Jakarta meluncurkan MP3EI (Master Plann
Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) memastikan paper yang berisi setumpuk rencana tersebut bukan kertas
kosong.
Begitu dilaunching bulan Mei 2011 silam,
langsung digelontorkan 17 proyek infrastruktur senilai Rp 190 triliun. Provinsi
Kalimantan Timur cuma kebagian proyek PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di
Pulau Sebatik sebesar 200 kwp.
Tapi di luar 17 proyek tersebut, Kaltim
disebut-sebut sudah diplot masuk dalam rencana investasi yang diproyeksi secara
nasional senilai Rp4.000 triliun sampai tahun 2014. Angkanya belum jelas benar.
Tapi untuk Pulau Kalimantan yang di antaranya bakal memiliki rel kereta api yang
menghubungkan Kalteng – Kaltim, penanaman modal minyak dan gas, dan banyak
lagi, ditaksir mencapai Rp945 triliun.
Data MP3EI menyebut, ada tujuh bidang investasi
di Kalimantan. Selain untuk Migas mencapai Rp344 triliun dan menjadi penanaman
modal terbesar, juga infrastruktur Rp167 triliun untuk pembangunan jalan Trans
Kalimantan, rel kereta api, pelabuhan internasional dan jalan tol. Sektor
investasi batubara juga punya perhatian, yakni Rp181 triliun.
Jelas saja rencana induk pemerintah pusat itu
mendapat reaksi beragam di daerah. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang malah
sudah melakukan penolakan. Skenario Jakarta itu dianggapnya tidak pro terhadap
masyarakat di daerah dan kelak hanya menguntungkan pengusaha. Pembangunan rel
kereta api untuk mengangkut hasil kebun sawit dan batubara, hanya mempercepat
eksploitasi sumber daya alam di daerah, sedangan masyarakat tidak begitu
menikmati. Malah masyarakat akan disisakan persoalan lingkungan.
Agustin Teras Narang yang berasal dari PDI
Perjuangan, bukanlah seorang gubernur tanpa visi. Ia seorang advokat dan pernah
menjadi Ketua Komisi II DPR RI, sehingga tak perlu diragukan menguasai
persoalan nasional. Kalau ia menolak proposal Jakarta, berarti memang ada
alasan ilmiah yang menyertainya. Ia tidak mau serta merta menyambut masuknya
investasi, apalagi kalau dianggapnya akan memberikan dampak buruk bagi daerah.
Bagaimana dengan Gubernur Kaltim Awang Faroek
Ishak?
Belum ada pernyataan resminya memang. Faroek
mengaku belum tahu tentang rute rel kereta api yang disebut-sebut menghubungkan
Kalteng-Kaltim itu. “Kita cari tahu dulu dengan Jakarta,” kata Faroek.
Sejak dilantik bulan Desember 2008 silam,
Faroek termasuk gubernur yang bernafsu hadirnya proyek-proyek raksasa. Ia ingin
menorehkan prestasi fenomenal semasa menjabat. Simak kekerasan hatinya
membangun jalan tol Balikpapan – Samarinda yang konon bakal diteruskan
terkoneksi ke Bontang sampai pelabuhan Maloy di Kutai Timur. Untuk jalan tol
Balikpapan – Samarinda saja, diprediksi menelan anggaran Rp6,2 triliun.
Warga Kaltim sudah terbiasa mendengar obsesi
Faroek tentang pelabuhan Maloy yang dihayalkannya bakal menjadi pelabuhan
ekspor CPO (crude palm oil) yang diproduksi Kutai Timur dan sekitarnya, serta
ekspor batubara. Pelabuhan Maloy ini yang dipetakan bakal tersambung dengan
infrastruktur trans Kalimantan dan juga rel kereta api.
Sekilas, rencana besar Awang Faroek Ishak,
pastilah membuat masyarakat terkagum-kagum. Jika ‘mimpi’ itu terwujud, sejarah
mencatat dimulainya ada jalan tol, ada kereta api di seluruh Kalimantan.
Padahal,
seperti kata ahli-ahli lingkungan, inilah juga mimpi buruk masyarakat
Kalimantan. Investasi bidang infrastruktur dan rel kereta api adalah skenario
untuk mempercepat pengurasan sumber daya alam. Batubara yang diprediksi
memiliki deposit digali sampai 150 tahun, bakal habis hanya dalam waktu 30
tahun. #
Sinyal Wisdom Teras Narang
Penolakan Agustin Teras Narang terhadap
proposal Jakarta yang ingin membangun rel kereta api menghubungkan Kalteng –
Kaltim jadi hits positif di media massa dan media sosial.
Di negeri ini jarang sekali muncul penolakan
orang-orang daerah atas program yang dicanangkan pemerintah pusat di Jakarta.
Tapi Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, memulai tradisi yang
tidak lagi manut-manut saja menerima apa adanya. Pekan lalu, Teras yang mantan
advokat itu mengirim ‘memori kontra’ atas proposal yang diajukan Jakarta.
“Kalau pusat tetap maksa membangun rel kereta
api antarprovinsi itu, saya akan mengundurkan diri,” ucap Agustin Teras Narang
kepada wartawan, pekan tadi. Wakilnya, Ahmad Diran, juga menyampaikan hal
serupa.
Pernyataan itu tidak sekedar gertak sambal. Ia
adalah Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Pernyataan mundur bisa
menjadi ancaman bahwa suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan menolak juga
pemerintah pusat. Penolakan terhadap pemerintah pusat, kian menjadi preseden
bahwa saatnya orang-orang daerah berdaulat atas daerahnya sendiri.
Hubungan pusat – daerah belakangan kian merenggang.
Setelah Papua yang memunculkan keinginan disintregrasi, di Sumatera baru-baru
ini, sejumlah gubernur tidak mau menghadiri Rakor (Rapat Koordinasi) di
Palembang. Padahal rakor itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tiga
provinsi mengirim wakil gubernur dan dua provinsi lain diwakili pejabat
gubernur.
Di Kalteng, Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah berdiri
di belakang Teras Narang. "Rakyat Kalimantan Tengah tidak dipandang
apa-apa oleh pihak yang merencanakan rel kereta api antarprovinsi," kata
Sabran Achmad, Ketua Dewan Adat Dayak.
Padahal, di depan mata, sudah
ada investor dari Rusia memboyong uang tidak kurang dari USD2,5 miliar atau
sekitar Rp21 triliun. Perusahaan asing itu setuju membangun rel kereta api menghubungkan
Puruk Cahu Kalteng – Kubar Kaltim lebih 135 kilometer. Malah, kata Rizal
Affandi Lukman, Deputi Menko
Perekonomian Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional,
pemerintah pusat sudah menyiapkan nota kesepahaman (MoU) dan diteken saat
kunjungan Presiden Rusia Dimitry Medvedev ke Bali untuk menghadiri East Asia
Summit pada November 2011.
Alasan Agustin Teras Narang, keberadaan rel kereta api tidak
untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tapi untuk mengangkut hasil tambang
batubara dan hasil kebun sawit milik para pengusaha. Ia menyadari, selama ini
kedua komoditi itu hanya member keuntungan pengusaha. Keberadaan rel kereta api
otomatis pula mempercepat pengurasan sumber daya alam di Kalteng dan
mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan. Apalagi, Teras Narang mendapat
kabar kalau pembangunan rel kereta api itu membelah kawasan hutan kawasan hutan lindung Pegunungan
Muller-Schwanner.
Kalteng termasuk punya
pengalaman buruk dengan pemerintah pusat. Di zaman Presiden Soeharto di daerah
itu dijadikan ‘percobaan’ proyek sejuta lahan gambut menjadi lahan pertanian.
Proyek itu akhirnya terbengkalai dan kini malah menjadi sumber bencana
kebakaran, karena lahan gambut yang kering jadi mudah terbakar.
Pengalaman buruk itu membuat
segenap komponen warga di Kalteng tak lagi menelan mentah-mentah program dari
Jakarta. Mereka bertekad ingin menjadi daerah mandiri, yang mempertahankan
nilai-nilai kearifan lokal (wisdom).
Di media-media muncul
dukungan terhadap langkah tegas Teras Narang. Kalangan kampus juga banyak
memuji memang itu yang harus dilakukan para pemimpin di daerah. Di media sosial
facebook, langkah sang Gubernur juga mendapat respon positif.
“Ancaman Gubernur Teras
Narang, yang adalah presiden majelis adat dayak nasional, harus dianggap sebagai
ancaman serius oleh pemerintah pusat, jangan sampai sikap tersebut dianggap sebagai
gertakan apalagi sekedar isapan jempol. Jika pemerintah pusat memaksakan
kehendak, dan Gubernur Teras Narang menyatakan mundur, maka sejatinya, pernyataan
mundur tersebut adalah ‘maklumat perang’ bangsa Kalimantan atas kekuasaan NKRI
yang ternyata tidak mau mendengar dan mengakomodir aspirasi dan kepentingan
rakyat tidak saja Kalteng, tetapi sejatinya Kalimantan secara keseluruhan,”
komentar Rendi S Ismail di akun Facebook Bmagazine Group. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar