sendiri, seperti membangun jalan tol sementara banyak jalan provinsi dibiarkan rusak parah.
Dukungan terhadap pembentukan Provinsi Kutai Raya, spontan diberikan anggota DPRD Kutai Kartanegara. Misalnya Guntur, Plt Wakil Ketua DPRD Kukar, menganggap wacana itu wajar dan patut direalisasikan karena dengan konstribusi sekitar Rp130 triliun per tahun ke kas negara, Kukar bisa menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru).
Di Tenggarong, gema pembentukan provinsi Kutai Raya juga bergulir positif. Masyarakat setempat semakin memahami kenapa banyak jalan di daerah mereka mengalami rusak-rusak, namun tidak ada upaya perbaikan dari Pemprov Kaltim maupun pusat.
“Lebih baik gabung provinsi sendiri kalau memang memungkinkan,” tutur Syaref, seorang pedagang minuman ringan di sana.
Spekulasi tentang provinsi baru Kutai Raya yang menyebar di masyarakat menyebut Kukar akan bergabung dengan Kutai Barat, Kutai Timur, Berau dan Kabupaten Mahakam Ulu. Dengan lima kabupaten tersebut, sudah cukup syarat untuk mendirikan provinsi.
Namun beberapa kalangan yang dekat dengan Rita Widyasari menceritakan, wacana pembentukan provinsi Kutai Raya memang santer dibicarakan di kalangan terbatas. Ini berawal dari keinginan Rita menjawab perkembangan aspirasi pembentukan Kutai Pesisir yang tinggal menunggu restu dari Rita selaku bupati.
Rita konon tidak begitu happy dengan rencana membentuk Kutai Pesisir karena dirasakan kurang berkeadilan dengan kecamatan-kecamatan di kabupaten induk. Seperti diketahui Kabupaten Kutai Pesisir berkeinginan mencaplok Kecamatan Muara Jawa, Samboja, Sanga-sanga, Muara Badak dan Loa Janan sebagai daerahnya, padahal kecamatan itu adalah ladang migas yang menjadi sumber pendapatan APBD Kutai Kartanegara.
Tim Pemkab Kukar lebih memilih opsi lain, yakni melakukan pemekaran kecamatan lebih banyak untuk menjadi kabupaten, sekaligus mempersiapkan terbentuknya Provinsi Kutai Raya. Daerah yang rencana dimekarkan di antaranya, Kecamatan Samboja akan dimekarkan menjadi lima kecamatan dan kemudian membentuk Kabupaten Samboja.
Rencana kedua membentuk Kabupaten Muara Jawa yang berintegrasi dengan Sanga-sanga dan Loa Janan, ditambah memekarkan lagi beberapa kecamatan. Pemekaran ketiga adalah membentuk Kabupaten Muara Badak yang bergabung dengan Tenggarong Seberang ditambah memekarkan kecamatan lagi.
Di sebelah hulu, rencana memekarkan Kutai Tengah juga sudah bergulir sejak era Bupati Syaukani. Kabupaten Kutai Tengah terdiri dari Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Muara Muntai, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang. Deklarasi Kutai Tengah pernah dilaksanakan di Kota Bangun dan mendapat dukungan Sultan Solehuddin II dan kerabat kesultanan. #les
========================================================
Saya Punya Kajian Kutai Raya
“Hidup ini adalah tantangan. Hadapilah,” demikian tulis perempuan Kelahiran 7 November 1973 di ruang kutipan favorit akun facebooknya, Rita Kaning.
Dan, terbukti, meski begitu kuat terjangan ‘badai’ yang pernah menimpa diri dan juga keluarganya, ia malah semakin kokoh. Ia mampu menghadapi tantangan itu.
Rita Widyasari dalam akun facebook sengaja memakai nama Rita Kaning. Selain untuk mendekatkan publik di media sosial dengan ayahandanya, Syaukani Hasan Rais yang akrab dipanggil Kaning, juga lantaran beberapa akun facebook Rita yang memakai lengkap namanya, konon, dihack oleh orang tidak bertanggungjawab.
“Maaf ya, kalau ada akun dengan nama saya lagi, itu bukan saya. Ini akun asli saya,” tulis Rita kemudian di media sosial itu.
Nama Syaukani Hasan Rais, di dunia politik Kalimantan Timur, masih begitu dikenang. Beliau adalah ayahanda Rita Widyasari yang terkenal berani. Waktu era Presiden Soeharto, Kaning malah sudah lebih dulu mewacanakan sistim negara federal yang cocok untuk Kutai Kartanegara. Pernyataan itu menjadikannya diperhitungkan di forum-forum nasional, sampai akhirnya dipilih menjadi Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia).
Syaukani juga yang berani melawan kebijakan Gubernur Kaltim Suwarna AF sehingga membuat keduanya saling bermusuhan. Sayangnya, Syaukani yang pernah jadi Ketua Partai Golkar Kaltim itu harus mengakhiri karirnya di penjara. Dan, saat menjalani hukuman, ia terserang sakit yang membuatnya mendapat pembebasan karena dokter memvonisnya sakit permanen.
Belakangan ini, Rita Widyasari menjadi pusat perhatian. Ia jadi satu-satunya bupati di Kaltim – setelah era ayahandanya Syaukani – yang berani menentang kebijakan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Apakah ia akan mengulang reputasi ayahandanya?
Rita merasa kecewa dengan Pemprov Kaltim yang tidak memperjuangkan anggaran proyek jembatan Loa Kulu. Padahal, sebelumnya telah dijanjikan gubernur untuk dimasukkan dalam proyek MP3EI (Masterplan percepatan, perluasan pembangunan ekonomi Indinesia). Dengan spontan Rita mengatakan lebih baik berpisah dengan Kaltim dan membentuk provinsi baru bernama Kutai Raya.
Semua terkaget-kaget. Perempuan lembut dengan tiga anak ini tiba-tiba saja bisa begitu garang. Apalagi Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak masih ada hubungan keluarga dengannya. Ibu kandung Rita masih bersepupu dengan Awang Faroek.
Masa remaja Rita dihabiskan untuk dunia seni. Ia sering tampil dalam even-even peragaan busana. Namun siapa mengira justru dia yang mewarisi bakat politik dari ayahandanya. Kakak perempuannya, Silvy Agustina, lebih memilih mengabdi kepada suami, mengurus rumah tangga. Sedangkan seorang adik lelakinya, Windra Sudarta yang akrab dipanggil I’ing baru meninggal dunia karena sakit kronis yang dideritanya.
Apa sebenarnya cerita di balik terlontarnya ide mendirikan Provinsi Kutai Raya itu, berikut petikannya.
Ide berpisah dengan Kalimantan Timur itu, apa hanya karena emosional kekecewaan?
Sebenarnya tidak. Itu akumulasi. Saya menyampaikan untuk membentuk provinsi kutai raya, (karena) saya punya kajian. Bagaimana caranya, harus jadi provinsi. Ini kan karena pemerataan tidak dirasakan Kutai Kartanegara. Kalau pembangunan merata, ya ngapain sih pemekaran.
Anda merasakan Pemprov Kaltim sengaja tidak memperhatikan Kukar?
Jalan-jalan provinsi banyak yang rusak berat. Jembatan Loa Kulu yang sudah dijanjikan didanai APBN ternyata tidak masuk dalam program MP3EI. Masalah pembangunan bandara, kami sudah berusaha mengalah, bahwa membangunnya dengan dana investor supaya kukar punya bandara, tapi kan tidak diperjuangkan juga.
Sebagai Bupati, Anda bilang malu dengan masyarakat karena jalan-jalan rusak?
Memang. Dulu, dalam rapat kerja saya bilang, 2015 tak ada jalan jelek lagi di Kukar. Minimal jalan protokol hingga ke kecamatan. Ini kan janji saya. Semoga Pak Gubernur mengerti bahwa saya hanya minta diberi perhatian lebih karena kami penyumbang terbesar.
Kok bisa jalan-jalan provinsi tidak diperhatikan?
Di Kukar, banyak jalan provinsi yang belum tersentuh perbaikan. Belum lagi jalan arteri primer yang merupakan kewenangan nasional. Ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun. Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN.
Begitu juga jalan kolektor II di Kukar yang merupakan kewenangan provinsi, banyak yang rusak berat. Hanya jalur Balikpapan-Samboja dan Samarinda-Anggana yang kondisinya baik. Sedangkan dari Samarinda-Sangasanga jauh dari kata mulus. Begitu pula Simpang Patung Lembuswana (Tenggarong Seberang)-Muara Kaman yang nyaris tak pernah bagus.
Jalur Sebulu-Muara Kaman sudah lama rusak. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) saya, mobilnya ambles di kubangan lumpur saat pulang dari MTQ. Terus di jalur Samarinda-Sangasanga yang selalu saya lewati ketika peringatan Peristiwa Merah Putih. Rusaknya jalan malah membuat peralatan untuk pameran peringatan peristiwa bersejarah malah banyak rusak ketika dibawa.
Jalan provinsi rusak, Anda yang disalahkan warga?
Iya. Banyak warga hingga tokoh masyarakat yang tak mengerti tentang jaringan jalan. Misalnya jalan lokal yang menjadi tanggungan APBD Kukar, yaitu hanya berupa jalan lingkungan dan jalan desa. Sedangkan jalan provinsi dan jalan negara rusak, juga yang tertimpa kecaman warga adalah bupatinya.
Anda konsentrasi ke pembangunan jalan ya?
Kepada semua pihak, mulai Ketua DPRD Kaltim, Gubernur, dan kepala SKPD provinsi, saya ingin menyampaikan sesuatu. Jika saya sendirian membangun dan memelihara jalan, tak akan bisa. Kami (saat ini) tidak membangun gedung mewah sebelum jalan mulus terbentang. Itu bisa terlihat dari APBD Kukar yang lebih banyak dialokasikan ke Bina Marga yang mengurusi jalan ketimbang Cipta Karya. Dinas Pendidikan pun, tidak boleh membangun sekolah baru kalau masih ada sekolah jelek.
Bagaimana kondisi di Hulu Mahakam?
Berbicara kondisi kecamatan Kukar di hulu Sungai Mahakam jauh lebih menyedihkan. Itu sebabnya saya lebih memilih memakai speedboat ketimbang melewati jalur darat. Jika ke hulu lagi, saya lebih baik naik helikopter. Bukan sombong, kondisi jalan yang tak memungkinkan. Bisa bikin pinggang patah. Padahal tahun ini, 12 negara akan datang saat Erau. Tapi terasa malu karena kondisi jalan di Kukar seperti tahun 1945.
Statemen Anda sangat menyerang Gubernur Awang Faroek. Ada agenda lain?
Begini, jangan karena masalah ini, ada yang beranggapan saya benci Pak Gubernur. Saya hanya mengingatkan bahwa Kukar banyak mengalah. (Contohnya) kami tiap tahun Erau, tapi jalan menuju Tenggarong tak dibangun-bangun. Jembatan sudah kami bangun sendiri.
Saya ini pendeklarator Pak Mukmin (Faisjal) dan Pak Awang Faroek Ishak (gubernur). Setitikpun saya enggak ada niat menjelekkan calon saya. Saya hanya minta Kukar diperhatikan. Minta Kukar jadi daerah tujuan. Karena selama ini saya (Kukar) merasa dinomorduakan.
Jangan beranggapan saya mau jadi gubernur. (Atau hanya sekadar) mau tenar atau ikut-ikut Pak Syaukani dan Pak Suwarna. Saya ini politisi yang enggak mau punya musuh. Asal Kukar diperhatikan, saya akan jadi anak manis.
Kasihan rakyat saya yang naik kapal tiap hari. Jadi, saya mau cepat ada jembatan, tidak satu tapi 2 buah. Catat, saya tidak mau menjatuhkan nama Pak Gubernur. Saya cuma minta dibuatkan jembatan dan jalan yang dibiayai dan dilelang di pusat dan provinsi.
Kata Pemprov Kaltim, Kukar punya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) Kukar besar. Dari Rp 6,92 triliun APBD Kukar 2012, Silpa mencapai 52 persen, sekitar Rp 3,5 triliun. Dianggap tidak mampu habiskan anggaran. Jadi gak perlu dibantu lagi?
Silpa tak bisa menjadi penghambat upaya Pemprov membangun di Kukar. Masalah Silpa, memang kalau bangun jembatan Loa Kulu masuk APBD Kukar? Bangun jalan Loa Janan- Loa Kulu dan Trans Kaltim masuk APBD Kukar? Jelas tidak. Jembatan Loa Kulu jelas dilelang pusat, juga jalan-jalan tadi.
(Untuk) jalan Trans Kaltim, ya, dilelang di Pemprov Kaltim. Jadi tak ada hubungannya antara Silpa dan APBD Kukar. Jangan keluar subtansilah.
Silpa kami Rp 3,447 triliun. Terdiri dari over pendapatan Rp 1,6 triliun dan sisa belanja Rp 1,746 triliun. Jadi bukan Silpa Rp 3,5 triliun. Masalah angka jangan salah,karena ini pasti. #
Sederhananya, aspirasi itu adalah keinginan rakyat. Apakah itu menyangkut keamanan, lingkungan, pendidikan dan apa saja yang diatur negara sebagai hak warga negara. Sebutlah kondisi jalan yang mulus, jembatan penghubung agar akses ekonomi dan sosial warga lebih mudah.
Dari tingkatannya, bisa dibilang begini; aspirasi si A disampaikan kepada pimpinan di kampungnya, terus sampai ke Lurah, Camat, terus Bupati / Wali Kota. Bisa juga melalui perwakilannya di DPRD, terus dibawa ke rapat dewan sampai paripurna untuk memutuskan kebijakan merealisasi aspirasi itu.
Itu adalah langkah-langkah ideal. Aspirasi perorangan dari warga kemudian dikaji apakah menjadi aspirasi warga secara umum. Semakin detil meneliti, maka semakin diketahui bahwa ‘keinginan’ rakyat memang seperti yang disampaikan oknum warga tadi.
Sampai di sini, tidak ada yang bisa membantah bahwa ada sistim ‘mengalirnya’ aspirasi dalam sistim pemerintahan di negeri ini. Yaitu ada Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini lebih akrab disebut UU Otonomi Daerah.
Sangat jelas, akumulasi dari aspirasi rakyat itu muaranya ada di Bupati / wali kota atau di DPRD masing-masing. Dari sana dipilah-pilah mana ditujukan kepada Pemerintahan Provinsi dan mana aspirasi untuk kepentingan pemerintah pusat. Dua pemerintahan di atas kabupaten / kota adalah fasilitator agar terwujudnya aspirasi masyarakat. Mereka menghitung anggaran apakah proyek jalan yang diminta warga bisa dipenuhi.
Dengan komposisi manajemen pemerintahan seperti itu, semestinya seorang Gubernur di suatu daerah hanya menjalankan tugas-tugas fasilitator dari aspirasi masyarakat. Apalagi posisinya juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Manakala Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dengan sangat ngotot menuangkan ide membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda, saya sejak tahun 2009 lalu sudah menggulirkan pertanyaan; “Jalan tol itu aspirasi dari mana. Siapa punya ide?”
Sebagai seorang wartawan, saya mencatat tidak pernah ada muncul penyampaian aspirasi tentang jalan tol dari masyarakat kepada Wali Kota Balikpapan, Bupati Kutai Kartanegara maupun Wali Kota Samarinda. Ketiga pejabat itu adalah pemimpin di ketiga daerah yang bakal dilewati jalan tol.
Wacana jalan tol pernah ada di era Gubernur Suwarna AF. Itupun tidak melewati mekanisme penjaringan aspirasi dari rakyat. Hanya tiba-tiba saja muncul di APBD Kaltim untuk memulai memetakan jalurnya.
Ini model aspirasi jaman dulu. Era sebelum reformasi. Di mana penguasa selalu memaksakan kehendaknya. Memaksakan aspirasi pribadinya. Model yang begitu, ternyata masih berulang diera reformasi. #
=============================================================
Ssst.. Kutai Raya Serius
Dulu, zaman Syaukani HR menjadi Bupati Kutai yang kemudian berubah menjadi Kutai Kartanegara, predikat buruk selalu menyertai penyebutan daerah ini. Ada beberapa kalimat favorit yang melekat kalau menyebut Kukar. Misalnya, daerah kaya tapi masyarakat miskinnya terbesar. Lalu, daerah para koruptor.
Memang tidak ada yang bisa membantah. Karena semua adalah fakta. Pemberi data tentang jumlah kemiskinan adalah lembaga berkompeten seperti BPS (Badan Pusat Statistik). Sementara, untuk iko n ‘daerah para koruptor’, lantaran di era reformasi ini banyak pejabat dari daerah itu yang ditangkap karena kasus korupsi. Seperti Bupati Syaukani HR dan juga wakilnya Syamsuri Aspar.
Apa penyebab munculnya predikat minor dari Kutai Kartanegara? Barangkali baru bisa dicari jawabnya ketika pemerintahan telah berpindah. Bupati Syaukani yang tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya karena masuk penjara dan sakit permanen, ternyata mewariskan kharismanya kepada salah seorang putrinya, Rita Widyasari.
Saat Pilkada Kukar tahun 2010, Rita Widyasari, putri kedua Syaukani memutuskan maju dan ternyata menang. Setelah tiga tahun menjadi Bupati, Rita semakin memahami mengapa citra buruk itu menimpa Kukar.
Salah satu masalah, ternyata adalah karena Pemprov dan Pemerintah Pusat minim perhatian terhadap Kukar. Merasa bahwa Kukar memiliki APBD terbesar di antara kabupaten / kota se-Kaltim, Pemprov dan pusat seolah tak lagi begitu peduli pembangunan sarana publik yang sangat penting. Contohnya adalah pembangunan sarana jalan provinsi maupun jalan negara. Keberadaan jalan-jalan poros ini teramat penting untuk menyambung jalan-jalan kampung.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak diangap Bupati Rita tidak mau memperhatikan aspirasi rakyat Kukar. Ia berjalan dengan programnya sendiri. Padahal, sumber keuangan untuk membiayai APBD provinsi Kaltim sebagian berasal dari hasil pengolahan sumber daya alam di Kutai Kartanegara. Tiap tahun tidak kurang dari Rp130 triliun disumbangkan dari daerah bersejarah Kerajaan Mulawarman itu.
Puncak kekecewaan Bupati Rita tak terbendung lagi. Ia dengan keras menyuarakannya saat Musrenbang tingkat provinsi berlangsung. “Kalau begini kami tidak diperhatikan, lebih baik kami membentuk provinsi baru, Kutai Raya,” seru Rita.
Semua peserta tercengang. Baru kali ini ada pejabat – perempuan dan muda lagi – berani garang dengan kebijakan Pemprov Kaltim yang dipimpin Awang Faroek Ishak. Terlalu lama tidak ada bupati dan wali kota yang siap bersikap berlawanan dengan sang Gubernur, walau banyak kebijakannya tidak mengakar untuk kepentingan masyarakat daerahnya.
Memang, waktu itu, kesannya Rita hanya menumpahkan kekecewaan semata. Tapi sebenarnya, rencana untuk membentuk provinsi baru itu bukan baru mengemuka. Sejak ayahandanya, Syaukani menjadi bupati, sudah muncul wacana tersebut. Rita yang pada awal kepemimpinan bupati berjanji melanjutkan cita-cita Syaukani, benar-benar serius menjalankannya. Bravo!
=================================================================
Rita Dapat Dukungan
Wacana membentuk Provinsi Kutai Raya dilontarkan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari. Diam-diam, perencanaan sudah berjalan.
Rita Widyasari, tadinya tenang. Saat Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) Kaltim berlangsung di Lamin Etam, hari Rabu 3 April 2013 silam, perempuan satu-satunya bupati se provinsi Kalimantan Timur itu duduk mendengarkan pemaparan dari Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Tentu tentang rencana membangun provinsi tahun 2013 ini.
Saat tiba giliran dibuka dialog, Rita tak menyia-nyiakan. Dengan suara yang keras, ia mengaku kecewa dengan Pemerintah Provinsi Kaltim. Pasalnya, rencana membangun jembatan Loa Kulu yang telah diagendakan, tidak masuk dalam rencana anggaran.
Karena merasa Pemprov Kaltim tidak mampu memperjuangkan, Rita dengan spontan mengatakan akan membentuk Provinsi Kutai Raya. Karena kontribusi daerah itu cukup besara ke devisa negara. Sekitar Rp130 triliun, sehingga dianggap mampu dari sisi keuangan membiayai provinsi sekalipun.
Wacana Kutai Raya, sebenarnya pernah juga dicetuskan ayah Rita, yakni Syaukani HR ketika menjabat Bupati daerah itu. Hanya saja, Syaukani memilih merintisnya dengan tidak terbuka. Ia telah mengumpulkan dukungan dari anggota DPRD, termasuk juga kesultanan. Sayangnya, rencana dengan gerakan diam-diam itu kandas setelah Syaukani masuk penjara.
Munculnya lagi rencana membentuk Kutai Raya, diyakini beberapa pihak bukan sekedar kekecewaan Rita Widyasari. Ia telah mewarisi cita-cita ayahandanya, seperti janjinya sebelum menjadi bupati, akan meneruskan perjuangan Syaukani. Sedangkan masalah perlakuan Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat yang dianggap tidak berkeadilan terhadap Kukar, hanya jadi pemicu saja.
Tidak hanya pada acara Musrenbang di Lamin Etam Samarinda, Rita juga menyampaikan sikap emosionalnya saat dilakukan peletakan batu pertama (Groundbreaking) Pembangunan Jembatan Kartanegara di lokasi jembatan yang runtuh dua tahun silam.
Rita menuding Pemprov tidak care. Jalan-jalan berstatus jalan provinsi tidak tersentuh dan sebagian besar kondisinya rusak parah. Padahal jalan protokol seperti itu sangat penting keberadaannya untuk mendorong perbaikan jalan-jalan antar kampung. Begitu juga jalan arteri primer berstatus jalan negara.
“Saya merasa sulit sekali membangun Kukar,” ujar Rita. “Kukar tak meminta banyak hanya sedikit keadilan,” lanjutnya. Ia memperlihatkan fakta, ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun.
“Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN,” ujarnya, ketus.
Soal jalan-jalan yang rusak, warga seluruh Kaltim sudah merasa jengkel dengan Gubernur Awang Faroek Ishak. Sebab keluhan ini juga dialami oleh warga kabupaten dan kota lain se-Kaltim. Hanya saja, para bupati dan wali kotanya tidak ada yang berani garang seperti yang dilakukan Rita. Selama ini banyak yang kesal karena Gubernur Awang Faroek memilih melaksanakan agendanya sendiri, seperti membangun jalan tol sementara banyak jalan provinsi dibiarkan rusak parah.
Dukungan terhadap pembentukan Provinsi Kutai Raya, spontan diberikan anggota DPRD Kutai Kartanegara. Misalnya Guntur, Plt Wakil Ketua DPRD Kukar, menganggap wacana itu wajar dan patut direalisasikan karena dengan konstribusi sekitar Rp130 triliun per tahun ke kas negara, Kukar bisa menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru).
Di Tenggarong, gema pembentukan provinsi Kutai Raya juga bergulir positif. Masyarakat setempat semakin memahami kenapa banyak jalan di daerah mereka mengalami rusak-rusak, namun tidak ada upaya perbaikan dari Pemprov Kaltim maupun pusat.
“Lebih baik gabung provinsi sendiri kalau memang memungkinkan,” tutur Syaref, seorang pedagang minuman ringan di sana.
Spekulasi tentang provinsi baru Kutai Raya yang menyebar di masyarakat menyebut Kukar akan bergabung dengan Kutai Barat, Kutai Timur, Berau dan Kabupaten Mahakam Ulu. Dengan lima kabupaten tersebut, sudah cukup syarat untuk mendirikan provinsi.
Namun beberapa kalangan yang dekat dengan Rita Widyasari menceritakan, wacana pembentukan provinsi Kutai Raya memang santer dibicarakan di kalangan terbatas. Ini berawal dari keinginan Rita menjawab perkembangan aspirasi pembentukan Kutai Pesisir yang tinggal menunggu restu dari Rita selaku bupati.
Rita konon tidak begitu happy dengan rencana membentuk Kutai Pesisir karena dirasakan kurang berkeadilan dengan kecamatan-kecamatan di kabupaten induk. Seperti diketahui Kabupaten Kutai Pesisir berkeinginan mencaplok Kecamatan Muara Jawa, Samboja, Sanga-sanga, Muara Badak dan Loa Janan sebagai daerahnya, padahal kecamatan itu adalah ladang migas yang menjadi sumber pendapatan APBD Kutai Kartanegara.
Tim Pemkab Kukar lebih memilih opsi lain, yakni melakukan pemekaran kecamatan lebih banyak untuk menjadi kabupaten, sekaligus mempersiapkan terbentuknya Provinsi Kutai Raya. Daerah yang rencana dimekarkan di antaranya, Kecamatan Samboja akan dimekarkan menjadi lima kecamatan dan kemudian membentuk Kabupaten Samboja.
Rencana kedua membentuk Kabupaten Muara Jawa yang berintegrasi dengan Sanga-sanga dan Loa Janan, ditambah memekarkan lagi beberapa kecamatan. Pemekaran ketiga adalah membentuk Kabupaten Muara Badak yang bergabung dengan Tenggarong Seberang ditambah memekarkan kecamatan lagi.
Di sebelah hulu, rencana memekarkan Kutai Tengah juga sudah bergulir sejak era Bupati Syaukani. Kabupaten Kutai Tengah terdiri dari Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Muara Muntai, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang. Deklarasi Kutai Tengah pernah dilaksanakan di Kota Bangun dan mendapat dukungan Sultan Solehuddin II dan kerabat kesultanan. #les
========================================================
Saya Punya Kajian Kutai Raya
“Hidup ini adalah tantangan. Hadapilah,” demikian tulis perempuan Kelahiran 7 November 1973 di ruang kutipan favorit akun facebooknya, Rita Kaning.
Dan, terbukti, meski begitu kuat terjangan ‘badai’ yang pernah menimpa diri dan juga keluarganya, ia malah semakin kokoh. Ia mampu menghadapi tantangan itu.
Rita Widyasari dalam akun facebook sengaja memakai nama Rita Kaning. Selain untuk mendekatkan publik di media sosial dengan ayahandanya, Syaukani Hasan Rais yang akrab dipanggil Kaning, juga lantaran beberapa akun facebook Rita yang memakai lengkap namanya, konon, dihack oleh orang tidak bertanggungjawab.
“Maaf ya, kalau ada akun dengan nama saya lagi, itu bukan saya. Ini akun asli saya,” tulis Rita kemudian di media sosial itu.
Nama Syaukani Hasan Rais, di dunia politik Kalimantan Timur, masih begitu dikenang. Beliau adalah ayahanda Rita Widyasari yang terkenal berani. Waktu era Presiden Soeharto, Kaning malah sudah lebih dulu mewacanakan sistim negara federal yang cocok untuk Kutai Kartanegara. Pernyataan itu menjadikannya diperhitungkan di forum-forum nasional, sampai akhirnya dipilih menjadi Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia).
Syaukani juga yang berani melawan kebijakan Gubernur Kaltim Suwarna AF sehingga membuat keduanya saling bermusuhan. Sayangnya, Syaukani yang pernah jadi Ketua Partai Golkar Kaltim itu harus mengakhiri karirnya di penjara. Dan, saat menjalani hukuman, ia terserang sakit yang membuatnya mendapat pembebasan karena dokter memvonisnya sakit permanen.
Belakangan ini, Rita Widyasari menjadi pusat perhatian. Ia jadi satu-satunya bupati di Kaltim – setelah era ayahandanya Syaukani – yang berani menentang kebijakan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Apakah ia akan mengulang reputasi ayahandanya?
Rita merasa kecewa dengan Pemprov Kaltim yang tidak memperjuangkan anggaran proyek jembatan Loa Kulu. Padahal, sebelumnya telah dijanjikan gubernur untuk dimasukkan dalam proyek MP3EI (Masterplan percepatan, perluasan pembangunan ekonomi Indinesia). Dengan spontan Rita mengatakan lebih baik berpisah dengan Kaltim dan membentuk provinsi baru bernama Kutai Raya.
Semua terkaget-kaget. Perempuan lembut dengan tiga anak ini tiba-tiba saja bisa begitu garang. Apalagi Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak masih ada hubungan keluarga dengannya. Ibu kandung Rita masih bersepupu dengan Awang Faroek.
Masa remaja Rita dihabiskan untuk dunia seni. Ia sering tampil dalam even-even peragaan busana. Namun siapa mengira justru dia yang mewarisi bakat politik dari ayahandanya. Kakak perempuannya, Silvy Agustina, lebih memilih mengabdi kepada suami, mengurus rumah tangga. Sedangkan seorang adik lelakinya, Windra Sudarta yang akrab dipanggil I’ing baru meninggal dunia karena sakit kronis yang dideritanya.
Apa sebenarnya cerita di balik terlontarnya ide mendirikan Provinsi Kutai Raya itu, berikut petikannya.
Ide berpisah dengan Kalimantan Timur itu, apa hanya karena emosional kekecewaan?
Sebenarnya tidak. Itu akumulasi. Saya menyampaikan untuk membentuk provinsi kutai raya, (karena) saya punya kajian. Bagaimana caranya, harus jadi provinsi. Ini kan karena pemerataan tidak dirasakan Kutai Kartanegara. Kalau pembangunan merata, ya ngapain sih pemekaran.
Anda merasakan Pemprov Kaltim sengaja tidak memperhatikan Kukar?
Jalan-jalan provinsi banyak yang rusak berat. Jembatan Loa Kulu yang sudah dijanjikan didanai APBN ternyata tidak masuk dalam program MP3EI. Masalah pembangunan bandara, kami sudah berusaha mengalah, bahwa membangunnya dengan dana investor supaya kukar punya bandara, tapi kan tidak diperjuangkan juga.
Sebagai Bupati, Anda bilang malu dengan masyarakat karena jalan-jalan rusak?
Memang. Dulu, dalam rapat kerja saya bilang, 2015 tak ada jalan jelek lagi di Kukar. Minimal jalan protokol hingga ke kecamatan. Ini kan janji saya. Semoga Pak Gubernur mengerti bahwa saya hanya minta diberi perhatian lebih karena kami penyumbang terbesar.
Kok bisa jalan-jalan provinsi tidak diperhatikan?
Di Kukar, banyak jalan provinsi yang belum tersentuh perbaikan. Belum lagi jalan arteri primer yang merupakan kewenangan nasional. Ruas Balikpapan-Simpang Loa Janan memang mulus. Tetapi dari Loa Janan ke batas Tenggarong rusak berat. Makin parah ketika masuk batas Tenggarong hingga Simpang Tiga Senoni sampai ke Kota Bangun. Samarinda ke Loa Janan mulus, tapi dari Loa Janan-Tenggarong hancur. Padahal pemeliharaan keduanya sama-sama bersumber dari APBN.
Begitu juga jalan kolektor II di Kukar yang merupakan kewenangan provinsi, banyak yang rusak berat. Hanya jalur Balikpapan-Samboja dan Samarinda-Anggana yang kondisinya baik. Sedangkan dari Samarinda-Sangasanga jauh dari kata mulus. Begitu pula Simpang Patung Lembuswana (Tenggarong Seberang)-Muara Kaman yang nyaris tak pernah bagus.
Jalur Sebulu-Muara Kaman sudah lama rusak. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) saya, mobilnya ambles di kubangan lumpur saat pulang dari MTQ. Terus di jalur Samarinda-Sangasanga yang selalu saya lewati ketika peringatan Peristiwa Merah Putih. Rusaknya jalan malah membuat peralatan untuk pameran peringatan peristiwa bersejarah malah banyak rusak ketika dibawa.
Jalan provinsi rusak, Anda yang disalahkan warga?
Iya. Banyak warga hingga tokoh masyarakat yang tak mengerti tentang jaringan jalan. Misalnya jalan lokal yang menjadi tanggungan APBD Kukar, yaitu hanya berupa jalan lingkungan dan jalan desa. Sedangkan jalan provinsi dan jalan negara rusak, juga yang tertimpa kecaman warga adalah bupatinya.
Anda konsentrasi ke pembangunan jalan ya?
Kepada semua pihak, mulai Ketua DPRD Kaltim, Gubernur, dan kepala SKPD provinsi, saya ingin menyampaikan sesuatu. Jika saya sendirian membangun dan memelihara jalan, tak akan bisa. Kami (saat ini) tidak membangun gedung mewah sebelum jalan mulus terbentang. Itu bisa terlihat dari APBD Kukar yang lebih banyak dialokasikan ke Bina Marga yang mengurusi jalan ketimbang Cipta Karya. Dinas Pendidikan pun, tidak boleh membangun sekolah baru kalau masih ada sekolah jelek.
Bagaimana kondisi di Hulu Mahakam?
Berbicara kondisi kecamatan Kukar di hulu Sungai Mahakam jauh lebih menyedihkan. Itu sebabnya saya lebih memilih memakai speedboat ketimbang melewati jalur darat. Jika ke hulu lagi, saya lebih baik naik helikopter. Bukan sombong, kondisi jalan yang tak memungkinkan. Bisa bikin pinggang patah. Padahal tahun ini, 12 negara akan datang saat Erau. Tapi terasa malu karena kondisi jalan di Kukar seperti tahun 1945.
Statemen Anda sangat menyerang Gubernur Awang Faroek. Ada agenda lain?
Begini, jangan karena masalah ini, ada yang beranggapan saya benci Pak Gubernur. Saya hanya mengingatkan bahwa Kukar banyak mengalah. (Contohnya) kami tiap tahun Erau, tapi jalan menuju Tenggarong tak dibangun-bangun. Jembatan sudah kami bangun sendiri.
Saya ini pendeklarator Pak Mukmin (Faisjal) dan Pak Awang Faroek Ishak (gubernur). Setitikpun saya enggak ada niat menjelekkan calon saya. Saya hanya minta Kukar diperhatikan. Minta Kukar jadi daerah tujuan. Karena selama ini saya (Kukar) merasa dinomorduakan.
Jangan beranggapan saya mau jadi gubernur. (Atau hanya sekadar) mau tenar atau ikut-ikut Pak Syaukani dan Pak Suwarna. Saya ini politisi yang enggak mau punya musuh. Asal Kukar diperhatikan, saya akan jadi anak manis.
Kasihan rakyat saya yang naik kapal tiap hari. Jadi, saya mau cepat ada jembatan, tidak satu tapi 2 buah. Catat, saya tidak mau menjatuhkan nama Pak Gubernur. Saya cuma minta dibuatkan jembatan dan jalan yang dibiayai dan dilelang di pusat dan provinsi.
Kata Pemprov Kaltim, Kukar punya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) Kukar besar. Dari Rp 6,92 triliun APBD Kukar 2012, Silpa mencapai 52 persen, sekitar Rp 3,5 triliun. Dianggap tidak mampu habiskan anggaran. Jadi gak perlu dibantu lagi?
Silpa tak bisa menjadi penghambat upaya Pemprov membangun di Kukar. Masalah Silpa, memang kalau bangun jembatan Loa Kulu masuk APBD Kukar? Bangun jalan Loa Janan- Loa Kulu dan Trans Kaltim masuk APBD Kukar? Jelas tidak. Jembatan Loa Kulu jelas dilelang pusat, juga jalan-jalan tadi.
(Untuk) jalan Trans Kaltim, ya, dilelang di Pemprov Kaltim. Jadi tak ada hubungannya antara Silpa dan APBD Kukar. Jangan keluar subtansilah.
Silpa kami Rp 3,447 triliun. Terdiri dari over pendapatan Rp 1,6 triliun dan sisa belanja Rp 1,746 triliun. Jadi bukan Silpa Rp 3,5 triliun. Masalah angka jangan salah,karena ini pasti. #
Politik Perempuan
Di kelas sebuah Sekolah Dasar di Samarinda, seorang anak perempuan bercerita, dirinya didorong rekan-rekannya untuk dicalonkan menjadi ketua kelas. Hatinya sempat galau. Apakah ia sanggup? Apakah bisa mengatur teman-temannya, apalagi para lelaki yang sering bandel.
Ketika masih diselimuti tanya, Ibu gurunya sudah memutuskan agar porsi ketua kelas diberikan kepada cowok, sedangkan wakilnya perempuan.
Mendengar kisah itu saya segera menyimpulkan; guru-guru di era modern pun belum mendukung kehadiran perempuan menjadi pemimpin. Ini masalah dasarnya. Lembaga pendidikan di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, mestinya menjadi pioneer dalam mengkampanyekan kesetaraan. Anak perempuan yang sedang galau itu mestinya didorong menjadi kuat. Bukan dipatahkan semangatnya.
Jadi, tidak heran kalau sampai kini perempuan lebih banyak memilih mengambil peran di dapur. Ketika ditawari terjun ke politik, seolah itu dunia asing milik para lelaki. Beruntung di Kaltim sudah ada perempuan menjadi Bupati dan Ketua DPRD, sehingga sedikitnya bisa memberi stimulan bahwa dunia politik tak didominasi oleh para lelaki.
Saya coba cek komposisi parlemen masa lalu. Sejak zaman kemerdekaan dan dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) – semacam MPR – yang berjumlah 68 orang, ternyata hanya ada dua perempuan, yakni Ny.Maria Ulfah Santoso dan Ny. RSS Soenarjo Mangoenpoespito.
Di eksekutif, pada zaman pemerintahan Syahrir tahun 1946, hanya ada satu perempuan menjadi Menteri Sosial, yaitu Maria Ulfah Santoso. Era berikutnya pemerintahan Amir Syarifuddin (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948), hanya ada SK Trimurti menjadi Menteri Perburuhan.
Situasi seperti ini tidak segera berubah di zaman Presiden Soeharto. Walau ada first lady Ibu Tien yang selalu mendukung gerakan peminisme, dunia politik dan jabatan publik masih menjadi dominasi kaum lelaki.
Saat reformasi sudah bergulir lebih enam tahun di mana Presiden Gus Dur mengeluarkan kebijakan antidiskriminasi, saya masih terkejut ketika mendapat data hasil Pemilu tahun 2004, bahwa dari 550 kursi anggota parlemen, jumlah perempuan hanya 28 orang.
Padahal, saat ini masyarakat dunia telah disuguhi data bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dari lelaki. Termasuk di Indonesia. Jadi, logisnya, karena sudah muncul kesadaran dan prinsip kesetaraan itu, maka di parlemen dan jabatan publik lainnya, posisinya sudah fifty-fifty.
Kecilnya jumlah perempuan di parlemen, memang diyakini merugikan kalangan peminisme. Sebab, ketika merancang peraturan dan undang-undang, seringkali tidak memperhatikan kepentingan bahkan perlindungan pada perempuan. Misalnya masih ada diskriminasi terhadap perempuan pada undang-undang perburuhan, atau apa jadinya kalau soal nikah sirri masuk dalam Undang-undang Perkawinan.
Saya kira, masyarakat sudah siap menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Namun kita juga harus memulai mengajarkan kepada anak-anak kita dari rumah. @
Ketika masih diselimuti tanya, Ibu gurunya sudah memutuskan agar porsi ketua kelas diberikan kepada cowok, sedangkan wakilnya perempuan.
Mendengar kisah itu saya segera menyimpulkan; guru-guru di era modern pun belum mendukung kehadiran perempuan menjadi pemimpin. Ini masalah dasarnya. Lembaga pendidikan di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, mestinya menjadi pioneer dalam mengkampanyekan kesetaraan. Anak perempuan yang sedang galau itu mestinya didorong menjadi kuat. Bukan dipatahkan semangatnya.
Jadi, tidak heran kalau sampai kini perempuan lebih banyak memilih mengambil peran di dapur. Ketika ditawari terjun ke politik, seolah itu dunia asing milik para lelaki. Beruntung di Kaltim sudah ada perempuan menjadi Bupati dan Ketua DPRD, sehingga sedikitnya bisa memberi stimulan bahwa dunia politik tak didominasi oleh para lelaki.
Saya coba cek komposisi parlemen masa lalu. Sejak zaman kemerdekaan dan dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) – semacam MPR – yang berjumlah 68 orang, ternyata hanya ada dua perempuan, yakni Ny.Maria Ulfah Santoso dan Ny. RSS Soenarjo Mangoenpoespito.
Di eksekutif, pada zaman pemerintahan Syahrir tahun 1946, hanya ada satu perempuan menjadi Menteri Sosial, yaitu Maria Ulfah Santoso. Era berikutnya pemerintahan Amir Syarifuddin (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948), hanya ada SK Trimurti menjadi Menteri Perburuhan.
Situasi seperti ini tidak segera berubah di zaman Presiden Soeharto. Walau ada first lady Ibu Tien yang selalu mendukung gerakan peminisme, dunia politik dan jabatan publik masih menjadi dominasi kaum lelaki.
Saat reformasi sudah bergulir lebih enam tahun di mana Presiden Gus Dur mengeluarkan kebijakan antidiskriminasi, saya masih terkejut ketika mendapat data hasil Pemilu tahun 2004, bahwa dari 550 kursi anggota parlemen, jumlah perempuan hanya 28 orang.
Padahal, saat ini masyarakat dunia telah disuguhi data bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dari lelaki. Termasuk di Indonesia. Jadi, logisnya, karena sudah muncul kesadaran dan prinsip kesetaraan itu, maka di parlemen dan jabatan publik lainnya, posisinya sudah fifty-fifty.
Kecilnya jumlah perempuan di parlemen, memang diyakini merugikan kalangan peminisme. Sebab, ketika merancang peraturan dan undang-undang, seringkali tidak memperhatikan kepentingan bahkan perlindungan pada perempuan. Misalnya masih ada diskriminasi terhadap perempuan pada undang-undang perburuhan, atau apa jadinya kalau soal nikah sirri masuk dalam Undang-undang Perkawinan.
Saya kira, masyarakat sudah siap menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Namun kita juga harus memulai mengajarkan kepada anak-anak kita dari rumah. @
Caleg dan Cagub
Musim penyusunan calon legislative (Caleg). Partai-partai sedang gencar menawarkan siapa yang bersedia jadi calon wakil rakyat. Mulai untuk kabupaten / kota, provinsi dan nasional.
Jurus rayuan pun sudah mulai berjalan. Ada beberapa teman saya memproklamirkan diri sebagai calon sebuah partai hanya dengan SMS. Dengan kata-kata yang ‘super’ ramah.
Mengapa saya katakan ‘super’ ramah, karena tidak seperti SMS lain yang biasanya to the point dalam menyampaikan pesan, tapi sekarang dengan kata-kata yang manis sekali. Kata-katanya didahului dengan asalamwalaikum, kemudian berlanjut dengan basa-basi dan kemudian disampaikan maksud menjadi caleg. Diakhir pesan ditutup dengan kata mohon dukungan dan ucapan wassalamwalaikum.
Jelas sekali tampak, politik telah mengubah kebiasaan sehari-hari si kawan ini. Esoknya, ketika saya penasaran ingin bertemu dengan teman tadi, ternyata terlihat pula penampilan yang berbeda. Pakaian dan sepatu yang rapi. Juga potongan rambut yang telah dimirip-miripkan seorang pejabat negara. Saya jadi berpikir; ini baru calon, bagaimana kalau benar-benar terpilih dan jadi anggota DPRD/DPR?
Sampai di sini, saya berkesimpulan menjadi politikus ternyata termasuk pekerjaan idaman sebagian warga. Walau ada fakta-fakta banyak politisi ketangkap menjadi koruptor, tidak mengurangi minat warga menekuni politik praktis itu.
Ada 10 partai yang diloloskan menjadi peserta Pemilu, namun kemungkinan besar bertambah 2 atau 3 partai lagi karena yang lainnya masih bersengketa dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) di Mahkamah Agung. Tapi dengan 10 partai pun kompetisi merebut caleg potensial sudah cukup sulit.
Siapa caleg potensial itu? Tidak perlu menutup mata, partai-partai sudah pasti mencari caleg yang punya kemampuan finansial. Menyangkut intelegensi, integritas, kapasitas, tidak terlalu menjadi pertimbangan utama. Istilah seorang teman; yang terpenting itu berapa “isi tas?”
Ini baru pencarian calon kontestan legislative. Bagaimana juga dengan untuk calon kontestan Gubernur Kaltim yang sudah di depan mata juga. Rencana, bulan September 2013 sudah pemilihan. Sementara sampai bulan Maret ini baru satu pasangan yang memproklamirkan diri, Awang Faroek Ishak – Mukmin Faisyal.
Belum diproklamirkannya calon lain, bukan berarti tidak ada peminatnya. Syahwat sejumlah politisi meledak-ledak juga, tapi tentu dengan ragam perhitungan yang matang. Sebab, lawan yang dihadapi adalah Awang Faroek yang menjadi petahana. Awang dianggap sebagai lawan tangguh, karena diuntungkan bisa memanfaatkan sumber daya pemerintahannya untuk menaikkan citra dan menggaet warga untuk memilihnya.
Tokoh-tokoh muda yang potensial sangat berhitung untuk maju melawan Awang Faroek Ishak. Seolah kompetisi menjadi orang nomor satu di Kaltim bukan medan tempur dirinya. Pendek cerita, orang muda di Kaltim sudah kalah nyali untuk bersaing politik dalam cagub.
Alhasil, tokoh-tokoh tua berniat turun gunung. Selain Imdaad Hamid kelahiran 5 Juli 1944 alias mendekati 69 tahun, juga Achmad Amins yang kelahiran 3 Juli 1947 atau 66 tahun. Sementara Awang Faroek Ishak berusia 65 tahun (kelahiran 31 Juli 1948).
“Jadi, jangan menolak pemimpin tua kalau yang muda tidak berani tampil merebut kepemimpinan mereka,” ujar seorang teman. Ehm, betul juga ya! #
Jurus rayuan pun sudah mulai berjalan. Ada beberapa teman saya memproklamirkan diri sebagai calon sebuah partai hanya dengan SMS. Dengan kata-kata yang ‘super’ ramah.
Mengapa saya katakan ‘super’ ramah, karena tidak seperti SMS lain yang biasanya to the point dalam menyampaikan pesan, tapi sekarang dengan kata-kata yang manis sekali. Kata-katanya didahului dengan asalamwalaikum, kemudian berlanjut dengan basa-basi dan kemudian disampaikan maksud menjadi caleg. Diakhir pesan ditutup dengan kata mohon dukungan dan ucapan wassalamwalaikum.
Jelas sekali tampak, politik telah mengubah kebiasaan sehari-hari si kawan ini. Esoknya, ketika saya penasaran ingin bertemu dengan teman tadi, ternyata terlihat pula penampilan yang berbeda. Pakaian dan sepatu yang rapi. Juga potongan rambut yang telah dimirip-miripkan seorang pejabat negara. Saya jadi berpikir; ini baru calon, bagaimana kalau benar-benar terpilih dan jadi anggota DPRD/DPR?
Sampai di sini, saya berkesimpulan menjadi politikus ternyata termasuk pekerjaan idaman sebagian warga. Walau ada fakta-fakta banyak politisi ketangkap menjadi koruptor, tidak mengurangi minat warga menekuni politik praktis itu.
Ada 10 partai yang diloloskan menjadi peserta Pemilu, namun kemungkinan besar bertambah 2 atau 3 partai lagi karena yang lainnya masih bersengketa dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) di Mahkamah Agung. Tapi dengan 10 partai pun kompetisi merebut caleg potensial sudah cukup sulit.
Siapa caleg potensial itu? Tidak perlu menutup mata, partai-partai sudah pasti mencari caleg yang punya kemampuan finansial. Menyangkut intelegensi, integritas, kapasitas, tidak terlalu menjadi pertimbangan utama. Istilah seorang teman; yang terpenting itu berapa “isi tas?”
Ini baru pencarian calon kontestan legislative. Bagaimana juga dengan untuk calon kontestan Gubernur Kaltim yang sudah di depan mata juga. Rencana, bulan September 2013 sudah pemilihan. Sementara sampai bulan Maret ini baru satu pasangan yang memproklamirkan diri, Awang Faroek Ishak – Mukmin Faisyal.
Belum diproklamirkannya calon lain, bukan berarti tidak ada peminatnya. Syahwat sejumlah politisi meledak-ledak juga, tapi tentu dengan ragam perhitungan yang matang. Sebab, lawan yang dihadapi adalah Awang Faroek yang menjadi petahana. Awang dianggap sebagai lawan tangguh, karena diuntungkan bisa memanfaatkan sumber daya pemerintahannya untuk menaikkan citra dan menggaet warga untuk memilihnya.
Tokoh-tokoh muda yang potensial sangat berhitung untuk maju melawan Awang Faroek Ishak. Seolah kompetisi menjadi orang nomor satu di Kaltim bukan medan tempur dirinya. Pendek cerita, orang muda di Kaltim sudah kalah nyali untuk bersaing politik dalam cagub.
Alhasil, tokoh-tokoh tua berniat turun gunung. Selain Imdaad Hamid kelahiran 5 Juli 1944 alias mendekati 69 tahun, juga Achmad Amins yang kelahiran 3 Juli 1947 atau 66 tahun. Sementara Awang Faroek Ishak berusia 65 tahun (kelahiran 31 Juli 1948).
“Jadi, jangan menolak pemimpin tua kalau yang muda tidak berani tampil merebut kepemimpinan mereka,” ujar seorang teman. Ehm, betul juga ya! #
Keadilan Itu
Sampai kini saya masih selalu begitu hormat dengan para hakim. Dulu, pernah membayangkan saya yang duduk di kursi hakim dan kemudian menyidangkan orang-orang yang berbuat jahat. Tegakkan keadilan tanpa ada diskriminasi.
Tiba-tiba anak perempuan saya yang segera lulus Sekolah Dasar pada tahun 2013 ini mengutarakan minatnya untuk kuliah hukum. Entah kenapa, saya senang sekali mendengarnya. Sebab sebelumnya hanya ada satu cita-cita yang diutarakannya; yaitu menjadi dokter.
Barangkali karena saya tidak kesampaian jadi pengacara maupun hakim, membuat saya sungguh antusias menyambut keinginan anak kuliah di fakultas hukum. Dalam hati berdoa semoga tidak berubah lagi dan sebagai orangtua pasti memperjuangkan cita-cita anaknya.
Salah satu masalah bangsa ini memang adalah keadilan. Bayangkan, kata “Keadilan” yang berasal dari kata “Adil” sampai dua kali disebut dalam naskah Pancasila. Sila kedua; “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jadi, keadilan bukan semata-mata di depan meja pengadilan, tetapi lebih jauh sampai urusan kerakyatan dan kenegaraan. Pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat, apa sudah menerapkan ‘keadilan’ yang sesungguhnya?
Kalau pertanyaaan itu saya lontarkan pastilah jawabannya ‘Keadilan” jauh panggang dari api. Dalam keseharian kita menyaksikan masih terlalu dominannya si kaya menekan si lemah. Masih berbedanya perlakuan tersangka korupsi dan maling ayam di pengadilan. Termasuk juga dalam pemberian hukuman.
Kita seolah-olah menjadi terbiasa mendengar kata-kata begini; “maling ayam divonis 6 bulan dan dipenjara, pelaku korupsi satu milyar dihukum 6 bulan juga”.
Terdengar seperti kalimat biasa. Tapi sesungguhnya sudah muncul keputusasaan dari masyarakat karena keadilan yang ditunggu-tunggu, yang selalu digaungkan, berlalu begitu saja. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan. Bukan hanya kepada aparat hukum yang dalam triaspolitika disebut yudikatif, tetapi juga merambat kepada eksekutif dan legislative.
Itu barangkali menjadi salah satu sumber penyebab mengapa di negeri kita ini masih selalu gaduh menghadapi persoalan apapun. Karena semua dilandasi kecurigaan-kecurigaan. Saat KPK menangani kasus-kasus korupsi seperti Bank Century, begitu banyak politisi yang curiga lembaga itu tidak independen. Begitu juga saat Anas Urbaningrum mundur dari jabatan Ketua Partai Demokrat, seolah-olah peristiwa internal itu menjadi milik publik.
Masyarakat yang hidup di pinggir hutan, di perbatasan terus digiring opini media massa agar mengikuti kasus-kasus yang meledak secara nasional. Memang ada yang patut, tapi lebih banyak hal-hal yang tidak perlu dan melelahkan pikiran sendiri.
Ini juga salah bentuk ketidakadilan itu. Semua masih serba Jakarta, sehingga potensi daerah yang pantas ditampilkan terus terabaikan. Entah sampai kapan? #
Tiba-tiba anak perempuan saya yang segera lulus Sekolah Dasar pada tahun 2013 ini mengutarakan minatnya untuk kuliah hukum. Entah kenapa, saya senang sekali mendengarnya. Sebab sebelumnya hanya ada satu cita-cita yang diutarakannya; yaitu menjadi dokter.
Barangkali karena saya tidak kesampaian jadi pengacara maupun hakim, membuat saya sungguh antusias menyambut keinginan anak kuliah di fakultas hukum. Dalam hati berdoa semoga tidak berubah lagi dan sebagai orangtua pasti memperjuangkan cita-cita anaknya.
Salah satu masalah bangsa ini memang adalah keadilan. Bayangkan, kata “Keadilan” yang berasal dari kata “Adil” sampai dua kali disebut dalam naskah Pancasila. Sila kedua; “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jadi, keadilan bukan semata-mata di depan meja pengadilan, tetapi lebih jauh sampai urusan kerakyatan dan kenegaraan. Pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat, apa sudah menerapkan ‘keadilan’ yang sesungguhnya?
Kalau pertanyaaan itu saya lontarkan pastilah jawabannya ‘Keadilan” jauh panggang dari api. Dalam keseharian kita menyaksikan masih terlalu dominannya si kaya menekan si lemah. Masih berbedanya perlakuan tersangka korupsi dan maling ayam di pengadilan. Termasuk juga dalam pemberian hukuman.
Kita seolah-olah menjadi terbiasa mendengar kata-kata begini; “maling ayam divonis 6 bulan dan dipenjara, pelaku korupsi satu milyar dihukum 6 bulan juga”.
Terdengar seperti kalimat biasa. Tapi sesungguhnya sudah muncul keputusasaan dari masyarakat karena keadilan yang ditunggu-tunggu, yang selalu digaungkan, berlalu begitu saja. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan. Bukan hanya kepada aparat hukum yang dalam triaspolitika disebut yudikatif, tetapi juga merambat kepada eksekutif dan legislative.
Itu barangkali menjadi salah satu sumber penyebab mengapa di negeri kita ini masih selalu gaduh menghadapi persoalan apapun. Karena semua dilandasi kecurigaan-kecurigaan. Saat KPK menangani kasus-kasus korupsi seperti Bank Century, begitu banyak politisi yang curiga lembaga itu tidak independen. Begitu juga saat Anas Urbaningrum mundur dari jabatan Ketua Partai Demokrat, seolah-olah peristiwa internal itu menjadi milik publik.
Masyarakat yang hidup di pinggir hutan, di perbatasan terus digiring opini media massa agar mengikuti kasus-kasus yang meledak secara nasional. Memang ada yang patut, tapi lebih banyak hal-hal yang tidak perlu dan melelahkan pikiran sendiri.
Ini juga salah bentuk ketidakadilan itu. Semua masih serba Jakarta, sehingga potensi daerah yang pantas ditampilkan terus terabaikan. Entah sampai kapan? #
Tanah Kita; Bologen
Pulau Sipadan dan Ligitan sudah lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi. Tepatnya hari Selasa, 17 Desember 2002, International Court Of Justice (IKJ yang biasa kita sebut Mahkamah Internasional, mengeluarkan keputusan itu. Dari 17 hakim, `16 memihak Malaysia dan hanya 1 hakim yang mendukung Indonesia.
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di “bagian kepala” Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah – terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia.
Pemerintah Indonesia malah tidak respon dengan Kesultanan Bulungan itu. Simak kejadian 24 Juli 1964. Tentara Indonesia waktu itu malah membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia) yang dilakuan tentara Indonesia terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristwa tragis itu meminta suaka ke Malaysia dan sampai kini menjadi Warga Negara Malaysia.
Indonesia kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, saya kuatir masih ada daerah bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Salam integritas. #
=======================================================================
Desa Tanduao, Lahat Dato, Malaysia, yang biasanya tenang, dalam sekejap jadi perhatian dunia. Tanggal 9 Pebruari 2013, sebuah kelompok yang menamakan diri tentara Kesultanan Sulu dari Filipina Selatan dengan agresif mendarat disebuah pantai desa itu. Jumlahnya lebih 200 orang dipimpin oleh Raja Muda Azzimudie Kiram. Mereka disebut-sebut membawa senjata api laras panjang.
Raja Muda Azzimudie Kiram adalah saudara dari Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang disebut-sebut sebagai ahli waris dari Kesultanan Sulu. Sejarah mencatat wilayah Kesultanan Sulu terletak mulai dari Filipina Selatan dan pulau-pulau kecil, sampai ke Sabah Malaysia.
Letak posisi geografis desa yang ‘diklaim’ kepunyaan Kesultanan Sulu itu masih satu daratan Pulau Kalimantan. Tepatnya di ‘bagian kepala’ yang batas pantainya berhadapan dengan Selat Makassar dan pulau-pulau di Filipina Selatan. Itu sebab tokoh-tokoh tua di Bulungan, Nunukan dan Malinau seolah tidak asing dengan daerah Lahat Dato atau yang kerap juga ditulis Lahat Datu maupun Kesultanan Sulu. Seperti ada ikatan emosional karena di antara keluarga mereka telah berbaur dalam keluarga serumpun melayu.
Kelompok milisi Kesultanan Sulu datang menumpang kapal feri dari Pulau Tawi Tawi Filipina Selatan. Mereka membawa data-data yang menyatakan daerah sekitar Sabah adalah daerah kekuasaan Sultan Sulu.
Salah satu bukti itu, Malaysia telah membayar sewa Sabah pada Sultan Sulu. Ada selembar cek yang membuktikan hal itu. Yaitu cek senilai 69.700 peso atau sekitar Rp16,6 juta untuk sewa wilayah seluas 77.699 kilometer persegi. Pembayaran dilakukan Kedutaan Besar Malaysia di Filipina.
Dokumen yang beredar menyebut, wilayah Sabah dulu dikuasai oleh Kesultanan Sulu setelah dihibahkan oleh Sultan Brunei sebagai balas jasa atas bantuan Sulu mengatasi pemberontak. Pada tahun 1878, Sulu menyewakan wilayah Sabah pada perusahaan British North Company milik Inggris yang saat itu menjajah Malaysia.
Tapi kisah sejarah Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu, tak bisa terpisahkan dengan Kesultanan Bulungan yang memiliki wilayah kekuasaan di kawasan “kepala Borneo” itu. Menurut pengakuan Wahab Kiak, pemerhati masalah sejarah Kesultanan Bulungan, ada batas-batas daerah kekuasaan antara ketiga kesultanan tersebut.
“Kalau mengikuti alur sejarah, provinsi Sabah itu dikuasai ketiga kesultanan ini. Ada Sultan Brunei, Sultan Sulu dan Sultan Bulungan,” ujar Wahab Kiak yang pernah jadi anggota DPRD Nunukan tersebut.
Penggalan sejarah yang dipegang Kesultanan Sulu menyebutkan, tahun 1963 Malaysia merdeka. Kemudian hak membayar sewa Sabah dialihkan dari pemerintah Inggris ke Pemerintah Kerajaan Malaysia. Sebelumnya, pada tahun 1962, Kesultanan Sulu memberikan mandat pada Presiden Filipina Diosdado Macapagal untuk melakukan negosiasi terkait wilayah Sabah yang mereka miliki.
Sejak saat itu disepakati, pemerintahan Malaysia di Kuala Lumpur harus membayar sewa tahunan sebesar 5.300 ringgit atau setara 69.700 peso kepada pewaris tahta Kesultanan Sulu. Baru pada tahun 1989, peran Filipina untuk bernegosiasi atas nama Sulu dicabut oleh Sultan Jamalul Kiram III.
Bagi pemerintah Indonesia, mestinya menjadi kesempatan untuk membuka lembaran sejarah yang mungkin sudah ‘terhapus’. Perundingan itu bisa menjadi panduan dan alat diplomasi bagi Indonesia tentang daerah kekuasaan Sultan Bulungan di Pulau Borneo. Rakyat di perbatasan berharap semoga Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak berdiam diri saja, bahkan kalau mungkin tampil menjadi penengah agar bisa membuka sejarah. #
======================================================================
‘Agresi’ gerombolan Kesultanan Sulu dipimpin adik Sultan Karim, Raja Muda Agbimuddin Kiram mengagetkan pemerintah kerajaan Malaysia. Kawasan Desa Tanduao segera diperketat penjagaannya sejak 9 Pebruari 2013 lalu. Selain menyiapkan pasukan, tentara Malaysia juga memblokade akses distribusi makanan.
Sementara Kesultanan Sulu, Filipina, menyatakan siap menghadapi risiko apapun atas pendudukan wilayah Lahad Dato, Sabah. Mereka tidak akan menarik pasukan dari wilayah yang disengketakan dengan Malaysia itu.
"Apapun yang terjadi, Kesultanan siap menghadapi konsekuensinya," kata Sekretaris Jenderal Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, sebagaimana dikutip Philstar, Selasa 26 Februari 2013.
Sebelumnya, Presiden Filipina Benigno Aquino III mendesak pasukan Sulu segera meninggalkan Lahad Dato. Namun, Idijrani mengatakan, Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan klaimnya atas warisan leluhurnya itu. Kesultanan Sulu telah memberi tahu kepada Presiden Aquino, bahwa aksi pendudukan ini bisa diselesaikan dengan damai melalui negosiasi.
Menurut Idjirani, jika kesepakatan dengan Malaysia telah dicapai, pasukan Sulu akan menyerahkan senjata mereka ke pemerintah Filipina. Bagaimana pun juga, dia menambahkan, sekitar 200 pasukan Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan Lahad Dato.
Sebelumnya, laman The Star, memberitakan bahwa tentara Malaysia siap menyerbu pasukan Sulu. Langkah ini dinilai sebagai cara paling tepat untuk mengusir orang-orang Kesultanan Sulu itu dari wilayah mereka.
Kepala polisi Sabah, Komandan Datuk Hamza, mengatakan mereka akan menyerbu masuk dan melucuti orang-orang Sulu yang diduga bersenjata. "Kami tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bertindak," kata dia setelah melakukan rapat dua jam bersama jenderal angkatan darat, laut, dan kepolisian Malaysia.
Kesultanan Sulu mengklaim wilayah Sabah yang dulu disebut Borneo Utara merupakan milik Kesultanan Brunei. Namun, Sultan Brunei memberikan wilayah ini kepada Sultan Sulu. Pemberian ini merupakan balas jasa bagi Sultan Sulu yang telah membantu meredam perang sipil di Kesultanan Brunei.
Kesultanan Sulu bersikeras bahwa wilayah Sabah di Malaysia adalah milik mereka, berdasarkan data historis dan berbagai dokumen. Pihak Sulu bahkan mengatakan bahwa Malaysia telah membayar sewa Sabah pada mereka, dibuktikan dengan selembar cek.
Abraham Idjirani mengatakan bahwa sikap Malaysia yang berusaha mengusir orang-orang mereka dari Lahad Dato, Sabah, itu salah besar. Menurutnya, Sabah adalah milik mereka dan Malaysia tidak berhak atasnya.
Diberitakan ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013, Idjirani menunjukkan beberapa dokumen yang menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai 69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari Malaysia.
"Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di Filipina. Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699 kilometer persegi," kata Idjirani.
Beberapa analisa menyebutkan, agresi para loyalis Kesultanan Sulu di kawasan ‘Kepala Borneo’, sebagai dampak semakin tersisihnya Kesultanan Sulu dalam penguasaan daerah di Filipina Selatan. Setelah ada kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Kepulauan Mindanao, daerah Mindanao--termasuk Sulu--merupakan wilayah otonomi Bangsamoro dan memberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen.
Kesepakatan tersebut menyebabkan Kesultanan Sulu merasa tidak mendapat lahan lagi dan akhirnya berniat merebut wilayah mereka di tempat yang lain, yaitu Sabah, Malaysia.#
=====================================================================
Wahab Kiak masih bersemangat jika membicarakan Kesultanan Bulungan yang pernah berjaya tahun 1.800-an. “Dulu kesultanan bulungan itu pernah bertempur dengan kesultanan sulu. Ya, sekitar tahun 1800-an begitu,” cerita Wahab, pemerhati sejarah Kesultanan Bulungan kepada Bmagazine.
Dari pertempuran itu kemudian terjalin hubungan saling menguntungkan. Masing-masing memiliki daerah kekuasaan. Batas wilayah Kesultanan Bulungan sampai ke Kinabalu sekarang, Tawau dan Lahat Dato. “Di Lahat Dato itu ada batas daerah Kesultanan Sulu dan Kesultanan Bulungan. Kerabat kesultanan berbaur, begitu juga masyarakatnya,” cerita Wahab. Tapi menurut catatan sejarah yang bisa diperoleh di Wikipedia, daerah Kesultanan Bulungan pernah berada dalam kekuasaan Kesultanan Sulu.
Menurutnya, ia pernah diutus untuk mencari buku-buku dan bukti otentik mengenai jejak kekuasaan Kesultanan Bulungan. Ia pernah ke Manila Filipina untuk menemui tokoh-tokoh Kesultanan Sulu, juga pemerintahan Filipina. “Waktu itu kita harus mempunya bukti kepemilihan Pulau Sipadan dan Ligitan. Bayangkan, kita baru melacak jejak sejarah ketika diperlukan untuk bersidang di Mahkamah Internasional,” kata Wahab.
Dari dokumen-dokumen yang diterimanya menunjukkan bahwa Bulungan yang dulu dikenal dengan nama Bologen adalah sebuah negara. Dalam sebuah buku stablat tahun 1891, Inggris dan Belanda mengakui adanya ‘people Bulungan’. Pengakuan itu menunjukkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada negara dalam kepemimpinan Kesultanan Bulungan.
Pergaulan antar negeri yang terjadi di tanah Borneo Utara adalah dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu. Hubungan akrab itu masih terbina sampai kini, walaupun Kesultanan Bulungan sendiri masih belum utuh karena keraton sudah dibumihanguskan tentara Indonesia tahun 1964. Sampai kini pemerintah Provinsi Kaltim maupun Pemkab Bulungan belum juga merespon berdirinya keraton bernilai sejarah itu.
Kisah Kesultanan Bulungan memang diwarnai kejadian pahit yang memilukan hati. Tepatnya 24 Juli 1964, tentara Indonesia membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Padahal, catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Bahkan akibat peristiwa kejahatan HAM itu, pewaris tahta kesultanan, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, harus lari meminta suaka politik kepada pemerintahan Kerajaan Malaysia. Sampai kini, sang pewaris menjadi warga negara Malaysia.
“Saya masih sering kontak dengan Datu Mamun (pewaris tahta Kesultanan Bulungan-red). Mereka tidak dapat fasilitas istimewa di sana. Ya seperti warga biasa saja. Padahal, kalau mau ditarik ke belakang sejarahnya, Tawau itu termasuk daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan,” ujar Wahab.
Ia mengingatkan bahwa dengan peristiwa Kesultanan Bulungan itu, Indonesia kehilangan identitas sejarah yang sangat berharga. Bahkan sampai kehilangan dua pulau, yakni Sipadan dan Ligitan. “Saya berharap ada upaya pemerintah memulihkan Kesultanan Bulungan ini,” kata dia. @charlessiahaan
======================================================================
Agresi yang dilakukan para loyalis Kesultanan Sulu di Lahat Dato Sabah, membuat tegang hubungan pemerintahan Filipina dengan Malaysia. Pihak militer masing-masing bersiaga, namun tidak berbuat apa-apa kecuali menunggu perintah dari atasan mereka.
Berita dari portal The Star Malaysia 25 Pebruari 2013 menyebutkan, kapal perang Filipina sudah tiba mendekat perairan Lahat Dato untuk mengevakuasi warga sipil dari kelompok Sulu di Sabah. Namun pihak loyalis tidak berniat meninggalkan daerah tersebut.
Menurut Kementerian Luar Negeri Filipina, kapal perang angkatan laut mereka berangkat dari Bongao, Tawi-tawi sekitar Minggu tengah malam. Kapal ini akan bersiaga di dekat Lahad Datu sementara pemerintah Malaysia melakukan negosiasi dengan para keluarga Sultan Sulu, Jamalul Kiram III.
Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario mengatakan, kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan untuk orang-orang Sulu di Lahad Datu. Dia mendesak lima wanita dalam gerombolan Sulu segera pulang. "Kami mendesak mereka segera naik ke kapal tanpa menunda untuk pulang," kata dia.
Menanggapi pernyataan tersebut, pihak Kesultanan mengaku berterima kasih atas bantuan kemanusiaan tersebut. Namun mereka menegaskan wanita-wanita di kelompok itu tidak berniat untuk pulang dan akan menemani suami mereka di situ.
"Mereka tidak akan pergi," kata Abraham Iridjani, juru bicara kesultanan, diberitakan Inquirer.
Pihak Kesultanan sebelumnya mengklaim mereka mendapat tambahan bantuan ribuan orang untuk menduduki Sabah. Namun Kemlu Filipina mengatakan mereka hanya terdiri dari 180 orang, sebanyak 30 di antaranya bersenjata. Hal ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.
Mereka diduga mulai kehabisan makanan dan obat-obatan karena blokade total oleh militer Malaysia. Bersenjatakan lengkap dengan kesiagaan penuh, tentara Malaysia berada sekitar 500 meter dari gerombolan Sulu.
Namun, pihak Sultan memastikan tidak akan ada orang-orangnya yang pergi dari wilayah yang mereka klaim tersebut.
Presiden Filipina Benigno Aquino juga mendesak Sultan Sulu, Jamalul Kiram III, untuk memerintahkan pengikutnya segera hengkang dari Sabah. Aquino menghendaki sengketa Sabah diselesaikan dengan dialog antara kedua pihak yang bertikai.
Diberitakan Philippine Star, Aquino mengatakan bahwa saat ini pemerintahnya tengah melakukan penyelidikan mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum atas pengiriman orang-orang Sulu ke Lahad Datu, Sabah. Diduga, orang-orang ini bersenjata dan berbahaya.
"Opsi dialog damai dan terbuka masih tersedia. Marilah kita duduk sebagai saudara untuk mengatasi permasalahan dengan cara yang damai, tenang, berdasarkan hukum dan proses yang benar ketika para pengikut anda pulang ke rumah," kata Aquino.
"Perlu diketahui, sekelompok kecil pengikut anda di sana tidak akan berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan, tidak ada cara kekerasan yang bisa mencapai keberhasilan," lanjutnya lagi.
Dia mengatakan, akibat pendudukan Lahad Datu oleh ratusan pengikut Kiram, kehidupan warga Filipina bagian selatan, terutama di Provinsi Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi terancam. Pasalnya, warga di wilayah ini mengandalkan pemasukannya dari berdagang dengan warga Sabah.
"Ini situasi yang tidak bisa dibiarkan. Jika anda memang benar pemimpin dari rakyat anda, anda harus memerintahkan mereka pulang," kata Aquino.
Menanggapi permintaan ini, pemimpin komplotan Sulu di Sabah, Azzimudie Kiram, mengatakan bahwa mereka tidak melanggar peraturan apapun karena wilayah Sulu sejatinya adalah milik mereka.
"Kami tidak menduduki daerah ini, karena ini milik kami. Jika polisi Malaysia datang dengan senjata, maka kami akan mempertahankan diri," kata dia, dikutip dari BBC. #
======================================================================
Pemerintah Filipina mempertanyakan keabsahan klaim Sulu atas Sabah di Malaysia. Pasalnya pemimpin Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, diragukan nasabnya sebagai pewaris tahta kesultanan tersebut.
Demikian disampaikan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino lengkap dengan presentasi powerpoint. Menurutnya, pemimpin Sulu saat ini bukanlah keturunan langsung Sultan Sulu yang diakui Filipina pada 1974, yaitu Esmail Kiram I.
Ismael tidak memiliki keturunan sehingga setelah kematiannya tahta diturunkan kepada orang lain. Pemerintah Filipina tidak mengakui kepemimpinan Sultan Jamalul sebagai pewaris Sulu dan mengatakan seharusnya yang memimpin saat ini adalah Esmail Kiram II, adik dari Esmail Kiram I.
Namun Esmail II mengatakan bahwa dia bukanlah pewaris, melainkan putra mahkota atau dalam bahasa Sulu disebut "sultan bantilan". Ismael II juga mengatakan bahwa Jamalul adalah sultan Sulu dan penguasa Palawan dan Sabah sejak saat itu. "Sejauh yang keluarga kami ketahui, Jamalul adalah pewaris sultan," kata Esmail.
Menghadirkan gambar riwayat nasab Kesultanan Sulu, Aquino menegaskan bahwa sultan Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, memiliki nasab yang sangat jauh dari posisi pemimpin. Riset pemerintah Filipina menunjukkan, Jamalul Kiram III adalah keponakan jauh dari Sultan Mawallil Wasit, adik Esmail II.
"Inilah pertanyaan yang pertama kali muncul, siapa yang seharusnya mewakili Kesultanan Sulu?" kata Aquino.
Pemerintah Filipina juga tengah mempelajari dua dokumen mengenai sewa Sabah dari Kesultanan Sulu oleh perusahaan British North Borneo Co. tahun 1878 yang kemudian diambil alih Malaysia tahun 1960an. #
Kawasan utara Kalimantan Timur yang telah disetujui oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi provinsi baru bernama Kalimantan Utara, sampai kini menyisakan banyak persoalan tentang sejarah dan batas-batas daerahnya. Termasuk terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan itu, masih ada banyak kawasan yang terus menerus menjadi sumber konflik kedua negara.
Simak, misalnya, kawasan Ambalat di perairan Karang Unarang yang kaya minyak dan gas. Malaysia masih terus memprovokasi bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka.
Menarik jauh sejarah Kesultanan Bulungan, banyak tokoh-tokoh tua yang meyakini bahwa sebenarnya sebagian daerah yang sekarang masuk menjadi teritori Malaysia adalah daerah kekuasaan Sultan Bulungan. Mulai dari Tawau sampai dengan Lahat Datu yang sekarang menjadi daerah negara bagian Malaysia Timur.
Nah, disebuah daerah di Lahat Datu itu, menurut peminat sejarah Bulungan, Wahab Kiak, ada perjanjian antara Sultan Sulu dengan Sultan Bulungan yang dulu bernama Bologen. Dokumen usang, stablat 1891, kata Wahab Kiak, ada tiga sultan yang tumbuh di “bagian kepala” Pulau Borneo, yaitu Kesultanan Brunai Darussalam, Kesultanan Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan dan Sultan Bologen (Bulungan). Tertera pengakuan dalam perjanjian Inggris itu kata “People Bologen” yang mengartikan Bulungan adalah sebuah negara sendiri.
“Sayangnya negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak.
Fakta-fakta sejarah, sepertinya selalu menjadi sisi lemah di negeri ini. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, karena Indonesia tidak mampu menguatkan bukti-bukti sejarah – terutama tentang Kesultanan Bulungan yang telah muncul berabad-berbad dan akhirnya bergabung dengan Indonesia.
Pemerintah Indonesia malah tidak respon dengan Kesultanan Bulungan itu. Simak kejadian 24 Juli 1964. Tentara Indonesia waktu itu malah membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Akhirnya kita memang harus membayar mahal atas perbuatan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia) yang dilakuan tentara Indonesia terhadap keluarga Kesultanan Bulungan. Pewaris tahta kesultanan misalnya, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, sejak peristwa tragis itu meminta suaka ke Malaysia dan sampai kini menjadi Warga Negara Malaysia.
Indonesia kehilangan jejak sejarah dan itu pula sebabnya Sipadan dan Ligitan hilang. Jika sikap pemerintah tidak segera diperbaiki, saya kuatir masih ada daerah bakal menjadi milik negara tetangga itu lagi.
Salam integritas. #
=======================================================================
Sabah Punya Siapa?
Desa Tanduao, Lahat Dato, Malaysia, yang biasanya tenang, dalam sekejap jadi perhatian dunia. Tanggal 9 Pebruari 2013, sebuah kelompok yang menamakan diri tentara Kesultanan Sulu dari Filipina Selatan dengan agresif mendarat disebuah pantai desa itu. Jumlahnya lebih 200 orang dipimpin oleh Raja Muda Azzimudie Kiram. Mereka disebut-sebut membawa senjata api laras panjang.
Raja Muda Azzimudie Kiram adalah saudara dari Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang disebut-sebut sebagai ahli waris dari Kesultanan Sulu. Sejarah mencatat wilayah Kesultanan Sulu terletak mulai dari Filipina Selatan dan pulau-pulau kecil, sampai ke Sabah Malaysia.
Letak posisi geografis desa yang ‘diklaim’ kepunyaan Kesultanan Sulu itu masih satu daratan Pulau Kalimantan. Tepatnya di ‘bagian kepala’ yang batas pantainya berhadapan dengan Selat Makassar dan pulau-pulau di Filipina Selatan. Itu sebab tokoh-tokoh tua di Bulungan, Nunukan dan Malinau seolah tidak asing dengan daerah Lahat Dato atau yang kerap juga ditulis Lahat Datu maupun Kesultanan Sulu. Seperti ada ikatan emosional karena di antara keluarga mereka telah berbaur dalam keluarga serumpun melayu.
Kelompok milisi Kesultanan Sulu datang menumpang kapal feri dari Pulau Tawi Tawi Filipina Selatan. Mereka membawa data-data yang menyatakan daerah sekitar Sabah adalah daerah kekuasaan Sultan Sulu.
Salah satu bukti itu, Malaysia telah membayar sewa Sabah pada Sultan Sulu. Ada selembar cek yang membuktikan hal itu. Yaitu cek senilai 69.700 peso atau sekitar Rp16,6 juta untuk sewa wilayah seluas 77.699 kilometer persegi. Pembayaran dilakukan Kedutaan Besar Malaysia di Filipina.
Dokumen yang beredar menyebut, wilayah Sabah dulu dikuasai oleh Kesultanan Sulu setelah dihibahkan oleh Sultan Brunei sebagai balas jasa atas bantuan Sulu mengatasi pemberontak. Pada tahun 1878, Sulu menyewakan wilayah Sabah pada perusahaan British North Company milik Inggris yang saat itu menjajah Malaysia.
Tapi kisah sejarah Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu, tak bisa terpisahkan dengan Kesultanan Bulungan yang memiliki wilayah kekuasaan di kawasan “kepala Borneo” itu. Menurut pengakuan Wahab Kiak, pemerhati masalah sejarah Kesultanan Bulungan, ada batas-batas daerah kekuasaan antara ketiga kesultanan tersebut.
“Kalau mengikuti alur sejarah, provinsi Sabah itu dikuasai ketiga kesultanan ini. Ada Sultan Brunei, Sultan Sulu dan Sultan Bulungan,” ujar Wahab Kiak yang pernah jadi anggota DPRD Nunukan tersebut.
Penggalan sejarah yang dipegang Kesultanan Sulu menyebutkan, tahun 1963 Malaysia merdeka. Kemudian hak membayar sewa Sabah dialihkan dari pemerintah Inggris ke Pemerintah Kerajaan Malaysia. Sebelumnya, pada tahun 1962, Kesultanan Sulu memberikan mandat pada Presiden Filipina Diosdado Macapagal untuk melakukan negosiasi terkait wilayah Sabah yang mereka miliki.
Sejak saat itu disepakati, pemerintahan Malaysia di Kuala Lumpur harus membayar sewa tahunan sebesar 5.300 ringgit atau setara 69.700 peso kepada pewaris tahta Kesultanan Sulu. Baru pada tahun 1989, peran Filipina untuk bernegosiasi atas nama Sulu dicabut oleh Sultan Jamalul Kiram III.
Bagi pemerintah Indonesia, mestinya menjadi kesempatan untuk membuka lembaran sejarah yang mungkin sudah ‘terhapus’. Perundingan itu bisa menjadi panduan dan alat diplomasi bagi Indonesia tentang daerah kekuasaan Sultan Bulungan di Pulau Borneo. Rakyat di perbatasan berharap semoga Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak berdiam diri saja, bahkan kalau mungkin tampil menjadi penengah agar bisa membuka sejarah. #
======================================================================
‘Agresi’ di Kepala Borneo
Lebih 200 orang loyalis Kesultanan Sulu Filipina bersenjata api mendarat di Desa Tanduao, Lahat Dato, Sabah, Malaysia Timur. Mereka menuntut Malaysia mengembalikan wilayah yang sedang mereka duduki itu ke Kesultanan Sulu.
‘Agresi’ gerombolan Kesultanan Sulu dipimpin adik Sultan Karim, Raja Muda Agbimuddin Kiram mengagetkan pemerintah kerajaan Malaysia. Kawasan Desa Tanduao segera diperketat penjagaannya sejak 9 Pebruari 2013 lalu. Selain menyiapkan pasukan, tentara Malaysia juga memblokade akses distribusi makanan.
Sementara Kesultanan Sulu, Filipina, menyatakan siap menghadapi risiko apapun atas pendudukan wilayah Lahad Dato, Sabah. Mereka tidak akan menarik pasukan dari wilayah yang disengketakan dengan Malaysia itu.
"Apapun yang terjadi, Kesultanan siap menghadapi konsekuensinya," kata Sekretaris Jenderal Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, sebagaimana dikutip Philstar, Selasa 26 Februari 2013.
Sebelumnya, Presiden Filipina Benigno Aquino III mendesak pasukan Sulu segera meninggalkan Lahad Dato. Namun, Idijrani mengatakan, Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan klaimnya atas warisan leluhurnya itu. Kesultanan Sulu telah memberi tahu kepada Presiden Aquino, bahwa aksi pendudukan ini bisa diselesaikan dengan damai melalui negosiasi.
Menurut Idjirani, jika kesepakatan dengan Malaysia telah dicapai, pasukan Sulu akan menyerahkan senjata mereka ke pemerintah Filipina. Bagaimana pun juga, dia menambahkan, sekitar 200 pasukan Kesultanan Sulu tidak akan meninggalkan Lahad Dato.
Sebelumnya, laman The Star, memberitakan bahwa tentara Malaysia siap menyerbu pasukan Sulu. Langkah ini dinilai sebagai cara paling tepat untuk mengusir orang-orang Kesultanan Sulu itu dari wilayah mereka.
Kepala polisi Sabah, Komandan Datuk Hamza, mengatakan mereka akan menyerbu masuk dan melucuti orang-orang Sulu yang diduga bersenjata. "Kami tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bertindak," kata dia setelah melakukan rapat dua jam bersama jenderal angkatan darat, laut, dan kepolisian Malaysia.
Kesultanan Sulu mengklaim wilayah Sabah yang dulu disebut Borneo Utara merupakan milik Kesultanan Brunei. Namun, Sultan Brunei memberikan wilayah ini kepada Sultan Sulu. Pemberian ini merupakan balas jasa bagi Sultan Sulu yang telah membantu meredam perang sipil di Kesultanan Brunei.
Kesultanan Sulu bersikeras bahwa wilayah Sabah di Malaysia adalah milik mereka, berdasarkan data historis dan berbagai dokumen. Pihak Sulu bahkan mengatakan bahwa Malaysia telah membayar sewa Sabah pada mereka, dibuktikan dengan selembar cek.
Abraham Idjirani mengatakan bahwa sikap Malaysia yang berusaha mengusir orang-orang mereka dari Lahad Dato, Sabah, itu salah besar. Menurutnya, Sabah adalah milik mereka dan Malaysia tidak berhak atasnya.
Diberitakan ABC CBN News, Kamis 21 Februari 2013, Idjirani menunjukkan beberapa dokumen yang menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai 69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari Malaysia.
"Ini adalah cek yang dibayarkan oleh Kedutaan Besar Malaysia di Filipina. Nilainya setara 69.700 peso, untuk wilayah seluas 77.699 kilometer persegi," kata Idjirani.
Beberapa analisa menyebutkan, agresi para loyalis Kesultanan Sulu di kawasan ‘Kepala Borneo’, sebagai dampak semakin tersisihnya Kesultanan Sulu dalam penguasaan daerah di Filipina Selatan. Setelah ada kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Kepulauan Mindanao, daerah Mindanao--termasuk Sulu--merupakan wilayah otonomi Bangsamoro dan memberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen.
Kesepakatan tersebut menyebabkan Kesultanan Sulu merasa tidak mendapat lahan lagi dan akhirnya berniat merebut wilayah mereka di tempat yang lain, yaitu Sabah, Malaysia.#
=====================================================================
Bulungan - Sulu Berbagi Daerah
Klaim Kesultanan Sulu dari Filipina atas daerah Sabah Malaysia Timur diakui kebenarannya. Di kawasan ‘kepala Borneo’ sebelumnya ada tiga kesultanan, Brunei, Sulu dan Bulungan.
Wahab Kiak masih bersemangat jika membicarakan Kesultanan Bulungan yang pernah berjaya tahun 1.800-an. “Dulu kesultanan bulungan itu pernah bertempur dengan kesultanan sulu. Ya, sekitar tahun 1800-an begitu,” cerita Wahab, pemerhati sejarah Kesultanan Bulungan kepada Bmagazine.
Dari pertempuran itu kemudian terjalin hubungan saling menguntungkan. Masing-masing memiliki daerah kekuasaan. Batas wilayah Kesultanan Bulungan sampai ke Kinabalu sekarang, Tawau dan Lahat Dato. “Di Lahat Dato itu ada batas daerah Kesultanan Sulu dan Kesultanan Bulungan. Kerabat kesultanan berbaur, begitu juga masyarakatnya,” cerita Wahab. Tapi menurut catatan sejarah yang bisa diperoleh di Wikipedia, daerah Kesultanan Bulungan pernah berada dalam kekuasaan Kesultanan Sulu.
Menurutnya, ia pernah diutus untuk mencari buku-buku dan bukti otentik mengenai jejak kekuasaan Kesultanan Bulungan. Ia pernah ke Manila Filipina untuk menemui tokoh-tokoh Kesultanan Sulu, juga pemerintahan Filipina. “Waktu itu kita harus mempunya bukti kepemilihan Pulau Sipadan dan Ligitan. Bayangkan, kita baru melacak jejak sejarah ketika diperlukan untuk bersidang di Mahkamah Internasional,” kata Wahab.
Dari dokumen-dokumen yang diterimanya menunjukkan bahwa Bulungan yang dulu dikenal dengan nama Bologen adalah sebuah negara. Dalam sebuah buku stablat tahun 1891, Inggris dan Belanda mengakui adanya ‘people Bulungan’. Pengakuan itu menunjukkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada negara dalam kepemimpinan Kesultanan Bulungan.
Pergaulan antar negeri yang terjadi di tanah Borneo Utara adalah dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu. Hubungan akrab itu masih terbina sampai kini, walaupun Kesultanan Bulungan sendiri masih belum utuh karena keraton sudah dibumihanguskan tentara Indonesia tahun 1964. Sampai kini pemerintah Provinsi Kaltim maupun Pemkab Bulungan belum juga merespon berdirinya keraton bernilai sejarah itu.
Kisah Kesultanan Bulungan memang diwarnai kejadian pahit yang memilukan hati. Tepatnya 24 Juli 1964, tentara Indonesia membumi hanguskan keraton dan juga keluarga Kesultanan Bulungan. Peristiwa pahit ini sampai saat ini malah ditutup-tutupi. Tidak ada niat pemerintah untuk memulihkan atau meminta maaf atas kejadian berdarah itu. Padahal, catatan dari kerabat kesultanan yang tersisa menyebutkan ada 87 orang jadi korban dan 37 di antaranya meninggal.
Bahkan akibat peristiwa kejahatan HAM itu, pewaris tahta kesultanan, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, harus lari meminta suaka politik kepada pemerintahan Kerajaan Malaysia. Sampai kini, sang pewaris menjadi warga negara Malaysia.
“Saya masih sering kontak dengan Datu Mamun (pewaris tahta Kesultanan Bulungan-red). Mereka tidak dapat fasilitas istimewa di sana. Ya seperti warga biasa saja. Padahal, kalau mau ditarik ke belakang sejarahnya, Tawau itu termasuk daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan,” ujar Wahab.
Ia mengingatkan bahwa dengan peristiwa Kesultanan Bulungan itu, Indonesia kehilangan identitas sejarah yang sangat berharga. Bahkan sampai kehilangan dua pulau, yakni Sipadan dan Ligitan. “Saya berharap ada upaya pemerintah memulihkan Kesultanan Bulungan ini,” kata dia. @charlessiahaan
======================================================================
Siap Perang di Lahat Dato
Pemerintah Filipina menurunkan kapal perangnya ke perairan dekat Lahad Dato, Sabah, untuk menjemput orang-orang Sulu yang menduduki daerah itu.
Agresi yang dilakukan para loyalis Kesultanan Sulu di Lahat Dato Sabah, membuat tegang hubungan pemerintahan Filipina dengan Malaysia. Pihak militer masing-masing bersiaga, namun tidak berbuat apa-apa kecuali menunggu perintah dari atasan mereka.
Berita dari portal The Star Malaysia 25 Pebruari 2013 menyebutkan, kapal perang Filipina sudah tiba mendekat perairan Lahat Dato untuk mengevakuasi warga sipil dari kelompok Sulu di Sabah. Namun pihak loyalis tidak berniat meninggalkan daerah tersebut.
Menurut Kementerian Luar Negeri Filipina, kapal perang angkatan laut mereka berangkat dari Bongao, Tawi-tawi sekitar Minggu tengah malam. Kapal ini akan bersiaga di dekat Lahad Datu sementara pemerintah Malaysia melakukan negosiasi dengan para keluarga Sultan Sulu, Jamalul Kiram III.
Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario mengatakan, kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan untuk orang-orang Sulu di Lahad Datu. Dia mendesak lima wanita dalam gerombolan Sulu segera pulang. "Kami mendesak mereka segera naik ke kapal tanpa menunda untuk pulang," kata dia.
Menanggapi pernyataan tersebut, pihak Kesultanan mengaku berterima kasih atas bantuan kemanusiaan tersebut. Namun mereka menegaskan wanita-wanita di kelompok itu tidak berniat untuk pulang dan akan menemani suami mereka di situ.
"Mereka tidak akan pergi," kata Abraham Iridjani, juru bicara kesultanan, diberitakan Inquirer.
Pihak Kesultanan sebelumnya mengklaim mereka mendapat tambahan bantuan ribuan orang untuk menduduki Sabah. Namun Kemlu Filipina mengatakan mereka hanya terdiri dari 180 orang, sebanyak 30 di antaranya bersenjata. Hal ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.
Mereka diduga mulai kehabisan makanan dan obat-obatan karena blokade total oleh militer Malaysia. Bersenjatakan lengkap dengan kesiagaan penuh, tentara Malaysia berada sekitar 500 meter dari gerombolan Sulu.
Namun, pihak Sultan memastikan tidak akan ada orang-orangnya yang pergi dari wilayah yang mereka klaim tersebut.
Presiden Filipina Benigno Aquino juga mendesak Sultan Sulu, Jamalul Kiram III, untuk memerintahkan pengikutnya segera hengkang dari Sabah. Aquino menghendaki sengketa Sabah diselesaikan dengan dialog antara kedua pihak yang bertikai.
Diberitakan Philippine Star, Aquino mengatakan bahwa saat ini pemerintahnya tengah melakukan penyelidikan mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum atas pengiriman orang-orang Sulu ke Lahad Datu, Sabah. Diduga, orang-orang ini bersenjata dan berbahaya.
"Opsi dialog damai dan terbuka masih tersedia. Marilah kita duduk sebagai saudara untuk mengatasi permasalahan dengan cara yang damai, tenang, berdasarkan hukum dan proses yang benar ketika para pengikut anda pulang ke rumah," kata Aquino.
"Perlu diketahui, sekelompok kecil pengikut anda di sana tidak akan berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan, tidak ada cara kekerasan yang bisa mencapai keberhasilan," lanjutnya lagi.
Dia mengatakan, akibat pendudukan Lahad Datu oleh ratusan pengikut Kiram, kehidupan warga Filipina bagian selatan, terutama di Provinsi Basilan, Sulu dan Tawi-Tawi terancam. Pasalnya, warga di wilayah ini mengandalkan pemasukannya dari berdagang dengan warga Sabah.
"Ini situasi yang tidak bisa dibiarkan. Jika anda memang benar pemimpin dari rakyat anda, anda harus memerintahkan mereka pulang," kata Aquino.
Menanggapi permintaan ini, pemimpin komplotan Sulu di Sabah, Azzimudie Kiram, mengatakan bahwa mereka tidak melanggar peraturan apapun karena wilayah Sulu sejatinya adalah milik mereka.
"Kami tidak menduduki daerah ini, karena ini milik kami. Jika polisi Malaysia datang dengan senjata, maka kami akan mempertahankan diri," kata dia, dikutip dari BBC. #
======================================================================
Aquino Ragu Silsilah
Pemerintah Filipina mempertanyakan keabsahan klaim Sulu atas Sabah di Malaysia. Pasalnya pemimpin Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, diragukan nasabnya sebagai pewaris tahta kesultanan tersebut.
Demikian disampaikan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino lengkap dengan presentasi powerpoint. Menurutnya, pemimpin Sulu saat ini bukanlah keturunan langsung Sultan Sulu yang diakui Filipina pada 1974, yaitu Esmail Kiram I.
Ismael tidak memiliki keturunan sehingga setelah kematiannya tahta diturunkan kepada orang lain. Pemerintah Filipina tidak mengakui kepemimpinan Sultan Jamalul sebagai pewaris Sulu dan mengatakan seharusnya yang memimpin saat ini adalah Esmail Kiram II, adik dari Esmail Kiram I.
Namun Esmail II mengatakan bahwa dia bukanlah pewaris, melainkan putra mahkota atau dalam bahasa Sulu disebut "sultan bantilan". Ismael II juga mengatakan bahwa Jamalul adalah sultan Sulu dan penguasa Palawan dan Sabah sejak saat itu. "Sejauh yang keluarga kami ketahui, Jamalul adalah pewaris sultan," kata Esmail.
Menghadirkan gambar riwayat nasab Kesultanan Sulu, Aquino menegaskan bahwa sultan Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, memiliki nasab yang sangat jauh dari posisi pemimpin. Riset pemerintah Filipina menunjukkan, Jamalul Kiram III adalah keponakan jauh dari Sultan Mawallil Wasit, adik Esmail II.
"Inilah pertanyaan yang pertama kali muncul, siapa yang seharusnya mewakili Kesultanan Sulu?" kata Aquino.
Pemerintah Filipina juga tengah mempelajari dua dokumen mengenai sewa Sabah dari Kesultanan Sulu oleh perusahaan British North Borneo Co. tahun 1878 yang kemudian diambil alih Malaysia tahun 1960an. #
Gratifikasi Seks
Kalau sudah ngobrolin tentang istri muda, di sebuah warung kopi yang kerap saya datangi di Kota Samarinda Kalimantan Timur, selalu rame dan heboh. Hampir semua profesi singgah di situ. Sambil menyantap sarapan pagi, kadang meledak tawa manakala bercerita beberapa kejadian tentang istri muda yang bikin heboh republik belakangan ini.
Kasus pertama adalah istri muda Irjen Pol Djoko Susilo bernama Dipta Aninditha. Selisih usia kedua pasangan itu 28 tahun. Nah, sebelumnya juga muncul di Koran kasus Bupati Garut Aceng HM Fikri yang menikah siri dengan Fani Oktora. Yang terakhir ini selisih usianya 22 tahun.
Rata-rata menganggap biasa tentang istri muda. Malah, seperti ada pengakuan bahwa para pejabat, pengusaha yang sering berangkat ke luar kota harus diwaspadai memiliki istri simpanan juga. Istri simpanan artinya perkawinan keduanya tidak mendapat restu dari istri pertama.
Sejumlah nama tokoh-tokoh birokrasi pemerintahan dan juga politisi di Kalimantan Timur memiliki istri muda. Entah, punya izin atau tidak dari yang tua.
Lebih banyak lagi yang punya gebetan WIL (wanita idaman lain) tapi tidak dinikahi. Jadi, tiap kali ke luar kota hubungan itu terajut dan banyak yang awet. Tentu saja dengan catatan semua kebutuhan harta wanita simpanan itu terpenuhi semua. Ya, rumah, mobil dan ongkos hidup hari-hari.
Makin tinggi tingkat jabatan dan juga penghasilan, makin besar kemungkinannya. Rata-rata berpandangan kalau ada uang, semua bisa dibeli. Pas, seperti Bupati Aceng HM Fiktri merendahkan kaum perempuan dengan mengucapkan kata-kata; ‘artis saja tidak sampai Rp250 juta”.
Tadinya, saya menganggap remeh adanya praktik menyuguhkan perempuan cantik kepada para pejabat pria yang sedang berkuasa. Wanita-wanita itu ikut diterbangkan ke mana pejabat tersebut berangkat perjalanan dinas. Bahkan sampai terbawa ke luar negeri.
Saya baru terkejut manakala di Singapura sebuah badan pemberantasan korupsi membongkar adanya gratifikasi seks seorang pejabat pria di negeri Singa itu. Kliennya yang seorang wanita diminta melayani nafsu seksual pejabat ini.
Di Indonesia, gratifikasi seks itu mulai tercium juga aromanya. Belum ada yang terungkap, tapi bukan berarti tidak ada.
Beberapa pengusaha bidang jasa dan konstruksi di Jakarta mengakui biasa saja mengalokasikan dana untuk entertainmen beberapa pengusaha daerah yang datang ke Jakarta. Semua dipenuhi. Hotel mewah, hiburan malam, perempuan dan lain sebagainya.
Jadi, kalau kita membicarakan kasus korupsi yang sudah menjadi budaya, sebenarnya kita jangan pernah lupa membahas kalimat lama; Tahta, harta dan wanita. #
Kasus pertama adalah istri muda Irjen Pol Djoko Susilo bernama Dipta Aninditha. Selisih usia kedua pasangan itu 28 tahun. Nah, sebelumnya juga muncul di Koran kasus Bupati Garut Aceng HM Fikri yang menikah siri dengan Fani Oktora. Yang terakhir ini selisih usianya 22 tahun.
Rata-rata menganggap biasa tentang istri muda. Malah, seperti ada pengakuan bahwa para pejabat, pengusaha yang sering berangkat ke luar kota harus diwaspadai memiliki istri simpanan juga. Istri simpanan artinya perkawinan keduanya tidak mendapat restu dari istri pertama.
Sejumlah nama tokoh-tokoh birokrasi pemerintahan dan juga politisi di Kalimantan Timur memiliki istri muda. Entah, punya izin atau tidak dari yang tua.
Lebih banyak lagi yang punya gebetan WIL (wanita idaman lain) tapi tidak dinikahi. Jadi, tiap kali ke luar kota hubungan itu terajut dan banyak yang awet. Tentu saja dengan catatan semua kebutuhan harta wanita simpanan itu terpenuhi semua. Ya, rumah, mobil dan ongkos hidup hari-hari.
Makin tinggi tingkat jabatan dan juga penghasilan, makin besar kemungkinannya. Rata-rata berpandangan kalau ada uang, semua bisa dibeli. Pas, seperti Bupati Aceng HM Fiktri merendahkan kaum perempuan dengan mengucapkan kata-kata; ‘artis saja tidak sampai Rp250 juta”.
Tadinya, saya menganggap remeh adanya praktik menyuguhkan perempuan cantik kepada para pejabat pria yang sedang berkuasa. Wanita-wanita itu ikut diterbangkan ke mana pejabat tersebut berangkat perjalanan dinas. Bahkan sampai terbawa ke luar negeri.
Saya baru terkejut manakala di Singapura sebuah badan pemberantasan korupsi membongkar adanya gratifikasi seks seorang pejabat pria di negeri Singa itu. Kliennya yang seorang wanita diminta melayani nafsu seksual pejabat ini.
Di Indonesia, gratifikasi seks itu mulai tercium juga aromanya. Belum ada yang terungkap, tapi bukan berarti tidak ada.
Beberapa pengusaha bidang jasa dan konstruksi di Jakarta mengakui biasa saja mengalokasikan dana untuk entertainmen beberapa pengusaha daerah yang datang ke Jakarta. Semua dipenuhi. Hotel mewah, hiburan malam, perempuan dan lain sebagainya.
Jadi, kalau kita membicarakan kasus korupsi yang sudah menjadi budaya, sebenarnya kita jangan pernah lupa membahas kalimat lama; Tahta, harta dan wanita. #
Rasa Aman
Ini kali kedua saya menurunkan tulisan tentang ‘rasa aman’ warga negara. Dua pekan sebelumnya saya juga membuat opini di halaman ini dengan judul “Pembunuh Rakyat”. Itu mengenai kebijakan pemerintah dibidang pertambangan batubara yang menghasilkan kolam-kolam besar eks tambang dan akhirnya menelan korban nyawa anak-anak yang bermain mandi di sana.
Kali ini, rasa aman warga kota Samarinda juga terusik dengan adanya kasus perampokan bersenjata api di Kantor Unit Pegadaian Syariah Samarinda. Tingkat kerugian mencapai Rp6,7 miliar dan ironisnya, ini peristiwa kali ketiga di kota itu.
Polisi masih mengindikasi. Sampai lewat 10 hari dari hari kejadiannya, tanda-tanda siapa pelakunya belum juga jelas. Inti cerita; pelaku perampokan bersenjata api masih berkeliaran di mana saja.
Saya lama tidak begitu mengikuti lagi perkembangan kasus kriminal di Samarinda maupun provinsi Kalimantan Timur. Padahal, ketika masih menjadi wartawan yang mangkal di kepolisian, jaksa dan pengadilan, masalah kriminal adalah menu sehari-hari.
Dari ‘kebiasaan’ itu seolah tertanam, bahwa tindak kriminal disebuah kota mencerminkan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Artinya, jika kota itu semakin menuju kota besar, metropolitan, maka jenis kejahatan yang terjadi juga ‘naik kelas’.
Itu sebab, ketika ada peristiwa perampokan menggunakan senjata api di Kota Samarinda, seolah menjadi pembenaran teori itu; Samarinda telah menjadi kota metropolitan.
Ya, barangkali teori itu benar. Tapi juga tidak seluruhnya bisa diaminkan. Sebab dari beberapa hasil penangkapan pihak kepolisian, banyak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) justru orang dari luar kota. Mereka sengaja datang dari kota-kota sekitar. Tadinya untuk mencari kerja, tapi kemudian beraksi kejahatan.
Arus migrasi penduduk ke kota-kota di Kalimantan Timur tengah terjadi dalam gelombang besar. Mereka biasanya didorong untuk memperbaiki nasib. Mencoba peruntungan di kota baru yang sedang bergeliat dengan eksploitasi tambang dan jasa lainnya.
Ya, kandungan sumber daya alam Kaltim sudah menjadi tujuan harapan banyak kalangan. Ya pengusaha yang ingin mengembangkan bisnis, maupun para ‘pengangguran’ dari daerah mana saja. Coba simak opini yang telah terbentuk pada warga di Pulau Jawa tentang Kalimantan Timur. Maka, yang spontan keluar dari benak pikiran mereka adalah kayu, batubara dan migas. Ini fakta, seolah-olah ketiga sumber daya alam itu adalah status sosial masyarakatnya. Yakni masyarakat yang punya uang. Kaya.
Potret kehidupan ini mengharuskan pemerintah, aparat keamanan, khususnya kepolisian, TNI dan segenap warga sipil perlu mengkoreksi diri apakah kita telah menyiapkan antisipasinya. Sebab, dari migrasi itu bukan hanya pertumbuhan penduduk yang didapat, tapi juga ragam perilaku yang mungkin membawa perubahan bagi budaya dan lainnya. Misalnya dengan adanya kasus perampokan di Pegadaian Samarinda yang sampai tiga kali itu, tentu spontan kita mengatakan; kenapa Satpam di sana tidak dikasih senjata api.
Padahal, kita tahu, senjata api bukanlah barang mainan. Warga masih tidak terbiasa memegang, apalagi memiliki untuk mengamankan rumah-rumah mereka. Nah, kalau tidak mungkin mempersenjatai warga sipil, apa jalan keluarnya?
Bagaimanapun, rasa aman adalah hak warga negara. Itu sebabnya, tiap kali ada kejadian yang berlatar kekerasan, apakah itu kriminal maupun konflik sosial, masyarakat selalu menuntut pemerintah selaku pemegang ‘agunan’ rasa aman. Dan, mana kala rasa aman tidak lagi dapat diberikan, maka risikonya negara bisa jadi bubar.
Salam integritas!
Kali ini, rasa aman warga kota Samarinda juga terusik dengan adanya kasus perampokan bersenjata api di Kantor Unit Pegadaian Syariah Samarinda. Tingkat kerugian mencapai Rp6,7 miliar dan ironisnya, ini peristiwa kali ketiga di kota itu.
Polisi masih mengindikasi. Sampai lewat 10 hari dari hari kejadiannya, tanda-tanda siapa pelakunya belum juga jelas. Inti cerita; pelaku perampokan bersenjata api masih berkeliaran di mana saja.
Saya lama tidak begitu mengikuti lagi perkembangan kasus kriminal di Samarinda maupun provinsi Kalimantan Timur. Padahal, ketika masih menjadi wartawan yang mangkal di kepolisian, jaksa dan pengadilan, masalah kriminal adalah menu sehari-hari.
Dari ‘kebiasaan’ itu seolah tertanam, bahwa tindak kriminal disebuah kota mencerminkan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Artinya, jika kota itu semakin menuju kota besar, metropolitan, maka jenis kejahatan yang terjadi juga ‘naik kelas’.
Itu sebab, ketika ada peristiwa perampokan menggunakan senjata api di Kota Samarinda, seolah menjadi pembenaran teori itu; Samarinda telah menjadi kota metropolitan.
Ya, barangkali teori itu benar. Tapi juga tidak seluruhnya bisa diaminkan. Sebab dari beberapa hasil penangkapan pihak kepolisian, banyak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan (curas) justru orang dari luar kota. Mereka sengaja datang dari kota-kota sekitar. Tadinya untuk mencari kerja, tapi kemudian beraksi kejahatan.
Arus migrasi penduduk ke kota-kota di Kalimantan Timur tengah terjadi dalam gelombang besar. Mereka biasanya didorong untuk memperbaiki nasib. Mencoba peruntungan di kota baru yang sedang bergeliat dengan eksploitasi tambang dan jasa lainnya.
Ya, kandungan sumber daya alam Kaltim sudah menjadi tujuan harapan banyak kalangan. Ya pengusaha yang ingin mengembangkan bisnis, maupun para ‘pengangguran’ dari daerah mana saja. Coba simak opini yang telah terbentuk pada warga di Pulau Jawa tentang Kalimantan Timur. Maka, yang spontan keluar dari benak pikiran mereka adalah kayu, batubara dan migas. Ini fakta, seolah-olah ketiga sumber daya alam itu adalah status sosial masyarakatnya. Yakni masyarakat yang punya uang. Kaya.
Potret kehidupan ini mengharuskan pemerintah, aparat keamanan, khususnya kepolisian, TNI dan segenap warga sipil perlu mengkoreksi diri apakah kita telah menyiapkan antisipasinya. Sebab, dari migrasi itu bukan hanya pertumbuhan penduduk yang didapat, tapi juga ragam perilaku yang mungkin membawa perubahan bagi budaya dan lainnya. Misalnya dengan adanya kasus perampokan di Pegadaian Samarinda yang sampai tiga kali itu, tentu spontan kita mengatakan; kenapa Satpam di sana tidak dikasih senjata api.
Padahal, kita tahu, senjata api bukanlah barang mainan. Warga masih tidak terbiasa memegang, apalagi memiliki untuk mengamankan rumah-rumah mereka. Nah, kalau tidak mungkin mempersenjatai warga sipil, apa jalan keluarnya?
Bagaimanapun, rasa aman adalah hak warga negara. Itu sebabnya, tiap kali ada kejadian yang berlatar kekerasan, apakah itu kriminal maupun konflik sosial, masyarakat selalu menuntut pemerintah selaku pemegang ‘agunan’ rasa aman. Dan, mana kala rasa aman tidak lagi dapat diberikan, maka risikonya negara bisa jadi bubar.
Salam integritas!
Pembunuh Rakyat
Negara jangan sampai menjadi pembunuh rakyatnya. Itulah pertanggungjawaban yang mestinya dipegang teguh oleh para pelaku kebijakan, apakah itu pemerintah dan legislator.
Manakala ada kebijakan publik yang berefek pada jatuhnya korban, apalagi sampai menghilangkan nyawa, negara ikut bertanggungjawab. Itu yang ideal.
Faktanya, seringkali negara mengabaikan soal keamanan warganegaranya. Contoh peristiwa yang terjadi di Sambutan Samarinda tahun lalu, yaitu tenggelamnya 3 bocah di kolam eks tambang batubara yang letaknya berada dekat pemukiman warga.
Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang. Bahkan ada aturan lain yang ditabrak. Misalnya larangan membuat kolam dekat pemukiman dan kewajiban perusahaan menutup kawasan operasinya agar tidak dimasuki oleh warga yang tidak berkepentingan.
Apa hasilnya? Ternyata rakyat yang harus menanggung derita. Seperti anak-anak itu, yang tidak mengerti ada bahaya di kolam-kolam di sekitar rumah dan sewaktu-waktu mengancam nyawa mereka.
Begitu dahsyatnya dampak sebuah kebijakan publik, mengharuskan para pembuatnya – terutama anggota DPR/DPRD dan juga pelaksananya, pemerintah, harus menghitung matang. Terutama menyangkut apakah kebijakan itu benar-benar untuk kepentingan rakyat, ataukah ternyata terbukti hanya menguntungkan kelompok dan diri sendiri.
Kalkulasi seperti ini yang kian langka. Di mana-mana masyarakat mengeluh, karena banyak kebijakan ternyata untuk mempertebal pundi-pundi sendiri dan kelompoknya. Pemberian izin yang masih bernuansa KKN, penggiringan proyek-proyek konstruksi dan jasa maupun sistim cashback, di mana pihak ketiga yang berhubungan dengan pemerintah wajib memberikan jumlah tertentu pada pejabat pemerintah.
Memang rumit. Karena siapa saja mencoba mengubah sistim yang tengah berlaku, ia akan menerima risiko sendiri. Biasanya ia akan diasingkan. Bagi pengusaha, situasi seperti itu sama saja membunuh bisnisnya sendiri. Apalagi bagi yang bisnisnya bergantung dengan proyek pemerintah.
Jadi, ibarat simalakama. Ikut dalam sistim korup dia akan berisiko masuk perangkap hukum alias penjara, tidak ikut sistim dia diasingkan dan berisiko dapur keluarga mati.
Situasi pemerintahan yang tengah terjadi saat itu jauh dari akal sehat. Ia telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjelma menjadi “mesin pembunuh” dan siap melibas siapa saja yang menentangnya.
Apalagi ada kekuatan lain yang mengikutinya seperti legislative dan yudikatif. Seperti yang terjadi dalam penanganan kasus hukum tewasnya bocah di kolam eks tambang batubara milik perusahaan itu. Siapa lagi yang bisa memvonis itu kesalahan pemerintah dan kesalahan pemerintahan. Semua ikut tenggelam.
Salam integritas!
Manakala ada kebijakan publik yang berefek pada jatuhnya korban, apalagi sampai menghilangkan nyawa, negara ikut bertanggungjawab. Itu yang ideal.
Faktanya, seringkali negara mengabaikan soal keamanan warganegaranya. Contoh peristiwa yang terjadi di Sambutan Samarinda tahun lalu, yaitu tenggelamnya 3 bocah di kolam eks tambang batubara yang letaknya berada dekat pemukiman warga.
Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang. Bahkan ada aturan lain yang ditabrak. Misalnya larangan membuat kolam dekat pemukiman dan kewajiban perusahaan menutup kawasan operasinya agar tidak dimasuki oleh warga yang tidak berkepentingan.
Apa hasilnya? Ternyata rakyat yang harus menanggung derita. Seperti anak-anak itu, yang tidak mengerti ada bahaya di kolam-kolam di sekitar rumah dan sewaktu-waktu mengancam nyawa mereka.
Begitu dahsyatnya dampak sebuah kebijakan publik, mengharuskan para pembuatnya – terutama anggota DPR/DPRD dan juga pelaksananya, pemerintah, harus menghitung matang. Terutama menyangkut apakah kebijakan itu benar-benar untuk kepentingan rakyat, ataukah ternyata terbukti hanya menguntungkan kelompok dan diri sendiri.
Kalkulasi seperti ini yang kian langka. Di mana-mana masyarakat mengeluh, karena banyak kebijakan ternyata untuk mempertebal pundi-pundi sendiri dan kelompoknya. Pemberian izin yang masih bernuansa KKN, penggiringan proyek-proyek konstruksi dan jasa maupun sistim cashback, di mana pihak ketiga yang berhubungan dengan pemerintah wajib memberikan jumlah tertentu pada pejabat pemerintah.
Memang rumit. Karena siapa saja mencoba mengubah sistim yang tengah berlaku, ia akan menerima risiko sendiri. Biasanya ia akan diasingkan. Bagi pengusaha, situasi seperti itu sama saja membunuh bisnisnya sendiri. Apalagi bagi yang bisnisnya bergantung dengan proyek pemerintah.
Jadi, ibarat simalakama. Ikut dalam sistim korup dia akan berisiko masuk perangkap hukum alias penjara, tidak ikut sistim dia diasingkan dan berisiko dapur keluarga mati.
Situasi pemerintahan yang tengah terjadi saat itu jauh dari akal sehat. Ia telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjelma menjadi “mesin pembunuh” dan siap melibas siapa saja yang menentangnya.
Apalagi ada kekuatan lain yang mengikutinya seperti legislative dan yudikatif. Seperti yang terjadi dalam penanganan kasus hukum tewasnya bocah di kolam eks tambang batubara milik perusahaan itu. Siapa lagi yang bisa memvonis itu kesalahan pemerintah dan kesalahan pemerintahan. Semua ikut tenggelam.
Salam integritas!
Mengejar Kaya
Tadinya saya tidak begitu percaya dengan anggapan orang berpolitik hanya untuk mengejar harta. Begitu tingginya nilai kemuliaan seorang yang bekerja untuk negara demi melayani rakyat yang membutuhkan rasa aman dan sejahtera.
Tapi belakangan rasa ingin memuliakan itu semakin hilang. Malah berubah menjadi sikap jijik, karena begitu banyaknya tokoh-tokoh publik yang tertangkap karena menggerogoti uang rakyat. Uang yang mestinya ia lindungi untuk kepentingan orang banyak, tapi parkir di rekening sendiri.
Berita-berita di televisi dan media sosial tidak mungkin saya bendung agar anak-anak di rumah tidak sampai mengikuti kebobrokkan yang terjadi di negara ini. Biarlah mereka tetap berpikir ideal, sehingga suatu saat para pewaris negeri ini berbuat lebih baik untuk generasi mereka maupun berikutnya.
Tapi sulit sekali untuk menjelaskan kepada anak-anak itu ketika mereka bertanya; “mengapa si polan yang terkenal itu ditangkap karena korupsi? Dan kenapa orang-orang terkenal itu dipenjara?”
Dalam perspektif yang ideal, seseorang memasuki dunia politik memang sudah dipersiapkan sejak masa kecil. Dengan mengasah sikap dan tingkat kepeduliaan mereka pada masalah-masalah sosial, lingkungan juga perhatian dan kecintaan mereka terhadap tanah air. Dari sana mereka akan punya bekal yang cukup untuk mengabdikan dirinya secara penuh untuk rakyat. Tanpa memikirkan lagi berapa kekayaan yang diperoleh dari kedudukan jabatan itu.
Tapi kisah ideal itu sekarang menjadi sesuatu yang langka. Memang masih ada politisi yang bagus, bersih. Tapi mereka tenggelam di antara politisi kotor.
Mengapa mereka memilih menjadi politisi? Menurut penelitian Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat mempertahankan disertasi doktoralnya, ternyata mayoritas motivasinya adalah kepentingan ekonomi. “Jadi DPR ini dianggap lembaga untuk mencari nafkah,” kata Pramono.
Karena itu tidak mengherankan kalau para politisi beramai-ramai menggunakan pengaruh jabatan dan kekuasaannya untuk ‘mengalihkan’ uang negara menjadi uang pribadi. Apakah itu dengan cara membuat kebijakan anggaran proyek dengan dalih aspirasi, sampai dengan anggaran operasional masing-masing anggota yang cenderung mengada-ada.
Ada ribuan kesempatan ‘mencari uang’ ketika seseorang naik menjadi anggota DPR RI. Misalnya seperti yang dialami Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS. Menurut KPK, dia diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur jatah impor daging sapi kepada perusahaan tertentu.
Argumen yang sering muncul di media menyebutkan, para politisi melakukan korupsi anggaran atau menyalahgunakan jabatan tak semata-mata karena kebutuhan dapurnya sendiri. Tapi besar kemungkinan untuk menambah pundi-pundi kas partai. Apalagi sebentar lagi berlaga dalam Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2014.
Hajatan politik itu memerlukan “amunisi” yang kuat. Amunisi untuk pencitraan diri sendiri agar bisa tampil lagi dalam panggung politik dan amunisi untuk partai. Begitu seterusnya roda berputar, entah kapan terjadi perubahan.
Salam integritas!
Tapi belakangan rasa ingin memuliakan itu semakin hilang. Malah berubah menjadi sikap jijik, karena begitu banyaknya tokoh-tokoh publik yang tertangkap karena menggerogoti uang rakyat. Uang yang mestinya ia lindungi untuk kepentingan orang banyak, tapi parkir di rekening sendiri.
Berita-berita di televisi dan media sosial tidak mungkin saya bendung agar anak-anak di rumah tidak sampai mengikuti kebobrokkan yang terjadi di negara ini. Biarlah mereka tetap berpikir ideal, sehingga suatu saat para pewaris negeri ini berbuat lebih baik untuk generasi mereka maupun berikutnya.
Tapi sulit sekali untuk menjelaskan kepada anak-anak itu ketika mereka bertanya; “mengapa si polan yang terkenal itu ditangkap karena korupsi? Dan kenapa orang-orang terkenal itu dipenjara?”
Dalam perspektif yang ideal, seseorang memasuki dunia politik memang sudah dipersiapkan sejak masa kecil. Dengan mengasah sikap dan tingkat kepeduliaan mereka pada masalah-masalah sosial, lingkungan juga perhatian dan kecintaan mereka terhadap tanah air. Dari sana mereka akan punya bekal yang cukup untuk mengabdikan dirinya secara penuh untuk rakyat. Tanpa memikirkan lagi berapa kekayaan yang diperoleh dari kedudukan jabatan itu.
Tapi kisah ideal itu sekarang menjadi sesuatu yang langka. Memang masih ada politisi yang bagus, bersih. Tapi mereka tenggelam di antara politisi kotor.
Mengapa mereka memilih menjadi politisi? Menurut penelitian Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat mempertahankan disertasi doktoralnya, ternyata mayoritas motivasinya adalah kepentingan ekonomi. “Jadi DPR ini dianggap lembaga untuk mencari nafkah,” kata Pramono.
Karena itu tidak mengherankan kalau para politisi beramai-ramai menggunakan pengaruh jabatan dan kekuasaannya untuk ‘mengalihkan’ uang negara menjadi uang pribadi. Apakah itu dengan cara membuat kebijakan anggaran proyek dengan dalih aspirasi, sampai dengan anggaran operasional masing-masing anggota yang cenderung mengada-ada.
Ada ribuan kesempatan ‘mencari uang’ ketika seseorang naik menjadi anggota DPR RI. Misalnya seperti yang dialami Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS. Menurut KPK, dia diduga menggunakan pengaruhnya untuk mengatur jatah impor daging sapi kepada perusahaan tertentu.
Argumen yang sering muncul di media menyebutkan, para politisi melakukan korupsi anggaran atau menyalahgunakan jabatan tak semata-mata karena kebutuhan dapurnya sendiri. Tapi besar kemungkinan untuk menambah pundi-pundi kas partai. Apalagi sebentar lagi berlaga dalam Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2014.
Hajatan politik itu memerlukan “amunisi” yang kuat. Amunisi untuk pencitraan diri sendiri agar bisa tampil lagi dalam panggung politik dan amunisi untuk partai. Begitu seterusnya roda berputar, entah kapan terjadi perubahan.
Salam integritas!
Blok Mahakam, Tanah Air Beta
Apakah rakyat Kaltim pernah membayangkan jika suatu saat ada kekuatan lokal mengelola uang yang jumlahnya mencapai Rp1.700 triliun?
Nah, itu bisa menjadi kenyataan jika saja kebijakan pemerintah pusat memberikan peluang bagi kekuatan lokal mengelola sumur minyak yang terletak di sebelah laut Kutai Kartanegara bernama Blok Mahakam.
Ladang minyak itu saat ini masih dioperasikan oleh perusahaan Perancis Total E&P Indonesie. Tapi nanti 31 Maret 2017 kontrak dengan pemerintah Indonesia sudah berakhir. Menurut pakar perminyakan Indonesia, Dr. Kartubi, setelah kontrak habis, sejatinya seluruh aset sudah secara otomatis kembali ke negara. Seluruh sisa cadangan yang masih ada di perut bumi maupun fasilitas atau infrastruktur produksi sudah menjadi milik negara.
Ibaratnya, pemerintah tinggal mencari operator baru yang menjalankan mesin-mesin untuk mengebor minyak dan gas yang ditinggalkan. Tidak perlu lagi investasi peralatan infrastruktur ‘super mahal’ dan hanya perlu konsentrasi pada pembiayaan operasional. Menurut catatan mengenai cadangan Migas yang tersisa di Blok Mahakam ada sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Dengan status baru di Blok Mahakam pada tahun 2017, tidak heran kalau banyak pihak yang tergiur. Di daerah Kaltim sendiri, sudah muncul beberapa kelompok yang berusaha mengklaim untuk ambil bagian. Selain Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Kartanegara yang nampak ‘ngebet’, juga muncul berbagai komponen masyarakat seperti pemuda di bawah naungan KNPI dan LSM.
Di Jakarta, tidak kalah sengit. Sejumlah mahasiswa dan aktivis juga sudah menyampaikan gagasan agar Blok Mahakam tidak jatuh ke tangan asing lagi. Cukup sudah masa dua kali perpanjangan kontrak selama 50 tahun yang diberikan pemerintah Indonesia kepada perusahaan asing seperti Total E&P Indonesie. Saatnya ‘pribumi’ mengelola minyaknya sendiri.
Tarik menarik mulai terjadi. Pihak Total E&P Indonesie terang-terangan menyatakan ingin mendapat kontrak itu kembali. Mereka masih meluncurkan investasi untuk menjaga agar produksi Migas nasional tidak sampai menyusut.
Siapa yang sanggup menangkap tongkat estafet bisnis yang padat modal tersebut?
Para pakar minyak Indonesia dan juga banyak kalangan perguruan tinggi percaya Pertamina sanggup menjadi operator. Bukan hal baru memang bagi Pertamina, karena BUMN itu memiliki kemampuan finansial maupun SDM serta manajerial di bidang Migas.
Tapi, bagaimana nasib komponen rakyat Kalimantan Timur yang melihat ada peluang agar daerah juga berperan menjadi operator?
Kekuatan lokal Kaltim seperti BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang disokong oleh Pemerintah Provinsi Kaltim maupun Pemkab Kutai Kartanegara jelas sangat diragukan. Karena selain tidak punya kemampuan finansial, juga tidak punya pengalaman sendiri jika diberikan kepercayaan menjadi operator.
“Kita bisa,” kata Bernaulus Saragih, salah satu cendikia Unmul yang juga pemerhati masalah Blok Mahakam. Warga dari etnis Dayak juga bersenandung Indonesia Tanah Air Beta. #
==================================================================
Blok Mahakam memerlukan investasi sekitar Rp280 trilun. Keinginan rakyat Kaltim terlibat di bisnis minyak dan gas baru sebatas diskusi dengan kemungkinan sebagai participant interested.
Pada sebuah acara di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, selepas Natal 2012 lalu, Jero Wacik, Menteri ESDM terlihat geram. Rupanya, ia tidak tahan dengan tudingan beberapa pihak yang muncul di media-media sosial, tentang adanya dugaan suap atas investasi yang akan ditanamkan perusahaan migas Inggris yakni British Petroleum (BP) untuk ladang gas di Papua senilai US$ 12 miliar (Rp 108 triliun).
Isu yang ingin dibantah Jero Wacik, tidak benar kalau investasi itu adalah hasil tukar guling dengan gelar ksatria Knight Grand Cross in the Order of Bath yang diberikan Kerajaan Inggris untuk Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) beberapa waktu sebelumnya.
"Ada saja yang menuding investasi US$ 12 miliar BP itu tukar guling dengan gelar bintang kesatria (untuk Presiden SBY), itu orang yang plintir, itu tidak tahu diri," kata Jero.
Penghargaan yang dterima SBY, pernah juga diberikan kepada beberapa pemimpin dunia yaitu, Mantan Presiden Amerika Ronald Reagan, Mantan Presiden Prancis Jacques Chirac dan Mantan Presiden Turki Abdullah Gul.
"Nggak ada hubungannya antara investasi BP Tangguh dengan gelas Presiden. Investasi dan kontrak BP itu urusan saya, urusan Menteri ESDM, ini biar jelas, agar tidak ada dusta di antara kita," ujarnya pada acara Penandatangan 5 Kontrak Jual Beli Minyak dan Gas Bumi itu.
Di mata publik Indonesia, selama ini sudah tertanam bahwa bisnis minyak dan gas adalah sumber korupsi terbesar yang sulit terungkap. Kehadiran perusahaan multinasional mengeksploitasi sumur-sumur minyak di darat maupun lautan, diyakini sudah bermasalah sejak terjadi pemberian kontraknya puluhan tahun silam. Para pemegang otoritas pertambangan sebelum SBY diyakini memiliki kepentingan sendiri-sendiri dari kontrak minyak yang mereka berikan.
Tidak mengherankan kalau kecurigaan selalu muncul di balik hubungan pemerintahan SBY dengan negara-negara yang perusahaannya bergerak berinvestasi Migas di daerah ini. Contohnya Inggris dan Perancis yang cukup menonjol menggarap minyak dan gas di Indonesia.
Dilandasi kecurigaan itu pula rakyat Kaltim mulai gelisah ketika masa kontrak perusahaan multinasional Total E&P Indonesie segera berakhir 31 Maret 2017 nanti. Seperti syarat undang-undang, minimal lima tahun sebelum berakhirnya kontrak sudah harus dilakukan pengajuan permohonan baru apakah ingin mengelola lagi atau berhenti sampai di masa kontrak itu.
Sebab, keputusan ada di tangan pemerintah pusat. Apakah akan memberikan kontrak baru kepada Total E&P Indonesie atau kepada perusahaan lain.
Buat Kaltim, tekad sudah bulat. Siapapun nanti menjadi operator baru, Kaltim harus mendapat peran yang lebih besar dari sekarang. Bahkan sasaran Kaltim berikutnya adalah pemilikan saham. "Aliansi masyarakarat Kaltim minta kontrak Total tidak diperpanjang lagi, Pertamina dan daerah sudah mampu mengelola sendiri Blok Mahakam, karena sudah berpengalaman," ujar Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, belum lama ini.
Pemprov Kaltim sudah menyusun skenario sejak setahun lalu. Dengan membentuk BUMD yang siap ikut berperan dalam bisnis minyak dan gas yang ditinggalkan Total. Skenario Awang malah telah cocok dengan rencana Pemkab Kutai Kartanegara yang juga mengincar pengelolaannya. Pemprov Kaltim membentuk Perusda dengan nama PT Cakra Pratama Energi, sementara Pemkab Kukar membentuk Perusda PT Tiling Madang Petroleum.
"Jadi nanti 50% diberikan Pertamina, 50% diberikan kepada BUMD Kaltim," janji Awang.
Skenario Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, boleh jadi masih sangat sumir. Sebab, muncul pertanyaan, dari mana sumber keuangan BUMD bentuk pemerintahan Provinsi Kaltim maupun Pemkab Kukar. Apa mungkin mereka bisa menginvestasikan sampai ratusan triliun rupiah?
President Director & GM Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust, berterus terang tentang investasi perusahaan yang dipimpinnya di Indonesia. Untuk Blok Mahakam saja, perusahaan itu sudah menginvestasikan sebesar Rp280 triliun.
Karena investasi yang demikian besar di Blok Mahakam, tidak heran kalau perusahaan itu berniat mempertahankannya. Surat permohonan perpanjangan kontrak sudah diajukan, namun sampai akhir Desember 2012 ternyata belum ada jawaban dari pemerintah pusat.
Padahal, kepastian tentang kontrak itu sangat diperlukan dalam perencanaan bisnis berikutnya. Seperti diutarakan Head Department Media Relations Total E&P Indonesie Kristanto Hartadi, pihaknya menunggu kepastian kontrak.
"Investasi 2014? kita masih nunggu kepastian dulu, kepastian perpanjangan kontrak, habis itu baru kita tahu rencana pengembangan 2014," kata Kristanto kepada wartawan.
Diakui ada perundingan bussines to bussines antara Total, PT Pertamina dan Pemerintah Indonesia. Perundingan untuk membahas berbagai hal.
"Banyak yang bilang kami rebutan Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak kami pada 2017 dengan masuknya Pertamina di Blok tersebut, kami katakan itu salah, kami tidak rebutan," ucap Vice President Human Resources and General Service Total E&P Indonesie Arvidya Noviyanto di Balikpapan, belum lama ini.
"Semua tergantung pemerintah, pemerintah yang menentukan apakah setelah berakhir kontrak kami tetap beroperasi lagi di Blok Mahakam apa tidak," ucapnya.
Berdasarkan instruksi dari pemerintah, kata Arvidya, Total dan INPEX serta Pertamina diminta berunding. Termasuk juga dengan daerah soal persentase penguasaan Blok Mahakam.
"Yang ada saat ini pemerintah memerintahkan kami (Total), Inpex dan Pertamina serta daerah berapa masing-masing partisipant interest (PI) di blok tersebut, diskusinya masih di situ saja," ujarnya.
Ada dua opsi, pilihan pertama porsi saham di Blok Mahakam setelah 2017 yakni 51% untuk Pertamina termasuk PI daerah Kalimtan Timur dan 49% diberikan ke Total dan Inpex. Pilihan kedua Total 33%, Inpex 33%, dan Pertamina 34%.
"Namun pilihan pertama yang lebih banyak dibicarakan yakni 51% Pertamina termasuk di dalamnya daerah, sisanya 49% kami dengan Inpex," ungkap Arvidya. Antara Total dan Pertamina sebenarnya sudah lama berkerjasama dengan baik di Blok Mahakam.
"Kami berhubungan baik dengan Pertamina, salah satunya terlihat kerjasama produksi gas di Blok Tengah yang masih dalam area Blok Mahakam, yakni di sisi Lapangan Nubi, di mana ada porsi saham 7% di sana, dimana saham 7% itu porsi sahamnya 55% milik Pertamina dan 22% Total dan Inpex, jadi kami sudah lama kenal dengan Pertamina," tandasnya. Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengancer-ancer pada akhir Maret segera diputuskan. #les
====================================================================
Istilah Blok Mahakam hanya dikenal oleh komunitas pertambangan minyak dan gas. Masyarakat di Kalimantan Timur justru baru mengetahui setelah heboh bahwa tahun 2017 nanti perusahaan Perancis Total E&P Indonesie, mengakhiri kontraknya.
Itu berarti, sumur yang ditaksir masih menyimpan deposit migas bernilai sekitar Rp1.700 triliun akan kembali ke Ibu Pertiwi.
Sejarah Blok Mahakam dimulai ketika Japex Indonesia (kini Inpex) pertama kali mendapat hak kelola Blok Mahakam pada Maret 1967. Tiga tahun kemudian, pada 1970, Total E&P Indonesie masuk dan mendapat 50 persen saham berikut operator pengelolaannya.
Kontrak Inpex dan Total yang berdurasi 30 tahun berakhir pada 1997. Menurut data Andang Bachtiar, seorang geologi independen, sebelum perpanjangan kontrak pertama, Total telah membayar USD 15 juta. Perusahaan juga menanam sedikitnya USD 63 juta untuk eksplorasi.
Pada 1991, usaha patungan itu mendapat perpanjangan 20 tahun lagi sampai 2017. Jadi, kontrak yang berakhir 31 Maret 2017 adalah periode kedua dan memungkinkan untuk diperpanjang kembali.
Total E&P Indonesie mengklaim sejak beroperasi pertama kali di Indonesia pada 1974 sampai saat ini telah menyetor Rp 830 triliun kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak dan setoran non pajak.
"Hingga saat ini Total E&P melalui Mahakam PSC atau Blok Mahakam telah berhasil memberikan Rp 830 triliun ke negara," kata President Director & GM Total E&P Indonesie Elisabeth Proust dalam sambutannya di acara Peresmian Lapangan Migas South Mahakam di Senipah, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu. Bahkan pada di 2012 saja, kata Elisabeth, Total E&P telah menyetor ke kas negara Rp 67 trilliun.
Investasi di Blok Mahakam, Total E&P mengklaim telah menggelontorkan Rp 270 triliun untuk pengembangan. Bahkan tahun 2012 saja telah menginvestasikan Rp 25 triliun untuk membangun fasilitas produksi pembangunan platform.
Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara memperkirakan, cadangan yang tersisa di blok Mahakam sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Tapi soal cadangan itu dibantah oleh Total E&P. Lapangan-lapangan yang ada di Blok Mahakam saat ini memang sudah dalam kondisi sangat tua (very mature) serta hampir 75% dari cadangannya telah diproduksi. Blok itu sudah berproduksi sejak 1974 dan produksinya mulai menurun sejak 2011.
Total E&P Indonesie selaku operator lapangan gas di Blok Mahakam mengatakan setelah kontraknya di blok tersebut berakhir di 2017, cadangan gas yang tersisa tinggal 2 triliun kaki kubik (TCF).
Menurut Vice Presiden Human Resources and General Service Total E&P Indonesie Arvidya Noviyanto, cadangan gas di Blok Mahakam tinggal 2 TCF pada 2017 atau pada saat kontrak berakhir, bukan 12 TCF yang sering diklaim orang lain. “Ya terserah mau percaya kami (Total) atau orang lain," kata Arvidya.
Cadangan gas di Blok Mahakam periode 2013 ini masih sekitar 5,8 TCF, sementara total produksi gas saat ini di blok tersebut rata-rata mencapai 1.500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD)."Produksi kita per hari sekitar 1.500-1.600 mmscfd. Artinya setahun produksinya sekitar 1,5-1,6 TCF, artinya pada 2017 cadangan tersisanya hanya sekitar 2 TCF saja," ungkapnya.
"Produsksi Mahakam sudah melewati masa puncaknya pada 2005-2010 dan produksinya terus menurun sejak 2011. Sejak berproduksi 1974 sampai akhir 2011, cadangan Mahakam sudah terproduksikan 75 persen atau sekitar total 15,4 triliun kaki kubik dan 1.386 juta barel minyak dan kondensat," cetusnya.
Ditambahkan Arvidya, Total di tahun ini menginvestasikan dana US$ 2,5 miliar untuk blok tersebut. "Dana US$ 2,5 miliar ini digunakan untuk mengebor 100 sumur, membangun 6 anjungan selama 2012-2013 dan mengadakan 10.000 intervensi sumur," jelas Arvidya.
Untuk ke depannya, pihaknya telah menyiapkan investasi US$ 17,3 miliar. Dana tersebut terdiri dari US$ 12,4 miliar untuk 2012-2017 dan US$ 4,9 miliar setelah 2017. #
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Sejumlah elemen bergerak menyuarakan nasionalisme untuk Blok Mahakam. Rakyat Kalimantan Timur kuatir ada penelikung.
Masyarakat Kalimantan Timur pernah mengalami kekecewaan luar biasa. Ini terjadi saat PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur diwajibkan mendivestasikan sahamnya. Sebagai perusahaan asing yang menggarap batubara terbesar di Indonesia, tentu banyak unsur lokal yang mengincarnya.
Pemprov Kaltim menyusun strategi untuk mendapatkan saham yang divestasi tersebut. Mereka menggandeng sumber – sumber keuangan, termasuk juga para konglomerat di negeri ini. Idealnya, Pemprov Kaltim bisa mendapat saham tersebut sehingga nantinya mendapat keuntungan dari kepemilikan tersebut.
Upaya sudah dilakukan, ternyata pemegang saham menjual kepada BUMI (PT Bumi Resourcess tbk) yang didalamnya ada Aburizal Bakrie. Pemprov gigit jari, sementara Pemkab Kutai Timur mendapat 5 persen saham.
Padahal, peluang untuk menjadi pengelola PT KPC sudah terbuka jika saja Pemprov bisa menguasai 51 persen saham yang didivestasi.
Kekecewaan itu sangat membekas di hati para tokoh masyarakat Kalimantan Timur. Tidak ingin peristiwa serupa terulang kembali, jauh-jauh hari berbagai komponen menyerukan agar semua unsure Kaltim bersatu saat memperjuangkan Blok Mahakam yang habis masa kontraknya dari Total E&P Indonesie. “Jangan terpecah-pecah seperti ketika memperjuangkan saham PT KPC,” seru Muhammad Amir, Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Kaltim.
Muhammad Amir yang juga terlibat dalam upaya perjuangan divestasi saham PT KPC, punya pengalaman tidak nyaman akibat adanya kubu yang terpecah-pecah itu. “Sesama warga Kaltim jadi bentrok. Itu tidak baik,” ujarnya.
Posisi MPW Pemuda Pancasila Kaltim sendiri dalam persoalan Blok Mahakam yang semakin menghangat, masih sebatas mencermati apa yang sedang yang terjadi. Gerakan-gerakan berbagai komponen masyarakat yang mengangkat isu tersebut, tidak luput dari pengamatan. “Sepanjang masih berada di koridor bahwa Blok Mahakam nantinya untuk dinikmati masyarakat Kaltim, kita setuju. Tapi kalau sudah untuk memenangkan kelompok dan meninggalkan masyarakat, kita lawan,” ujarnya.
Amir berpendapat, opsi terbaik adalah pemerintah pusat menyerahkan unsur Kaltim sebagai pemegang saham dan operator sekaligus. “Saya yakin kok, orang Kaltim sudah pandai dan mampu berbisnis migas ini. Asal diberikan kesempatan. Kapan lagi,” ujarnya.
Di tengah masyarakat Kaltim, memang tumbuh berbagai elemen yang spesial memperjuangkan Blok Mahakam. Sebut saja. Aliansi Masyarakat Kaltim untuk Blok Mahakam yang terus bergerak di Kaltim dan Jakarta.
Baru-baru ini mereka menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai salah satu pemrakarsa Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. "Kami masyarakat Kalimantan Timur mengharapkan dukungan dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai salah satu pemrakarsa Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Kalimantan Timur siap memperjuangkan aspirasi tersebut," ujar Wahdiat, Ketua Aliansi Masyarakat Kaltim untuk Blok Mahakam yang juga dosen Universitas Mulawarman itu.
Din Syamsuddin menyambut baik keinginan masyarakat Kalimantan Timur tersebut dan siap membantu memperjuangkannya. Din memandang kehendak masyarakat Kalimantan Timur untuk mengambil alih pengoperasian Blok Mahakam sejalan dengan semangat merebut kedaulatan nasional yang saat ini digelorakan Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. “Saya berkeyakinan penguasaan Blok Mahakam oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur akan menjadi manifestasi penegakan kedaulatan ekonomi. Selain itu akan memastikan kekayaan negara dapat digunakan sebesarnya bagi kesejahteraan rakyat," ujar Din.
Di tingkat nasional, gerakan rebut Blok Mahakam juga berkumandang ketika sekitar 50 aktivis mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi di depan Istana Negara, tahun lalu. Bahkan mereka membawa petisi yang ditandatangani sejumlah tokoh untuk diberikan kepada Presiden Republik Indonesia. Petisi itu berisikan tuntutan pengelolalan Blok Mahakam oleh BUMN.
Menurut Inggar Saputra, humas KAMMI, kontrak kerja sama Blok Mahakam dengan Total E&P akan segera habis pada tahun 2017 mendatang, mereka meminta agar kontrak kerjasama tersebut tidak dilanjutkan. “Seharusnya pengelolaan Blok Mahakam tersebut diserahkan kepada BUMN,” kata Inggar.
Inggar mengungkapkan, sesuai dengan UU MIgas No.22 /2001, jika kotrak kerja migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Apalagi pihak Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupannya mengelola Blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang. ”Kami menginginkan kemandirian dan ketahanan energi nasional tercapai seusai dengan amanat UUD 45,” kata Inggar.
Selain aktivis KAMMI aksi tersebut juga diikuti oleh karyawan Pertamina, Indonesian Resources Studies, dan IRESS. Massa aksi juga berharap ke depan tidak hanya Blok Mahakam yang dinasionalisasi namun juga semua kekayaan hasil bumi Indonesia, seperti Blok Cepu, Freeport, dan sebagainya juga dinasionalisasi.
Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI juga memberi ndukungan sepenuhnya terkait upaya Pemprov Kaltim untuk ambil bagian dalam penguasaan dan pengelolaan Blok Mahakam.
Mereka ingin memfasilitasi pertemuan Pemprov bersama Aliansi Rakyat Kalimantan Timur untuk Blok Mahakam dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPD RI.
"DPD mendukung seribu persen. Minimal dengan sharing (pembagian) 50:50. Itu sudah ideal, sesuai UUD 45 pasal 33. Kalimantan Timur minta 50 persen. Sama dengan UU Migas hasil inisatif DPD RI, jadi dua tahun yang lalu UU Migas itu sudah diubah. DPD RI pasti pro daerah," tegas Ketua Komite II DPD RI, Bambang Susilo. #
=======================================================================
Gaung nasionalisasi yang menggema menjelang berakhirnya kontrak ladang minyak dan gas Blok Mahakam, membuat perusahaan operatornya Total E&P Indonesia (TEPI) terpojok.
Suatu hari di Senipah Kutai Kartanegara, berlangsung upacara kecil peresmian Lapangan Migas South Mahakam yang dioperatori Total E&P Indonesia (TEPI). Seluruh petinggi perusahaan hadir, termasuk juga Presiden Director & General Manager TEPI Elizabeth Proust.
Tidak terduga, acara itu rupanya jadi ajang curhat Elizabeth Proust. Karena kebetulan ada juga sejumlah pejabat negara, termasuk Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Elizabeth dengan gambling mengutarakan keprihatinan pihaknya, karena mengenai Blok Mahakam yang kian mengundang perhatian sudah disusupi kepentingan politik yang tidak menguntungkan industri minyak dan gas di Indonesia.
"Kami prihatin menghadapi debat politik tentang pihak asing versus nasional. Ini perusahaan Indonesia dan multinasional, bukan asing! Saya sedih mendengar kata asing. Tim TEPI kami adalah warga Indonesia dan mengabdi kepada negara," tegasnya.
Curhat itu disampaikan, sekaligus untuk mengingatkan pemerintah karena sampai tahun 2013 belum juga ada kepastian Pemerintah Indonesia mengenai status pengelolaan Blok Mahakam pasca tahun 2017 mendatang. Akibat ketidakpastian itu, sejumlah rencana untuk mengimplementasi proyek baru dan menjalani sumur baru akhirnya menjadi tertahan karena ketidakpastian perpanjangan kontrak TEPI di Blok tersebut.
"Perusahaan ini berjalan dengan baik dan bertekad untuk meneruskan semua kegiatan operasinya, sosial dan societal. Tetapi saat ini kami berada di titik balik," ujar Elizabeth Proust.
Menurut Elizabeth, minyak dan gas adalah usaha bisnis dunia, namun nilai-nilai TEPI selalu sejalan dengan semangat Indonesia, yakni mengedepankan prinsip kejujuran, saling mendukung, rendah hati dan ramah tamah.
Dia mencatat, ada 3.700 warga Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Jumlah itu ditambah dengan 125 pegawai multinasional, 107 pegawai Indonesia yang berada di luar negeri dan 20.000 karyawan yang bekerja setiap hari di instalasi TEPI. @
======================================================================
Asal Menguntungkan Negara
Polemik mengenai blok Mahakam di masyarakat berkembang menjelang berakhirnya masa kontrak perusahaan Migas asal Perancis, Total E&P Indonesie tahun 2017.
Siapa yang bakal menjadi operator Blok Mahakam? Inilah pertanyaan yang mengemuka belakangan ini. Terutama bagi masyarakat Kalimantan Timur yang ingin menjadi ‘pemain’ setelah begitu lama menjadi penonton.
Tapi, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menegaskan bahwa pengelolaan blok Mahakam di Kalimantan Timur akan diserahkan kepada siapapun pihak yang menguntungkan negara.
"Perusahaan manapun, baik milik negara ataupun asing, yang menguntungkan negara akan diberi hak untuk mengelola Blok Mahakam," kata Rudi di Jakarta belum lama ini.
Rudi menolak memberi penegasan apakah perusahaan migas milik negara PT Pertamina (Persero) akan diberi wewenang oleh pemerintah mengelola blok Mahakam. Dia hanya mengatakan, Pertamina harus mampu memberi keuntungan pada negara.
"Jika memang Pertamina mampu menguntungkan negara, maka 80 atau 90 persen pengelolaan blok Mahakam akan diserahkan pada perusahaan itu," kata dia.
Namun di sisi lain, Rudi mengatakan bahwa Pertamina dalam pengelolaan di blok Natuna masih membutuhkan kontraktor-kontraktor lain. Dan kemudian melanjutkan, yang paling penting bagi negara saat ini adalah produksi gas tetap terjaga, bukan siapa yang mengelola blok-blok migas tertentu.
Rudi juga mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati karena iklim investasi di sektor energi dan sumberdaya mineral akan terganggu jika Indonesia memutus kontrak dengan perusahaan asing secara sepihak.
"Pada 2011 lalu, investasi di sektor energi dan sumber daya mineral mencapai 27 milyar dolar AS dan dari setiap tahun selalu meningkat, hal ini harus kita jaga," kata Rudi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Migas No 22 tahun 2001, maka pengelolaan blok Mahakam harus diserahkan pada Pertamina pada 2017 saat kontrak Total E&P Indonesie berakhir.
"Jika kontrak migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN, ini adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan," kata Marwan.
Marwan memperkirakan, cadangan yang tersisa di blok Mahakam sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Senada, pakar perminyakan Indonesia, Dr. Kartubi, menyatakan, pengelolaan Blok Mahakam yang ada di Kabupetan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, harus dikelola 100 persen oleh pemerintah.
"Setelah kontrak habis, sejatinya seluruh aset sudah secara otomatis kembali ke negara karena seluruh sisa cadangan yang masih ada di perut bumi maupun fasilitas atau infrastruktur produksi sudah menjadi milik negara," ungkap Kartubi.
Tidak ada hukum internasional yang dilanggar pemerintah jika mengambilalih pengelolaan Blok Migas setelah masa kontrak berakhir. "Jika diperpanjang atau diberikan ke kontraktor lain, berarti negara harus berbagi keuntungan dengan pihak lain, padahal kekayaan alam Indonesia itu semestinya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat," kata Kartubi.
"Saat ini, Indonesia membutuhkan kepastian adanya suplai gas yang cukup untuk keperluan dalam negeri yang jumlahnya akan terus meningkat untuk program diversifikasi dan konversi bahan bakar minyak ke gas, penurunan biaya produksi/subsidi listrik, peningkatan nilai tambah gas, keperluan industri pupuk. Itulah yang akan terpenuhi jika kita (Indonesia) mengelola sendiri blok migas yang menjadi kekayaan Indonesia," ungkap Kartubi.
Direktur Center For Petroleum and Energy Economics Studie (CPEES) itu menjelaskan, semestinya beberapa tahun sebelum `due date` atau berakhirnya kontrak, negara melalui BUMN (badan usaha milik negara) sudah harus mulai masuk agar operasi prooduksi tidak berhenti saat `due date`.
"Mekanisme ini mustahil dilakukan selama pengelolaan kekayaan migas nasional dilaksanakan oleh lembaga non bisnis seperti BP Migas atau SKSP Migas. Akibatnya, ada celah atau ruang bagi pemburu rente untuk meraup keuntungan sendiri dan kelompoknya dengan merugikan negara," katanya.
"Daerah penghasil melalui BUMD (badan usaha milik daerah) seharusnya diikutkan dalam mengambil alih operasi blok produksi yang sudah selesai kontrak melalui PI dengan skema pembiayaan mandiri berdasarkan regulasi, seperti melalui konsorsium bank yang didukung pemerintah," ungkap Kartubi. @
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Kalla-Dahlan Setuju Pertamina
Mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla (JK) dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyatakan setuju ladang gas Blok Mahakam untuk Pertamina.
Menteri Dahlan Iskan menyatakan, hati kecil saya, harus 100 persen masuk Pertamina ladang gas Blok Mahakam yang akan berakhir kontrak asingnya tahun 2017.
"Tetapi keputusan kontrak tersebut bukan di tangan saya," ujar Menteri Dahlan Iskan menjawab pertanyaan dari peserta Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-64 Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar,beberapa waktu lalu. Dahlan Iskan dan JK menjadi pembicara pada seminar nasional tersebut pada waktu yang berbeda.
JK yang lebih dahulu menjadi pembicara menyatakan, setuju Pertamina ambil alih Blok Mahakam dan kontrak tidak perlu diperpanjang, sebab tenaga ahli kita dalam perusahaan asing itu banyak, tenaga ahli asing jumlahnya sedikit, sehingga Pertamina pasti bisa mengelolanya dengan baik.
"Tidak sulit mengelola Blok Mahakam, sebab tinggal dilanjutkan dan bukan investasi awal," ujarnya serta melanjutkan bahwa zaman saya (JK) Wapres semua kontrak daluarsa tidak dilanjutkan, sehingga saat kontrak asing Blok Mahakam berakhir diharapkan tidak diperpanjang lagi, melainkan dialihkan ke Pertamina. @
Nah, itu bisa menjadi kenyataan jika saja kebijakan pemerintah pusat memberikan peluang bagi kekuatan lokal mengelola sumur minyak yang terletak di sebelah laut Kutai Kartanegara bernama Blok Mahakam.
Ladang minyak itu saat ini masih dioperasikan oleh perusahaan Perancis Total E&P Indonesie. Tapi nanti 31 Maret 2017 kontrak dengan pemerintah Indonesia sudah berakhir. Menurut pakar perminyakan Indonesia, Dr. Kartubi, setelah kontrak habis, sejatinya seluruh aset sudah secara otomatis kembali ke negara. Seluruh sisa cadangan yang masih ada di perut bumi maupun fasilitas atau infrastruktur produksi sudah menjadi milik negara.
Ibaratnya, pemerintah tinggal mencari operator baru yang menjalankan mesin-mesin untuk mengebor minyak dan gas yang ditinggalkan. Tidak perlu lagi investasi peralatan infrastruktur ‘super mahal’ dan hanya perlu konsentrasi pada pembiayaan operasional. Menurut catatan mengenai cadangan Migas yang tersisa di Blok Mahakam ada sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Dengan status baru di Blok Mahakam pada tahun 2017, tidak heran kalau banyak pihak yang tergiur. Di daerah Kaltim sendiri, sudah muncul beberapa kelompok yang berusaha mengklaim untuk ambil bagian. Selain Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Kartanegara yang nampak ‘ngebet’, juga muncul berbagai komponen masyarakat seperti pemuda di bawah naungan KNPI dan LSM.
Di Jakarta, tidak kalah sengit. Sejumlah mahasiswa dan aktivis juga sudah menyampaikan gagasan agar Blok Mahakam tidak jatuh ke tangan asing lagi. Cukup sudah masa dua kali perpanjangan kontrak selama 50 tahun yang diberikan pemerintah Indonesia kepada perusahaan asing seperti Total E&P Indonesie. Saatnya ‘pribumi’ mengelola minyaknya sendiri.
Tarik menarik mulai terjadi. Pihak Total E&P Indonesie terang-terangan menyatakan ingin mendapat kontrak itu kembali. Mereka masih meluncurkan investasi untuk menjaga agar produksi Migas nasional tidak sampai menyusut.
Siapa yang sanggup menangkap tongkat estafet bisnis yang padat modal tersebut?
Para pakar minyak Indonesia dan juga banyak kalangan perguruan tinggi percaya Pertamina sanggup menjadi operator. Bukan hal baru memang bagi Pertamina, karena BUMN itu memiliki kemampuan finansial maupun SDM serta manajerial di bidang Migas.
Tapi, bagaimana nasib komponen rakyat Kalimantan Timur yang melihat ada peluang agar daerah juga berperan menjadi operator?
Kekuatan lokal Kaltim seperti BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang disokong oleh Pemerintah Provinsi Kaltim maupun Pemkab Kutai Kartanegara jelas sangat diragukan. Karena selain tidak punya kemampuan finansial, juga tidak punya pengalaman sendiri jika diberikan kepercayaan menjadi operator.
“Kita bisa,” kata Bernaulus Saragih, salah satu cendikia Unmul yang juga pemerhati masalah Blok Mahakam. Warga dari etnis Dayak juga bersenandung Indonesia Tanah Air Beta. #
==================================================================
Kaltim di Tengah Raksasa
Blok Mahakam memerlukan investasi sekitar Rp280 trilun. Keinginan rakyat Kaltim terlibat di bisnis minyak dan gas baru sebatas diskusi dengan kemungkinan sebagai participant interested.
Pada sebuah acara di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, selepas Natal 2012 lalu, Jero Wacik, Menteri ESDM terlihat geram. Rupanya, ia tidak tahan dengan tudingan beberapa pihak yang muncul di media-media sosial, tentang adanya dugaan suap atas investasi yang akan ditanamkan perusahaan migas Inggris yakni British Petroleum (BP) untuk ladang gas di Papua senilai US$ 12 miliar (Rp 108 triliun).
Isu yang ingin dibantah Jero Wacik, tidak benar kalau investasi itu adalah hasil tukar guling dengan gelar ksatria Knight Grand Cross in the Order of Bath yang diberikan Kerajaan Inggris untuk Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) beberapa waktu sebelumnya.
"Ada saja yang menuding investasi US$ 12 miliar BP itu tukar guling dengan gelar bintang kesatria (untuk Presiden SBY), itu orang yang plintir, itu tidak tahu diri," kata Jero.
Penghargaan yang dterima SBY, pernah juga diberikan kepada beberapa pemimpin dunia yaitu, Mantan Presiden Amerika Ronald Reagan, Mantan Presiden Prancis Jacques Chirac dan Mantan Presiden Turki Abdullah Gul.
"Nggak ada hubungannya antara investasi BP Tangguh dengan gelas Presiden. Investasi dan kontrak BP itu urusan saya, urusan Menteri ESDM, ini biar jelas, agar tidak ada dusta di antara kita," ujarnya pada acara Penandatangan 5 Kontrak Jual Beli Minyak dan Gas Bumi itu.
Di mata publik Indonesia, selama ini sudah tertanam bahwa bisnis minyak dan gas adalah sumber korupsi terbesar yang sulit terungkap. Kehadiran perusahaan multinasional mengeksploitasi sumur-sumur minyak di darat maupun lautan, diyakini sudah bermasalah sejak terjadi pemberian kontraknya puluhan tahun silam. Para pemegang otoritas pertambangan sebelum SBY diyakini memiliki kepentingan sendiri-sendiri dari kontrak minyak yang mereka berikan.
Tidak mengherankan kalau kecurigaan selalu muncul di balik hubungan pemerintahan SBY dengan negara-negara yang perusahaannya bergerak berinvestasi Migas di daerah ini. Contohnya Inggris dan Perancis yang cukup menonjol menggarap minyak dan gas di Indonesia.
Dilandasi kecurigaan itu pula rakyat Kaltim mulai gelisah ketika masa kontrak perusahaan multinasional Total E&P Indonesie segera berakhir 31 Maret 2017 nanti. Seperti syarat undang-undang, minimal lima tahun sebelum berakhirnya kontrak sudah harus dilakukan pengajuan permohonan baru apakah ingin mengelola lagi atau berhenti sampai di masa kontrak itu.
Sebab, keputusan ada di tangan pemerintah pusat. Apakah akan memberikan kontrak baru kepada Total E&P Indonesie atau kepada perusahaan lain.
Buat Kaltim, tekad sudah bulat. Siapapun nanti menjadi operator baru, Kaltim harus mendapat peran yang lebih besar dari sekarang. Bahkan sasaran Kaltim berikutnya adalah pemilikan saham. "Aliansi masyarakarat Kaltim minta kontrak Total tidak diperpanjang lagi, Pertamina dan daerah sudah mampu mengelola sendiri Blok Mahakam, karena sudah berpengalaman," ujar Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, belum lama ini.
Pemprov Kaltim sudah menyusun skenario sejak setahun lalu. Dengan membentuk BUMD yang siap ikut berperan dalam bisnis minyak dan gas yang ditinggalkan Total. Skenario Awang malah telah cocok dengan rencana Pemkab Kutai Kartanegara yang juga mengincar pengelolaannya. Pemprov Kaltim membentuk Perusda dengan nama PT Cakra Pratama Energi, sementara Pemkab Kukar membentuk Perusda PT Tiling Madang Petroleum.
"Jadi nanti 50% diberikan Pertamina, 50% diberikan kepada BUMD Kaltim," janji Awang.
Skenario Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, boleh jadi masih sangat sumir. Sebab, muncul pertanyaan, dari mana sumber keuangan BUMD bentuk pemerintahan Provinsi Kaltim maupun Pemkab Kukar. Apa mungkin mereka bisa menginvestasikan sampai ratusan triliun rupiah?
President Director & GM Total E&P Indonesie, Elisabeth Proust, berterus terang tentang investasi perusahaan yang dipimpinnya di Indonesia. Untuk Blok Mahakam saja, perusahaan itu sudah menginvestasikan sebesar Rp280 triliun.
Karena investasi yang demikian besar di Blok Mahakam, tidak heran kalau perusahaan itu berniat mempertahankannya. Surat permohonan perpanjangan kontrak sudah diajukan, namun sampai akhir Desember 2012 ternyata belum ada jawaban dari pemerintah pusat.
Padahal, kepastian tentang kontrak itu sangat diperlukan dalam perencanaan bisnis berikutnya. Seperti diutarakan Head Department Media Relations Total E&P Indonesie Kristanto Hartadi, pihaknya menunggu kepastian kontrak.
"Investasi 2014? kita masih nunggu kepastian dulu, kepastian perpanjangan kontrak, habis itu baru kita tahu rencana pengembangan 2014," kata Kristanto kepada wartawan.
Diakui ada perundingan bussines to bussines antara Total, PT Pertamina dan Pemerintah Indonesia. Perundingan untuk membahas berbagai hal.
"Banyak yang bilang kami rebutan Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak kami pada 2017 dengan masuknya Pertamina di Blok tersebut, kami katakan itu salah, kami tidak rebutan," ucap Vice President Human Resources and General Service Total E&P Indonesie Arvidya Noviyanto di Balikpapan, belum lama ini.
"Semua tergantung pemerintah, pemerintah yang menentukan apakah setelah berakhir kontrak kami tetap beroperasi lagi di Blok Mahakam apa tidak," ucapnya.
Berdasarkan instruksi dari pemerintah, kata Arvidya, Total dan INPEX serta Pertamina diminta berunding. Termasuk juga dengan daerah soal persentase penguasaan Blok Mahakam.
"Yang ada saat ini pemerintah memerintahkan kami (Total), Inpex dan Pertamina serta daerah berapa masing-masing partisipant interest (PI) di blok tersebut, diskusinya masih di situ saja," ujarnya.
Ada dua opsi, pilihan pertama porsi saham di Blok Mahakam setelah 2017 yakni 51% untuk Pertamina termasuk PI daerah Kalimtan Timur dan 49% diberikan ke Total dan Inpex. Pilihan kedua Total 33%, Inpex 33%, dan Pertamina 34%.
"Namun pilihan pertama yang lebih banyak dibicarakan yakni 51% Pertamina termasuk di dalamnya daerah, sisanya 49% kami dengan Inpex," ungkap Arvidya. Antara Total dan Pertamina sebenarnya sudah lama berkerjasama dengan baik di Blok Mahakam.
"Kami berhubungan baik dengan Pertamina, salah satunya terlihat kerjasama produksi gas di Blok Tengah yang masih dalam area Blok Mahakam, yakni di sisi Lapangan Nubi, di mana ada porsi saham 7% di sana, dimana saham 7% itu porsi sahamnya 55% milik Pertamina dan 22% Total dan Inpex, jadi kami sudah lama kenal dengan Pertamina," tandasnya. Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengancer-ancer pada akhir Maret segera diputuskan. #les
====================================================================
50 Tahun Blok Mahakam
Istilah Blok Mahakam hanya dikenal oleh komunitas pertambangan minyak dan gas. Masyarakat di Kalimantan Timur justru baru mengetahui setelah heboh bahwa tahun 2017 nanti perusahaan Perancis Total E&P Indonesie, mengakhiri kontraknya.
Itu berarti, sumur yang ditaksir masih menyimpan deposit migas bernilai sekitar Rp1.700 triliun akan kembali ke Ibu Pertiwi.
Sejarah Blok Mahakam dimulai ketika Japex Indonesia (kini Inpex) pertama kali mendapat hak kelola Blok Mahakam pada Maret 1967. Tiga tahun kemudian, pada 1970, Total E&P Indonesie masuk dan mendapat 50 persen saham berikut operator pengelolaannya.
Kontrak Inpex dan Total yang berdurasi 30 tahun berakhir pada 1997. Menurut data Andang Bachtiar, seorang geologi independen, sebelum perpanjangan kontrak pertama, Total telah membayar USD 15 juta. Perusahaan juga menanam sedikitnya USD 63 juta untuk eksplorasi.
Pada 1991, usaha patungan itu mendapat perpanjangan 20 tahun lagi sampai 2017. Jadi, kontrak yang berakhir 31 Maret 2017 adalah periode kedua dan memungkinkan untuk diperpanjang kembali.
Total E&P Indonesie mengklaim sejak beroperasi pertama kali di Indonesia pada 1974 sampai saat ini telah menyetor Rp 830 triliun kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk pajak dan setoran non pajak.
"Hingga saat ini Total E&P melalui Mahakam PSC atau Blok Mahakam telah berhasil memberikan Rp 830 triliun ke negara," kata President Director & GM Total E&P Indonesie Elisabeth Proust dalam sambutannya di acara Peresmian Lapangan Migas South Mahakam di Senipah, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu. Bahkan pada di 2012 saja, kata Elisabeth, Total E&P telah menyetor ke kas negara Rp 67 trilliun.
Investasi di Blok Mahakam, Total E&P mengklaim telah menggelontorkan Rp 270 triliun untuk pengembangan. Bahkan tahun 2012 saja telah menginvestasikan Rp 25 triliun untuk membangun fasilitas produksi pembangunan platform.
Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara memperkirakan, cadangan yang tersisa di blok Mahakam sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Tapi soal cadangan itu dibantah oleh Total E&P. Lapangan-lapangan yang ada di Blok Mahakam saat ini memang sudah dalam kondisi sangat tua (very mature) serta hampir 75% dari cadangannya telah diproduksi. Blok itu sudah berproduksi sejak 1974 dan produksinya mulai menurun sejak 2011.
Total E&P Indonesie selaku operator lapangan gas di Blok Mahakam mengatakan setelah kontraknya di blok tersebut berakhir di 2017, cadangan gas yang tersisa tinggal 2 triliun kaki kubik (TCF).
Menurut Vice Presiden Human Resources and General Service Total E&P Indonesie Arvidya Noviyanto, cadangan gas di Blok Mahakam tinggal 2 TCF pada 2017 atau pada saat kontrak berakhir, bukan 12 TCF yang sering diklaim orang lain. “Ya terserah mau percaya kami (Total) atau orang lain," kata Arvidya.
Cadangan gas di Blok Mahakam periode 2013 ini masih sekitar 5,8 TCF, sementara total produksi gas saat ini di blok tersebut rata-rata mencapai 1.500 juta kaki kubik per hari (MMSCFD)."Produksi kita per hari sekitar 1.500-1.600 mmscfd. Artinya setahun produksinya sekitar 1,5-1,6 TCF, artinya pada 2017 cadangan tersisanya hanya sekitar 2 TCF saja," ungkapnya.
"Produsksi Mahakam sudah melewati masa puncaknya pada 2005-2010 dan produksinya terus menurun sejak 2011. Sejak berproduksi 1974 sampai akhir 2011, cadangan Mahakam sudah terproduksikan 75 persen atau sekitar total 15,4 triliun kaki kubik dan 1.386 juta barel minyak dan kondensat," cetusnya.
Ditambahkan Arvidya, Total di tahun ini menginvestasikan dana US$ 2,5 miliar untuk blok tersebut. "Dana US$ 2,5 miliar ini digunakan untuk mengebor 100 sumur, membangun 6 anjungan selama 2012-2013 dan mengadakan 10.000 intervensi sumur," jelas Arvidya.
Untuk ke depannya, pihaknya telah menyiapkan investasi US$ 17,3 miliar. Dana tersebut terdiri dari US$ 12,4 miliar untuk 2012-2017 dan US$ 4,9 miliar setelah 2017. #
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Kaltim Bergerak
Sejumlah elemen bergerak menyuarakan nasionalisme untuk Blok Mahakam. Rakyat Kalimantan Timur kuatir ada penelikung.
Masyarakat Kalimantan Timur pernah mengalami kekecewaan luar biasa. Ini terjadi saat PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur diwajibkan mendivestasikan sahamnya. Sebagai perusahaan asing yang menggarap batubara terbesar di Indonesia, tentu banyak unsur lokal yang mengincarnya.
Pemprov Kaltim menyusun strategi untuk mendapatkan saham yang divestasi tersebut. Mereka menggandeng sumber – sumber keuangan, termasuk juga para konglomerat di negeri ini. Idealnya, Pemprov Kaltim bisa mendapat saham tersebut sehingga nantinya mendapat keuntungan dari kepemilikan tersebut.
Upaya sudah dilakukan, ternyata pemegang saham menjual kepada BUMI (PT Bumi Resourcess tbk) yang didalamnya ada Aburizal Bakrie. Pemprov gigit jari, sementara Pemkab Kutai Timur mendapat 5 persen saham.
Padahal, peluang untuk menjadi pengelola PT KPC sudah terbuka jika saja Pemprov bisa menguasai 51 persen saham yang didivestasi.
Kekecewaan itu sangat membekas di hati para tokoh masyarakat Kalimantan Timur. Tidak ingin peristiwa serupa terulang kembali, jauh-jauh hari berbagai komponen menyerukan agar semua unsure Kaltim bersatu saat memperjuangkan Blok Mahakam yang habis masa kontraknya dari Total E&P Indonesie. “Jangan terpecah-pecah seperti ketika memperjuangkan saham PT KPC,” seru Muhammad Amir, Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Kaltim.
Muhammad Amir yang juga terlibat dalam upaya perjuangan divestasi saham PT KPC, punya pengalaman tidak nyaman akibat adanya kubu yang terpecah-pecah itu. “Sesama warga Kaltim jadi bentrok. Itu tidak baik,” ujarnya.
Posisi MPW Pemuda Pancasila Kaltim sendiri dalam persoalan Blok Mahakam yang semakin menghangat, masih sebatas mencermati apa yang sedang yang terjadi. Gerakan-gerakan berbagai komponen masyarakat yang mengangkat isu tersebut, tidak luput dari pengamatan. “Sepanjang masih berada di koridor bahwa Blok Mahakam nantinya untuk dinikmati masyarakat Kaltim, kita setuju. Tapi kalau sudah untuk memenangkan kelompok dan meninggalkan masyarakat, kita lawan,” ujarnya.
Amir berpendapat, opsi terbaik adalah pemerintah pusat menyerahkan unsur Kaltim sebagai pemegang saham dan operator sekaligus. “Saya yakin kok, orang Kaltim sudah pandai dan mampu berbisnis migas ini. Asal diberikan kesempatan. Kapan lagi,” ujarnya.
Di tengah masyarakat Kaltim, memang tumbuh berbagai elemen yang spesial memperjuangkan Blok Mahakam. Sebut saja. Aliansi Masyarakat Kaltim untuk Blok Mahakam yang terus bergerak di Kaltim dan Jakarta.
Baru-baru ini mereka menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai salah satu pemrakarsa Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. "Kami masyarakat Kalimantan Timur mengharapkan dukungan dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai salah satu pemrakarsa Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Kalimantan Timur siap memperjuangkan aspirasi tersebut," ujar Wahdiat, Ketua Aliansi Masyarakat Kaltim untuk Blok Mahakam yang juga dosen Universitas Mulawarman itu.
Din Syamsuddin menyambut baik keinginan masyarakat Kalimantan Timur tersebut dan siap membantu memperjuangkannya. Din memandang kehendak masyarakat Kalimantan Timur untuk mengambil alih pengoperasian Blok Mahakam sejalan dengan semangat merebut kedaulatan nasional yang saat ini digelorakan Gerakan Menegakkan Kedaulatan Nasional. “Saya berkeyakinan penguasaan Blok Mahakam oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur akan menjadi manifestasi penegakan kedaulatan ekonomi. Selain itu akan memastikan kekayaan negara dapat digunakan sebesarnya bagi kesejahteraan rakyat," ujar Din.
Di tingkat nasional, gerakan rebut Blok Mahakam juga berkumandang ketika sekitar 50 aktivis mahasiswa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi di depan Istana Negara, tahun lalu. Bahkan mereka membawa petisi yang ditandatangani sejumlah tokoh untuk diberikan kepada Presiden Republik Indonesia. Petisi itu berisikan tuntutan pengelolalan Blok Mahakam oleh BUMN.
Menurut Inggar Saputra, humas KAMMI, kontrak kerja sama Blok Mahakam dengan Total E&P akan segera habis pada tahun 2017 mendatang, mereka meminta agar kontrak kerjasama tersebut tidak dilanjutkan. “Seharusnya pengelolaan Blok Mahakam tersebut diserahkan kepada BUMN,” kata Inggar.
Inggar mengungkapkan, sesuai dengan UU MIgas No.22 /2001, jika kotrak kerja migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Apalagi pihak Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupannya mengelola Blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang. ”Kami menginginkan kemandirian dan ketahanan energi nasional tercapai seusai dengan amanat UUD 45,” kata Inggar.
Selain aktivis KAMMI aksi tersebut juga diikuti oleh karyawan Pertamina, Indonesian Resources Studies, dan IRESS. Massa aksi juga berharap ke depan tidak hanya Blok Mahakam yang dinasionalisasi namun juga semua kekayaan hasil bumi Indonesia, seperti Blok Cepu, Freeport, dan sebagainya juga dinasionalisasi.
Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI juga memberi ndukungan sepenuhnya terkait upaya Pemprov Kaltim untuk ambil bagian dalam penguasaan dan pengelolaan Blok Mahakam.
Mereka ingin memfasilitasi pertemuan Pemprov bersama Aliansi Rakyat Kalimantan Timur untuk Blok Mahakam dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPD RI.
"DPD mendukung seribu persen. Minimal dengan sharing (pembagian) 50:50. Itu sudah ideal, sesuai UUD 45 pasal 33. Kalimantan Timur minta 50 persen. Sama dengan UU Migas hasil inisatif DPD RI, jadi dua tahun yang lalu UU Migas itu sudah diubah. DPD RI pasti pro daerah," tegas Ketua Komite II DPD RI, Bambang Susilo. #
=======================================================================
Menunggu Ketegasan Pusat
Gaung nasionalisasi yang menggema menjelang berakhirnya kontrak ladang minyak dan gas Blok Mahakam, membuat perusahaan operatornya Total E&P Indonesia (TEPI) terpojok.
Suatu hari di Senipah Kutai Kartanegara, berlangsung upacara kecil peresmian Lapangan Migas South Mahakam yang dioperatori Total E&P Indonesia (TEPI). Seluruh petinggi perusahaan hadir, termasuk juga Presiden Director & General Manager TEPI Elizabeth Proust.
Tidak terduga, acara itu rupanya jadi ajang curhat Elizabeth Proust. Karena kebetulan ada juga sejumlah pejabat negara, termasuk Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Elizabeth dengan gambling mengutarakan keprihatinan pihaknya, karena mengenai Blok Mahakam yang kian mengundang perhatian sudah disusupi kepentingan politik yang tidak menguntungkan industri minyak dan gas di Indonesia.
"Kami prihatin menghadapi debat politik tentang pihak asing versus nasional. Ini perusahaan Indonesia dan multinasional, bukan asing! Saya sedih mendengar kata asing. Tim TEPI kami adalah warga Indonesia dan mengabdi kepada negara," tegasnya.
Curhat itu disampaikan, sekaligus untuk mengingatkan pemerintah karena sampai tahun 2013 belum juga ada kepastian Pemerintah Indonesia mengenai status pengelolaan Blok Mahakam pasca tahun 2017 mendatang. Akibat ketidakpastian itu, sejumlah rencana untuk mengimplementasi proyek baru dan menjalani sumur baru akhirnya menjadi tertahan karena ketidakpastian perpanjangan kontrak TEPI di Blok tersebut.
"Perusahaan ini berjalan dengan baik dan bertekad untuk meneruskan semua kegiatan operasinya, sosial dan societal. Tetapi saat ini kami berada di titik balik," ujar Elizabeth Proust.
Menurut Elizabeth, minyak dan gas adalah usaha bisnis dunia, namun nilai-nilai TEPI selalu sejalan dengan semangat Indonesia, yakni mengedepankan prinsip kejujuran, saling mendukung, rendah hati dan ramah tamah.
Dia mencatat, ada 3.700 warga Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Jumlah itu ditambah dengan 125 pegawai multinasional, 107 pegawai Indonesia yang berada di luar negeri dan 20.000 karyawan yang bekerja setiap hari di instalasi TEPI. @
======================================================================
Asal Menguntungkan Negara
Polemik mengenai blok Mahakam di masyarakat berkembang menjelang berakhirnya masa kontrak perusahaan Migas asal Perancis, Total E&P Indonesie tahun 2017.
Siapa yang bakal menjadi operator Blok Mahakam? Inilah pertanyaan yang mengemuka belakangan ini. Terutama bagi masyarakat Kalimantan Timur yang ingin menjadi ‘pemain’ setelah begitu lama menjadi penonton.
Tapi, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menegaskan bahwa pengelolaan blok Mahakam di Kalimantan Timur akan diserahkan kepada siapapun pihak yang menguntungkan negara.
"Perusahaan manapun, baik milik negara ataupun asing, yang menguntungkan negara akan diberi hak untuk mengelola Blok Mahakam," kata Rudi di Jakarta belum lama ini.
Rudi menolak memberi penegasan apakah perusahaan migas milik negara PT Pertamina (Persero) akan diberi wewenang oleh pemerintah mengelola blok Mahakam. Dia hanya mengatakan, Pertamina harus mampu memberi keuntungan pada negara.
"Jika memang Pertamina mampu menguntungkan negara, maka 80 atau 90 persen pengelolaan blok Mahakam akan diserahkan pada perusahaan itu," kata dia.
Namun di sisi lain, Rudi mengatakan bahwa Pertamina dalam pengelolaan di blok Natuna masih membutuhkan kontraktor-kontraktor lain. Dan kemudian melanjutkan, yang paling penting bagi negara saat ini adalah produksi gas tetap terjaga, bukan siapa yang mengelola blok-blok migas tertentu.
Rudi juga mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati karena iklim investasi di sektor energi dan sumberdaya mineral akan terganggu jika Indonesia memutus kontrak dengan perusahaan asing secara sepihak.
"Pada 2011 lalu, investasi di sektor energi dan sumber daya mineral mencapai 27 milyar dolar AS dan dari setiap tahun selalu meningkat, hal ini harus kita jaga," kata Rudi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Migas No 22 tahun 2001, maka pengelolaan blok Mahakam harus diserahkan pada Pertamina pada 2017 saat kontrak Total E&P Indonesie berakhir.
"Jika kontrak migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN, ini adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan," kata Marwan.
Marwan memperkirakan, cadangan yang tersisa di blok Mahakam sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.700 triliun.
Senada, pakar perminyakan Indonesia, Dr. Kartubi, menyatakan, pengelolaan Blok Mahakam yang ada di Kabupetan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, harus dikelola 100 persen oleh pemerintah.
"Setelah kontrak habis, sejatinya seluruh aset sudah secara otomatis kembali ke negara karena seluruh sisa cadangan yang masih ada di perut bumi maupun fasilitas atau infrastruktur produksi sudah menjadi milik negara," ungkap Kartubi.
Tidak ada hukum internasional yang dilanggar pemerintah jika mengambilalih pengelolaan Blok Migas setelah masa kontrak berakhir. "Jika diperpanjang atau diberikan ke kontraktor lain, berarti negara harus berbagi keuntungan dengan pihak lain, padahal kekayaan alam Indonesia itu semestinya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat," kata Kartubi.
"Saat ini, Indonesia membutuhkan kepastian adanya suplai gas yang cukup untuk keperluan dalam negeri yang jumlahnya akan terus meningkat untuk program diversifikasi dan konversi bahan bakar minyak ke gas, penurunan biaya produksi/subsidi listrik, peningkatan nilai tambah gas, keperluan industri pupuk. Itulah yang akan terpenuhi jika kita (Indonesia) mengelola sendiri blok migas yang menjadi kekayaan Indonesia," ungkap Kartubi.
Direktur Center For Petroleum and Energy Economics Studie (CPEES) itu menjelaskan, semestinya beberapa tahun sebelum `due date` atau berakhirnya kontrak, negara melalui BUMN (badan usaha milik negara) sudah harus mulai masuk agar operasi prooduksi tidak berhenti saat `due date`.
"Mekanisme ini mustahil dilakukan selama pengelolaan kekayaan migas nasional dilaksanakan oleh lembaga non bisnis seperti BP Migas atau SKSP Migas. Akibatnya, ada celah atau ruang bagi pemburu rente untuk meraup keuntungan sendiri dan kelompoknya dengan merugikan negara," katanya.
"Daerah penghasil melalui BUMD (badan usaha milik daerah) seharusnya diikutkan dalam mengambil alih operasi blok produksi yang sudah selesai kontrak melalui PI dengan skema pembiayaan mandiri berdasarkan regulasi, seperti melalui konsorsium bank yang didukung pemerintah," ungkap Kartubi. @
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Kalla-Dahlan Setuju Pertamina
Mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla (JK) dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menyatakan setuju ladang gas Blok Mahakam untuk Pertamina.
Menteri Dahlan Iskan menyatakan, hati kecil saya, harus 100 persen masuk Pertamina ladang gas Blok Mahakam yang akan berakhir kontrak asingnya tahun 2017.
"Tetapi keputusan kontrak tersebut bukan di tangan saya," ujar Menteri Dahlan Iskan menjawab pertanyaan dari peserta Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-64 Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar,beberapa waktu lalu. Dahlan Iskan dan JK menjadi pembicara pada seminar nasional tersebut pada waktu yang berbeda.
JK yang lebih dahulu menjadi pembicara menyatakan, setuju Pertamina ambil alih Blok Mahakam dan kontrak tidak perlu diperpanjang, sebab tenaga ahli kita dalam perusahaan asing itu banyak, tenaga ahli asing jumlahnya sedikit, sehingga Pertamina pasti bisa mengelolanya dengan baik.
"Tidak sulit mengelola Blok Mahakam, sebab tinggal dilanjutkan dan bukan investasi awal," ujarnya serta melanjutkan bahwa zaman saya (JK) Wapres semua kontrak daluarsa tidak dilanjutkan, sehingga saat kontrak asing Blok Mahakam berakhir diharapkan tidak diperpanjang lagi, melainkan dialihkan ke Pertamina. @
Langganan:
Postingan (Atom)