Bumi Kaltim sedang memikul beban berat. Pasca zaman
banjir kap yang menghancurkan
hutan-hutan alam
nan besar itu, kini
lahan-lahan subur dikeruk untuk dieksploitasi tambang batubaranya. Tidak hanya
itu, sejumlah program raksasa berbungkus ‘untuk kesejahteraan rakyat’ mengintai
lagi.
Simak program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan
Ekonomi Indonesia) yang telah dilaunching Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) bulan Mei 2011. Kaltim bakal diguyur investasi ratusan triliun, untuk
menambah produksi minyak dan gas, batubara, serta investasi bidang transportasi
rel kereta api untuk mengangkut hasil bumi.
Belum lagi rencana-rencana besar daerah yang menjadikan klutser ekonomi dan mewujudkan
visi Kaltim sebagai pusat agroindustri dan energi terkemuka di dunia. Sejumlah
rencana digulirkan, pembangunan jalan tol Balikpapan – Samarinda yang bakal
bersambung ke Bontang dan Sangatta dan pelabuhan Maloy di Kutai Timur yang
diproyeksikan jadi pelabuhan internasional.
Belakangan muncul lagi program Food Estate. Kalimantan Timur
ditawarkan mengambilalih program Menteri Pertanian Suswono yang sebelumnya
diproyeksikan di Papua bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE). Ancer-ancernya, lahan untuk food estate di Kaltim seluas 200 ribu
hektar.
Para pembuat program raksasa itu berusaha meyakinkan para
pihak inilah jalan kemajuan ekonomi di Kaltim. Tapi para pemerhati lingkungan
justru melihat inilah sumber masalah yang menimbulkan kesengsaraan panjang
rakyat daerah ini.
“Kerusakan lingkungan di Kaltim sudah parah sekali.
Masyarakat harus membayar mahal. Contoh saja, tidak ada lagi masyarakat bisa
mengambil air minum secara gratis di sungai, karena airnya sudah tercemar.
Masyarakat harus mengeluarkan uang membeli air minum,” ujar Bernaulus Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Universitas
Mulawarman,
Pemerintah bukan tidak menyadari adanya kerusakan lingkungan
yang kian parah ini. Gubernur Awang Faroek Ishak misalnya, selalu mengemukakan
angka lahan kritis seluas 6,4 juta hektar.
Tapi tetap saja mengeluarkan kebikan-kebijakan seperti pembukaan lahan
untuk kebun sawit yang diprogram pemerintah menuju 3 juta hektar. Kemudian izin
usaha batubara seperti di Kota Samarinda dan Kutai Kartanegara yang jumlah perusahaannya mencapai ratusan
dan memakan areal mencapai 50 persen dari total luas daerah itu.
Produksi batubara dari Kalimantan Timur sedang menuju 130
juta Metrik Ton per tahun. Sebanyak 70 Juta Metrik Ton adalah produksi PT
Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta. Ada sekitar 20-an perusahaan berstatus
izin PKP2B (Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara) alias izin dari
Menteri ESDM, dan ada ratusan lagi izin KP (Kuasa Pertambangan) oleh bupati dan
wali kota. Padahal, tahun 2004 silam, angka produksi batubara Kaltim hanya
sekitar 70 juta Metrik Ton.
Sektor minyak dan gas bumi, pertama kali digarap sejak 10
Februari 1897 oleh Belanda yang mendapat izin konsesi dari Kesultanan Kutai.
Bayangkan, sudah berapa besar produksi migas dari daerah ini, tapi hasilnya tak
juga mampu memakmurkan rakyat lokal.
Air sungai yang tercemar, hutan
yang porak-poranda, lahan eks batubara yang menjelma jadi danau-danau,
banjir dan hujan yang tak lagi taat
siklus, kian mengkuaitirkan masyarakat Kaltim. Sebab diyakini kerusakan alam
itu juga berpengaruh pada iklim yang ekstrim. Jika hujan warga kuatir banjir,
jika kemarau kuatir hutan terbakar.
Jadi, apa bahasa paling tepat menggambarkan situasi ini? “Kaltim Siaga
Satu,” kata Bernaulus. Wah. #
Iklim Tak Menentu
Sebanyak 27 titik api mengancam kebakaran hutan di musim kemarau bulan
Agustus – Oktober 2011. Tapi warga sudah terbiasa, malah nyaris tidak
berpatokan pada siklus musim hujan dan musim kemarau.
Muhammad Idris
Barangkali, sudah lebih sepuluh tahun warga Kota Samarinda
tak lagi begitu yakin dengan ramalan cuaca. Sebab, meski di media-media memuat
kondisi cuaca di kota itu, seringkali lebih banyak tidak cocok , malah membuat hati kesal karena
mengira hari akan hujan, ternyata cerah oleh terik matahari.
Para pemerhati lingkungan mengakui memang ada pengaruh
akibat rusaknya hutan pada siklus musim panas dan musim hujan di Indonesia.
Bayangkan dengan kondisi lahan kritis sekitar 6,4 juta hektar di Kaltim,
ditambah lagi pembukaan tambang batubara yang mencemarkan air sungai, pembukaan
kebun sawit menuju 3 juta hektar, semua itu sudah cukup mengubah fenomena alam tidak lagi taat pada
siklus hujan dan panas yang semestinya.
“Ya, sebenarnya ini peringatan bagi kita semua. Kerusakan
lingkungan menyebabkan tidak menentunya pola perubahan iklim,” ujar Isal
Wardhana, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim.
Pada bulan Agustus 2011 ini misalnya, BMG (Badan Metereoligi
dan Geofisika) Kota Samarinda menurunkan perkiraan bahwa Agustus sampai
Oktober di bagian Kaltim Tengah dan
Selatan sudah memasuki masa kemarau. Dalam bulan Agustus itu sudah sekitar 10
hari tidak turun hujan.
Kepala BMG Samarinda
Raden Ishak mengatakan, angin yang berhembus sudah masuk angin Selatan dan itu
pastinya akan menimbulkan gelombang mencapai sekitar 3 meter tepatnya di Selat Makassar atau di perairan
Balikpapan.
Hujan yang turun saat ini masih di bawah normal sekitar 80
sampai 140, namun saat ini masih bisa dikatakan belum terlalu kering karena
hujan akan tetap turun walaupun hanya sesaat dan itu pun bisa dikatakan hanya
hujan shower atau lokal saja.
Cuaca pada saat ini masih batas cerah berawan angin
sepoi dan bisa juga terjadi hujan di
siang hari, panas yang terjadi saat bulan Agustus sampai Oktober nantinya tidak
menutup akan terjadinya kekeringan lahan pertanian serta meningkatnya kebakaran
hutan yang ada di Kalimantan Timur.
Pendek cerita, ini adalah masa siklus musim kemarau. Ancaman
kebakaran hutan sedang menanti. Tapi faktanya di Tarakan, Bulungan, Malinau, di
bulan Agustus hampir tiap hari turun hujan. Walaupun cuma sebentar. Di Kota
Samarinda yang kondisi lingkungannya sudah mengerikan, musim kemarau memang
mulai terasa. Tapi, dalam sepekan biasanya ada saja turun hujan, walau tidak
lebat dan mengakibatkan banjir.
Meski iklim tidak menentu lagi, jajaran Departemen Kehutanan
tidak tinggal diam. Mereka tetap patuh pada siklus yang menyajikan data-data
telah tiba waktunya musim kemarau. Kepala
Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Tukimin HR mengatakan,
pihaknya telah mengantisipasi kemarau Agustus – Oktober ini dengan menurunkan
anggota ke lahan-lahan rawan kebakaran hutan.
Menurut Tukimin,
titik –titik api yang sudah terdeteksi
saat ini ada 27 titik api. Dengan cuaca yang sangat panas pastinya akan tidak
menutup kemungkinan juga akan terjadinya kebakaran. Namun kondisi saat ini
masih dalam keadaan aman dalam pantauan yang berada di lapangan.
Satelit yang digunakan untuk melakukanpemantauan adaah
satelit NOAA Indonesia 18 yang melintasi daerah Kalimantan Timur sebanyak empat kali dalam sehari , satelit tersebut
mencakup permukaan bumi sebesar 2700 km
dari ketinggian 860 km.
Daerah yang saat ini memiliki titik Hot Spot di bulan Agustus ada sembilan daerah yang
terletak di Kalimantan Timur. Perubahan titik api akan terjadi setiap harinya
sesuai dengan tingkat panas yang terjadi bisa menambah atau malah berkurang
tergantung dengan cuaca yang ada.
Sejauh ini lahan yang menimbulkan asap, kata Tukimin, dikarenakan oleh banyaknya para petani lahan
yang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan banyaknya petani yang
lahannya berpindah – pindah.
Selain lahan yang berpindah –pindah, kata Tukimin, ada juga
yang disebabkan oleh banyaknya lahan tambang batubara yang ada, sehingga lebih
cepat prosenya untuk bisa terbakar dengan cuaca yang sangat panas. #
Sembilan Daerah Titik Ap
i
- Berau dengan titik api ada
6
- Bulungan belum ada titik
apai
- Kutai Barat ada 3 titik
api
- Kukar 3 titik api
- Kutim 6 titik api
- Malinau tidak ada titik
api
- Nunukan 2 titik api
- Paser 6 titik api
- PPU 1 titik api
Masyarakat Bayar Kerusakan
Program investasi yang dilancarkan
pemerintah di Kalimantan Timur bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai
upaya perencanaan kerusakan lingkungan secara sistimik. Sekarang masyarakat
sudah membayar terjadinya kerusakan itu, karena tidak lagi bisa memanfaatkan
air sungai untuk minum dan keperluan memasak. Hampir semua sungai, sampai di
daerah pedalaman mengalami pencemaran air luar biasa. Akibat penambangan
batubara dan perambahan hutan.
“Air Sungai Mahakam saja sudah tidak
ada yang berani meminum, apalagi air Sungai Karang Mumus,” kata Bernaulus
Saragih, Kepala Puslit Sumber Daya Alam Unmul.
Akibat kegiatan pencucian batubara
misalnya, air sungai di sekitar mengalami pencemaran mengandung belerang ( b),
Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan Asam sulfat (H2sO4), dan Pb. Hg dan Pb
merupakan logam berat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker
kulit.
Padahal, semua perusahaan
mengandalkan air sungai untuk mencuci batubara agar mendapatkan kualitas
tertentu. “Sumber air bersih PDAM untuk minum warga Samarinda juga dari sungai-sungai
yang telah tercemar batubara,” ujar Bernaulus.
Akhirnya memang kerusakan lingkungan
mengakibatkan meningkatnya biaya hidup. Tingkat konsumerisme, karena soal air
yang sebenarnya dianugerahi oleh Tuhan dengan berlimpah, tidak bisa lagi
‘dijamah’ dan menimbulkan penyakit kalau terkena kulit.
Belum lagi terjadinya perubahan
bentang alam, karena pemotong bukit bahkan penutupan sungai-sungai kecil untuk
keperluan eksploitasi tambang. Banjir semakin tidak terkendali dan ketika musim
panas terjadi kebakaran batubara dan hutan.
“Jadi, banyaknya investor bertaraf internasional
maupun lokal melakukan eksploitasi terhadap lahan yang ada di Kalimantan Timur tidak
sepenuhnya benar menambah kesejahteraan seperti yang diharapkan. Yang terjadi
malah menambah beban biaya hidup rakyat Kalimantan Timur serta menjadikan
rakyat miskin yang absolute,” ungkapnya.
Sejumlah data tentang kerusakan
lingkungan itu kini tengah digodok olehnya untuk diberikan sebagai lampiran
gugatan judicial review atas Undang-undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat – Daerah. Berikut wawancara Muhammad Idris dari Bmagazine dengan
Bernaulus Saragih;
Tingkat kerusakan lingkungan di Kaltim sudah sejauh apa?
Kalau ditanya tentang kerusakan
lingkungan yang ada di Kaltim sudah sejauh apa? Ya, saya katakan sudah sangat
parah sekali. Contohnya, sungai yang dulunya bisa langsung digunakan oleh
masyarakat sebelum adanya tambang, selalu dalam keadaan jernih dan baik
kualitas airnya. Tapi setelah ada tambang yang beroperasi maka air tersebut
menjadi keruh dan tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat.
Nah, kerusakan lingkungan itu kan diakibatkan oleh ekspolitasi. Jadi
bisa kita lihat berapa biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat di sepanjang
bantaran sungai untuk menjernihkan air yang dulunya bisa di konsumsi langsung.
Saat ini mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 3500 rupiah tiap harinya untuk
bisa dikonsumsi dan dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada di bantaran
Sungai Sangatta ada 38.000 orang, dikalikan dengan jumlah kebutuhan air
per orang sebesar 0,75 meter kubik per hari. Nah coba kita hitung semua sungai
yang ada di Kalimantan Timur dan jumlah warga yang menggunakan air sungai
tersebut untuk menjernihkan air tersebut, seperti di Kandilo, Muara Wahau,
Berau, Samarinda. Saya dapatkan data kerugian tidak kurang dari 1,5 trilliun rupiah
hanya untuk kasus air saja.
Apakah ini yang dimaksud upaya
memiskinan rakyat secara sistimik?
Saya telah berkeliling ke daerah
Kaltim, dari sana saya menyadari bahwa negara ini telah sengaja atau tidak
mengundang investor asing atau lokal untuk melakukan pembunuhan atau genocide terhadap masyarakat di pedalaman
dan sekitar wilayah tambang, yaitu dengan meracuni semua sungai dan perairan
dengan logam berat dan lumpur agar mereka tidak punya sumber air minum. Bagaimana
ini? Mengapa tidak ada gerakan dari penduduk asli?
Ternyata parah sekali. Apa
kesimpulan Anda?
Sudah waktunya Kaltim menyatakan siaga
satu atas dampak tambang. Tidak ada lagi sungai yang jernih, masyarakat miskin
semakin dimiskinkan dengan semakin mahalnya kebutuhan dasar, air yang layak
konsumsi. Adakah ini dipikirkan oleh Gubernur dan Bupati walikota sebelum
mereka beri izin/rekom tambang????
Setiap produksi 1000 ton batubara
menghasilkan limbah berbahaya 3 - 6 ton material yang mengandung logam berat
yang masuk ke sungai, jadi kalau Kaltim memproduksi 120 juta ton kita
terperangah betapa besar bahan pencemar masuk ke sungai di Kaltim pertahun?
Bagaimana kalau terus menerus, sampai 15 tahun, ini adalah genocide!!!
Saya sudah dari utara, di sana ada satu
sungai lagi bakal tidak bisa dijadikan bahan baku air minum. Sungai Malinau.
Tambang mulai mengamuk, berapa lagi kerugian yang harus dipikul rakyat Kaltim
untuk memenuhi kebutuhan dasar, air.
Menurut Anda, kehancuran ekologi saat ini apa masih bisa dilakuklan
perbaikan? Misalnya reklamasi?
Berbicara masalah reklamasi
seharusnya tahu dulu apa yang dinamakan dengan reklamasi tersebut. Reklamasi
adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang
terganggu sebagai kegiatan usaha pertambangan umum agar dapat berfungsi dan
berdaya guna sebagai peruntukannya. Jaminan reklamasi sendiri adalah dana yang
disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan
reklamasi di pertambangan umum. Jadi, reklamasi tidak mungkin bisa memulihkan.
Apalagi, sejauh ini yang namanya
reklamasi belum ada yang menata siapa yang melakukan pengontrolan terhadap
perusahaan pertambangan, malah kalau kita lihat banyaknya peninggalan
lubang raksasa yang ada saat ini, tanpa dilakukan reklamasi oleh perusahaan
tersebut. Siapa yang menerima dana reklamasi dari perusahaan dan siapa yang
melakukan kontrolnya; Apakah BLH atau Distamben? Saya belum pernah
melihat hasil dari reklamasi itu. Tidak mudah mengembalikan fungsi hutan
tersebut, butuh waktu yang lama pastinya. Karena sampai saat ini belum ada
berapa jaminan reklamasi semestinya yang diberikan setiap perusahaan untuk
mengembalikan fungsi hutan dan ekosistem yang ada di dalamnya sebelum
terjadinya eksploitasi.
Jadi, sebenarnya semakin besar investasi masuk ke Kaltim,
kian mengancam kerusakan lingkungan yang lebih parah?
Nah, ini menarik. Menurut saya sesungguhnya
kita tidak memerlukan investasi untuk mengekstrak sumber daya alam tidak terbaharukan.
Ini harus direview atau ditata kembali sebelum semuanya menjadi lebih parah. Sebab
investasi yang terjadi seperti batubara justru menimbulkan kerusakan
lingkungan. Saya menghitung angka kerugian dari kerusakan lingkungan sekitar 8,
34 triliun rupiah. Dan ternyata itu terlalu kecil.
Kita ini kan berada di titik ironi.
Saya ke Bontang dapat data bahwa setiap tahun PT Badak NGL menghasilkan uang
dari ekspor LNG tak kurang dari 15,3 trilliun rupiah. Tapi tengok, ada sekitar
33 ribu warga sangat miskin disekitar pabrik.
Kemudian produksi KPC mencapai 70
juta ton, artinya menghasilkan uang sekitar 23 trilliun rupiah setahun. Dengan
biaya produksi yang murah, masa jalan Sangata - Bontang tidak bisa mulus, alokasikan
Rp500 milyar sudah lebih dari cukup.
Kutim hanya dapat tidak lebih dari 1 triliun rupiah per tahun, Nah, 22 trilliun
rupiah lagi punya siapa?
Waktu saya presense di Bappeda
Kukar, saya katakan rakyat Kukar miskin 26,9%, walaupun APBD-nya hampir 5
trilliun. Ada ratusan tambang batubara di sana. Bagaimana bisa Kukar mencapai
MDGs 2015? Tidak ada yang bisa menjawab.
Begitu juga Samarinda. Banyak
tambang dekat pemukiman, jalan-jalan rusak, APBD tak sanggup memperbaiki jalan.
Malah defisit. Dan ada peristiwa yang memilukan tenggelamnya tiga anak-anak di
kolam tambang perusahaan batubara di Sambutan. Mestinya, keluarga yang anaknya
tenggelam menjadi pintu masuk bagi perbaikan kinerja tambang. Bisa kita
bayangkan kolam-kolam tambang yang dalam dekat pemukiman, tidak memiliki
rambu-rambu bagi masyarakat sekitar terutama anak-anak untuk berhati-hati. Jelas
tambang harus dipidanakan karena tidak respek terhadap masyarakat bahkan
menganggap enteng dan murah nyawa.
Dalam gugatan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi, Anda memasukkan unsure kerusakan lingkungan yang harus
dikompensasikan ke mata anggaran?
Kalau untuk mensejahterakan rakyat Kaltim
sebanyak 3,33 juta orang, kita memang perlu solusi memasukkan komponen
kerusakan SDA ke dalam faktor pembagi. Nah itu yang sedang kami lakukan. Dalam
istilahnya economic extrality, karena selama ini belum pernah dilakukan.
Di berbagai negara kerugian yang ditimbulkan oleh eksploitasi produksi SDA dimasukkan
ke dalam faktor pembagi. Misalnya kita ini mendapatkan Rp9,2 triliun, ini harus
dimasukkan dalam faktor pembagi, bagi hasil migas dan pertambangan atau nilai
beban ekonomi yang timbul terhadap rumah tangga akibat ekploitasi, harus dijadikan
salah satu faktor dalam untuk pembagian bagi hasil antar pusat dan daerah.
Salah satu aspek yang kita perjuangkan,
agar pemerintah pusat memasukkan komponen penelitian ke dalam formula pembagian
keuangan daerah ini. Karena selama ini setoran yang kita berikan ke pusat
antara 100 sampai dengan 120 trilliun rupiah, namun yang kembali hanya sebesar
5 persen saja. Nah, itulah yang harus
kita perjuangkan, kalau perlu kita kelola sendiri dapur kita masa kita tidak
mampu.
Dengan yang 5 persen itu hanya untuk
mengganti kerugian saja, akibat yang ditimbulkan oleh eksploitasi, bukan untuk
mensejahtrakan, belum sampai di situ, hanya sebatas pengganti agar investor
yang ada lebih bisa mengembangkan sayapnya. Sudah seharusnya kita melakukan moratorium,
kita hentikan semua tambang yang ada sebelum hal yang lebih buruk akan terjadi,
karena dengan banyaknya tambang yang melakukan eksploitasi malah meningkat
jumlah kemiskinan. Bukan kesejahteraan yang dicapai.*
-
Biodata:
Nama: Bernaulus Saragih
Lahir: 1 Juli 1968
S1.Fak kehutanan UNMUL
S2. Univ. Gottingen, Jerman
S3.univ Leiden Belanda
Jabatan: Kepala Puslit sumber daya
alam UNMUL
Ketua Tim Ahli Lingkungan JR MRKTB Kaltim
Editor in chief Journal naturakl
life seience UNMUL
Staff pengajar Fak Kehutanan UNMUL
Berkeluarga 1 anak
Istri: Celiyani Spd
Pekerjaan:
Guru SMK 5 SMD