PT Kaltim Prima Coal (KPC) perusahaan batubara terbesar Indonesia yang beroperasi di Sangatta Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Namanya saja sudah terbesar, mestinya menjadi kebanggaan masyarakat di sekitarnya. Seperti warga Kudus yang bangga dengan pabrik rokok Djarum, atau masyarakat Banten yang bangga di daerahnya ada pabrik baja Cilegon.
Warga Bontang juga senang ada Pupuk Kaltim, warga Balikpapan
cukup antusias dengan Pertamina. Begitu yang logisnya. Tapi, KPC seperti berada di menara gading
yang tidak tersentuh. Warga Sangatta
Kutai Timur justru banyak yang tidak bangga ada perusahaan besar batubara itu
di kampung mereka. Kecuali para karyawan dan keluarga tentunya, yang hidupnya tergantung
dari keberadaan perusahaan itu.
Kalau ditanya kepada warga Kutai Timur tentang KPC, justru sebagian
yang muncul adalah keluhan a sampai z. Mulai janji bikin gedung Stipper, bea
siswa, penyerapan tenaga kerja lokal, dan sebagainya.
Di level Kalimantan Timur, branding KPC juga buruk. Mereka
mendapat cap perusahaan pengeruk yang rakus. Perusahaan yang hanya ingin
mengambil hasil alam, tanpa peduli bagaimana masa depan rakyatnya setelah tak
ada lagi tambang.
Padahal, KPC sudah berusaha ramah. Mereka memasang advertorial
di media massa tentang kegiatan sosial perusahaan, juga prestasi-prestasi perusahaan.
Mereka juga mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility) tidak
kurang USD5 juta per tahun.
Kenapa KPC memunculkan opini buruk di mata publik Kaltim? Tidak
terlepas dari berbagai peristiwa mengenai perusahaan ini di media-media.
Masalah paling fenomenal adalah divestasi saham, yang sejak tahun 2001 silam
sudah harus dilakukan perusahaan sebesar 51 persen.
Kenyataannya, divestasi yang ditunggu-tunggu publik Kaltim
bakal melibatkan tangan pemerintah di Kaltim maupun Kutai Timur, terlewat
begitu saja. Publik menyaksikan begitu banyak siasat, penghianatan, sampai
akhirnya perjuangan lebih 15 tahun kandas. Para pemegang saham KPC, yang lama
maupun baru, terbukti; memang hanya mau ambil untung dari eksploitasi batubara.
Tidak ada urusan dengan kesejahteraan masyarakat sekitar, atau masa depan
daerah pasca tambang.
Tak ada yang salah dengan gaya KPC di menara gading. Mereka
punya izin PKP2B (Perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara). Ini izin
dari pemerintah pusat yang tidak boleh diganggu secuilpun oleh pemerintah
daerah.
Situasi seperti ini yang penting ditata lagi oleh pemerintah
pusat. Akibat kebijakan seperti itu membuat rakyat cepat marah. Sudah banyak
contoh, perlawanan masyarakat terhadap perusahaan pertambangan di seluruh
Indonesia.
Ketika ada usul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
melakukan renegosiasi perusahaan kontrak karya, beberapa waktu lalu, saya
berpikir inilah saatnya rakyat daerah berperan mengusulkan, bagaimana mestinya
perusahaan tambang dengan rakyat lokal. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar