Oleh: Charles Siahaan
Tahun 2008, sejumlah agenda juga telah menanti. Mulai dari Pemilihan Gubernur Kaltim dan kemudian menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON).
Pada saat Pilgub yang dijadwalkan diadakan 28 Mei 2008, maka akan menjadi tonggak sejarah pertamakalinya rakyat Bumi Etam memilih Gubernurnya secara langsung. Itulah saat demokrasi benar-benar diuji, apakah kita mampu melewatinya secara damai dan sportif.
Telah banyak contoh di daerah
Situasi yang mencemaskan bakal dialami penduduk ’migran’, sebagai buah terlanjur nyaringnya jargon-jargon putra asli daerah didengungkan. Tidak salah kalau pada tahun 2008 bisa disebut tahun menegangkan.
Sedangkan pada saat penyelenggaraan PON, rakyat Kaltim perlu menunjukkan kekompakkan sebagai tuan rumah yang baik. Perbedaan yang sempat menegangkan pada saat Pilgub, harus segera ditanggalkan dan berbalik menjadi kekompakkan.
Tapi ini adalah teori. Yakni kondisi ideal ketika rakyat Kaltim dihadapkan dua perhelatan besar. Sedangkan pada tataran praktik, umumnya rakyat tidak mudah menjalin kebersamaan dalam perbedaan.
Persoalan ’kebersamaan dalam perbedaan’ bukan hanya menjadi problema rakyat Kaltim, tetapi juga nyaris di seluruh negeri. Konsep pluralism, masyarakat madani, di mana kerukunan umat yang terdiri dari beragam suku, ras dan golongan terjalin secara harmoni, tidaklah mudah diwujudkan.
Bahkan para pemimpin negeri yang menjadi publik figur, tidak semuanya memiliki kemampuan untuk menampilkan semangat pluralism. Selalu ada sekat-sekat apakah itu berbaju agama, suku bahkan perbedaan kepentingan (politik). Rakyat Indonesia tentu melihat bagaimana Megawati Soekarnoputri yang selalu menghindar tidak mau bertemu dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena rivalitas, keduanya tidak bisa terlihat hidup rukun dalam perbedaan.
Bagaimana dengan para pemimpin Kaltim?
Pernah dalam sebuah acara olahraga di Samarinda kebetulan menempatkan dua orang calon kandidat Gubernur Kaltim, yakni Awang Faroek Ishak dan Achmad Amins. Keduanya pun akhirnya duduk berdampingan setelah bersalaman.
Seiring berjalannya acara, ternyata keduanya tidak pernah lagi bertegur sapa. Keduanya asyik dengan handphone masing-masing dan pemandangan itu menggambarkan ada sesuatu yang membuat keduanya tidak nyaman kalau duduk berdampingan. Apakah itu buah rivalitas?
Tidak ada yang salah antara Awang Faroek Ishak dan Achmad Amins, tidak ada yang salah antara Megawati dan SBY. Karena itulah sebenarnya kualitas masyarakat pluralism Indonesia dan kita harus belajar pula menghormati pilihan sikap para pemimpin ini. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar