Banyak yang gregetan dengan ulah Gubernur Kaltim Awang
Faroek Ishak yang sangat ngotot membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda
sejauh 99 kilometer. Alasannya, karena terlalu banyak uang pembangunan yang
dikuras. Pada tahap awal saja sudah disiapkan APBD Kaltim Rp2 dari Rp6,2
Triliun.
Keluhan para penentang kebijakan itu, karena banyak jalan
kota dan antar kabupaten / provinsi belum juga selesai. Sementara jalan tol,
hanya untuk pengendara mobil. Pengendara motor yang jumlahnya jauh lebih besar
dari pemilik mobil, tetap saja pakai jalan Soekarno – Hatta yang sekarang
digunakan ini.
Faroek punya alasan mengapa ngotot jalan tol harus
direalisasi. Berkali-kali ia sampaikan bahwa jalan tol merupakan kebutuhan
rakyat, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan
terakhir bahwa jalan itu telah disetujui oleh pemerintah pusat. Terintegrasi
dengan MP3EI (Master Plan Percepatan dan pertumbuhan Ekonomi Indonesia).
Saya tahu, banyak warga yang terkesima dengan manuver Faroek
di jalan tol itu. Sebab masih segar diingat ketika pertamakali menyampaikan
gagasan tahun 2009, ia meyakinkan publik bahwa ada investor yang tertarik
membangun jalan tersebut. Toh, yang disebut investor tidak pernah muncul. Sampai akhirnya dengan berat
hati rakyat Kaltim merelakan APBD-nya disedot sebesar Rp2 triliun.
Di media-media sosial, banyak warga yang geram. Sampai
memplesetkan kata jalan tol menjadi “Jalan Tolol”. Apalagi ketika Faroek dengan
suka cita menyampaikan kalau ia berhasil menjerat pemerintah pusat agar
manambah utang LN (luar negeri) untuk membiayai proyek yang mengabadikan namanya
tersebut.
Kata Faroek, dana asing (kemungkinan dari ADB – Asian
Development Bank) bakal masuk Rp2,4 triliun untuk jalan bergengsi tersebut.
Pengembaliannya; tanggungjawab APBN. Dengan demikian, sudah tersedia Rp4,4
triliun dan diperkirakan sisanya tinggal Rp1,8 triliun.
Jerat utang di depan mata. Gubernur Faroek justru sedang
girang menyambut utang. Hanya kalangan aktivis dan sebagian warga yang memahami
skema utang menaruh sikap prihatin. Mereka berdoa semoga sang gubernur tidak meneruskan ‘tariannya’ yang kini merasa
jadi pemenang.
Saya sempat merenung; kenapa mereka menyebut “jalan tolol”?
Padahal, Gubernur Faroek termasuk tokoh lokal yang selalu punya gagasan pintar.
Pertama, saya memahami
bahwa ungkapan itu sekedar umpat kemarahan. Kekecewaan warga yang
berpikir jalan tol belum perlu, menghabiskan anggaran dan beraroma mengejar
prestise. Kedua, ada yang berpikir bahwa membangun infrastruktur seperti itu
justru bakal mempercepat eksploitasi sumber daya alam, pembukaan lahan untuk
perkebunan secara besar-besaran dan tambang batubara. Kemudian juga merusak hutan lindung Manggar
dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Tapi belakangan saya baru mengerti, bahwa ternyata sejumlah
masalah menghadang pembangunan jalan tol. Mulai tidak ada izin penggunaan lain
(IPL) dari Menteri Kehutanan terhadap hutan lindung dan Tahura Bukit Soeharto,
juga ada benturan dengan sekitar 25 pemegang konsesi pertambangan karena
lintasan jalan tol melewati lahan tambang.
Oh, itu rupanya yang dimaksud ‘Jalan Tolol”. Karena dari
awal tidak melalui perencanaan matang. Bahkan tidak ada feasibility studi (FS).
#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar