Eksploitasi
tambang batubara mengancam keselamatan sekitar 700 ribu jiwa penduduk
Samarinda. Sejumlah warga bersama aktivis mendorong dilakukan gugatan kepada wali
kota.
Tidak
ada jalan lain, ketika kritik sudah tidak lagi didengar. Demonstrasi hanya
dianggap angin, suara protes di media-media cuma jadi bahan obrolan, maka
saatnya warga negara, khususnya warga Kota Samarinda melakukan gugatan hukum ke
pengadilan.
Pekan
tadi, wacana melancarkan gugatan itu bergulir di publik. Wali kota Syaharie
Jaang sempat terhenyak. Bisakah soal kebijakan pertambangan yang izinnya dari
pemerintah digugat? “Ini era kebebasan, silakan saja,” jawab Syaharie yang baru
sekitar 9 bulan menjabat ini.
Izin
usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah, bisa jadi memang bermasalah. Karena
dikeluarkan secara sembrono, tanpa didukung oleh dokumen pendahuluan laik
tidaknya menambang di tengah pemukiman penduduk. Izin juga diduga bertentangan
dengan ‘kitab’ Renstra (Rencana
Strategis) yang berisi visi dan misi Kota Samarinda sebagai kota jasa dan
perdagangan. Bukan kota eksploitasi pertambangan.
Tapi
pemerintah nekat, bahkan ‘tebal kuping’. Sebelum ‘mengamandemen’ Renstra tahun 2000-2005 yang telah disetujui
oleh DPRD, izin-izin pertambangan batubara mengalir sejak tahun 2001 silam.
Menurut catatan dari Distamben Samarinda, di kota yang
luasnya 71 ribu hektar itu ada 63 perusahaan tambang yang mengantongi IUP.
Ditambah 5 izin yang diterbitkan pemerintah pusat, maka total 43 ribu hektar
atau 60 persen luas kota itu dikepung pertambangan.
Umumnya, pertambangan skala kecil. Tapi
justru dianggap kecil-kecilan itu ancaman keselamatan warga jadi kian besar.
Bayangkan, cara perusahaan kecil itu menambang. Mereka menggunakan peralatan
semi mekanik seadanya. Main gali dan begitu ditemukan batubara langsung
dikumpulkan. Sebagian perusahaan lagi memasukkan batubara ke dalam karung.
Setelah habis batubara di lokasi itu, pindah lagi. Lubang galian lama dibiarkan
menganga.
Akibatnya, pemandangan kerusakan lingkungan
mencolok di depan mata. Kawasan eks tambang yang berantakan. Bekas galian jadi
danau, lokasi tambang juga tidak dipagar. Masyarakat umum bisa seenaknya
memasuki areal tambang. Sudah ada beberapa kali terjadi kolam eks tambang
memakan korban jiwa.
Baru-baru ini, tiga bocah SD, Ruh
Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, tenggelam di
kolam milik PT Himko Coal di Jalan Pelita Sambutan,
Samarinda. Setahun sebelumnya, bocah 13 tahun bernama Nabila terpesorok di
kolam batubara PT Bintang Mahakam Energi yang berada dekat
rumahnya di Jalan
Kemakmuran I Samarinda.
Belum
lagi pengendara motor dan mobil yang jadi korban. Karena jalan umum dipakai
penambang mengangkut hasil galiannya, jalan jadi tambah rusak. Hampir tiap hari
ada saja pengendara motor terperosok karena banyak lubang di jalan raya. Sedang
pemilik mobil mengeluh karena onderdil mobil lebih cepat rusak karena kondisi
jalan yang tidak laik.
Di
runut jauh ke belakang, dampak paling mengerikan adalah kerusakan lingkungan.
Di tengah upaya penanggulangan banjir di Samarinda, justru ada pembukaan lahan
baru, pemotongan bukit, yang menambah kontribusi banjir jadi luar biasa. Warga
Samarinda seperti berhadapan dengan horor, satu jam saja turun hujan,
bersiaplah didatangi ‘hantu banyu’ alias banjir.
Berapa
kerugian warga akibat izin tambang batubara yang dikeluarkan pemerintah? Korban
nyawa pasti tidak bisa dinilai dengan uang, sedangkan kerugian ekonomi akibat
kerusakan lingkungan, masih dicoba hitung oleh ahlinya. “Kami masih mencari
pengacara yang bersedia melakukan gugatan. Prinsipnya yang gratis,” kata Kahar
Al-Bahri, dari Jatam (Jaringan Tambang). #
==
Yuk! Gugat Wali Kota
Pemerintah
Kota Samarinda masih juga “tebal kuping” dengan kemarahan warga akibat
menggilanya operasi eksploitasi pertambangan.
Ch
Siahaan, M Idris
Tanah
kuburan tiga bocah SD (Sekolah Dasar), Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul
Zanah, yang tewas di kolam eks tambang PT Himko Coal, Kelurahan Sambutan
Samarinda Ilir, belum lagi kering benar. Publik pun belum melupakan peristiwa
tragis di bulan Juli 2011 silam.
Tapi,
apakah ada pemerintah tergerak mengubah kebijakan tambangnya? Jangankan untuk
mencabut izin pertambangan, menginstruksikan perusahaan menutup areal konsesi
saja tidak dilakukan?
Sampai
Agustus 2011, kawasan konsesi pertambangan umumnya masih terbuka. Di depan
Komplek Perumahan Bengkuring Sempaja Samarinda Utara misalnya, kawasan yang
terlihat hancur dan berlobang-lobang dipenuhi air, hanya dipasangi police line, berwarna kuning hitam.
Entah apa maksud si pengelola tambang dengan memasang tanda dari kepolisian
yang biasanya untuk mengisolasi TKP (tempat kejadian perkara) itu.
Kawasan
‘Sempaja’ termasuk menjadi kawasan terparah pertambangan batubara. Pemerintah
memberikan izin beberapa perusahaan, walaupun lokasinya mengepung kawasan
pemukiman. Di daerah ini, umumnya batubara digali menggunakan peralatan
sederhana dan hasil galian dimasukkan dalam karung untuk dijual ke Surabaya.
Warga
di sekitar kawasan Bengkuring sudah mulai marah. Jalan-jalan yang baru setahun
lalu diperbaiki pakai uang rakyat (APBD), sudah rusak lagi. Berlubang-lubang
dan banjir semakin sering datang.
Puncaknya,
demonstrasi pada 1 Desember 2010 silam. Selama lebih 5 jam Jalan Padat Karya
menuju komplek Perumahan Bengkuring ditutup. Ada tiga perusahaan yang dituding
menjadi biang kerusakan jalan dan penyebab banjir lingkungan mereka. Ketiga
perusahaan itu, CV Graha Benua Etam (GBE) seluas 492
hektare, Prima Coal Mining (PCM) 155 hektare dan CV Piawai Bumi Alam Sejahtera.
Warga yang marah minta pemerintah mencabut izin perusahaan, tapi
pemerintahan ‘tebal kuping’ ini cuek
saja, hanya meminta perusahaan menyumbang memperbaiki jalan-jalan rusak.
Perusahaan di sana akhirnya tetap beroperasi dengan mengubah jam kerja operasionalnya.
Kalau siang, mereka hanya menggali batubara dan malamnya mengangkut menggunakan
truk.
“Tidak ada niat baik perusahaan batubara
pada lingkungan. Kita warga Padat Karya dan Bengkuring bertahun-tahun menjadi
korbannya, mulai dari banjir, jalanan menjadi rusak dan licin. Karena itulah
kami minta kepada Pemkot agar serius dalam mendengar aspirasi kami dengan
langkah menutup seluruh pertambangan batu bara yang beroperasi disekitar
permukiman kami,” kata Ahmad Yani, Ketua RT 78 Perumahan Bengkuring.
Lain
lagi yang terjadi menimpa warga di kawasan Sambutan. Pekan tadi puluhan warga
dan petani Desa Makroman Kecamatan Sambutan Samarinda Ilir menutup jalan
tambang CV Arjuna. Warga marah karena aktifitas tambang merusak lahan pertanian
yang menjadi lahan nafkah mereka.
Narsim,
salah seorang warga menghitung, setidaknya 100 hektar lahan pertanian rusak.
Ada 96 KK (Kepala Keluarga) yang tertimpa masalah sepakat menuntut perusahaan
mengganti rugi. “Galian tambang perusahaan membuat lumpur mereka masuk ke
pertanian dan kolam-kolam ikan,” ujar Narsim. Mereka menutup jalan, agar
perusahaan stop produksi.
Di
daerah Kelurahan Bukuan Palaran, para petani buah di RT 16 dilanda kemarahan
karena tanaman buah mereka yang tercemar lumpur dan limbah tambang. "Kami
sudah lama menderita kelaparan karena tanaman buah kami gagal panen akibat
tercemar lumpur dan limbah tambang. Karena itu kami hanya meminta perhatian dan
kepedulian pemerintah atas nasib kami ini," kata Supianur, salahseorang
pemilik kebun buah.
Jauh
hari sebelumnya ratusan warga yang diduga suruhan dari
CV Putra Palaran, memblokir areal tambang milik PT. NCI (Nuansacipta Coal
Investment) di daerah mereka.Warga menuntut ganti rugi Rp2,5 miliar atas
kerusakan lahan seluas 350 hektare dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas
penambangan batubara perusahaan itu.
Diurut ke belakang lagi, masih ada puluhan
bahkan mungkin ratusan kelompok warga yang marah dengan kebijakan memberikan
izin tambang ini. Hanya saja, karena pemerintahan sudah ‘kebal kuping’, warga
hanya bisa menggerutu.
“Kami sedang pelajari bagaimana warga
negara menggugat pemerintahan lokal,” kata Kahar Al-Bahri, Koordinator Jatam
(Jaringan Tambang) Kaltim.
Ternyata, sambutan luar biasa berdatangan.
Sejumlah aktivis di kota itu dengan sukarela menyatakan bersedia membantu
segala keperluan untuk melancarkan gugatan. Misalnya, untuk memobilisir para
penggugat yang terdiri dari warga Samarinda. “Saya siap membantu mengumpulkan
KTP (Kartu Tanda Penduduk),” kata Niel Makinuddin, pegiat lingkungan.
Bernalus Saragih, anggota Tim Judicial
Review dari Unmul juga tidak keberatan ‘menyumbang’ hitung-hitungan kerugian
masyarakat akibat pertambangan batubara yang terjadi di wilayah itu. “Saya siap
nyumbang kerugian akibat tambang dan valuasinya,” ujar Bernalus dalam akun
facebook.
Tidak hanya kalangan aktivis lingkungan
yang siap menjadi relawan, tapi juga aktivis politik seperti Muhammad Amir.
“Saya dukung penuh. Untuk pengacaranya sebaiknya menggunakan LBH Kaltim,” ujar
Amir. LBH adalah lembaga bantuan hukum.
Kahar Al-Bahri alias Ocha mengatakan, dia
sedang berkonsultasi dengan pengacara yang siap melancarkan gugatan itu.
Bagaimana modelnya, masih dibahas. “Dan yang terpenting juga, ini gratis. Kita
tidak punya uang untuk bayar jasa pengacara,” ujar Ocha. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar