Kesultanan Kutai Kartanegara berkuasa sejak abad 13, sampai akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Peristiwa penggabungan itu ternyata menghapus seluruh ‘kekuasaan’, termasuk atas tanah-tanah kerajaan.
Peristiwa 22 September 2001, patut dicatat sebagai sejarah bagi rakyat Kalimantan Timur. Pada tanggal itu, putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat ditabalkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II.
Adalah Syaukani HR yang berusaha menghidupkan lagi lembaga kesultanan setelah lenyap sejak tahun 1959. Ia tidak ingin identitas ‘darah biru’ Kutai yang terbangun sejak tahun 1300 Masehi, lenyap begitu saja.
Catatan sejarah, matinya kekuasaan kesultanan justru setelah adanya gaung kemerdekaan Indonesia. Tepatnya tahun 1949 ketika Dewan Kesultanan yang terdiri dari Sultan Kutai, Sultan Bulungan, Sultan Gunung Tabur, Sultan Sambaliun dan Sultan Paser bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejak itu, pelan-pelan kekuasaan kesultanan “dipreteli” sampai akhirnya tahun 1959 benar-benar habis karena pemerintah RI – lewat parlemen Orde Lama - menjadikan Kutai sebagai daerah istimewa (DI).
Syaukani HR yang waktu itu menjadi Bupati Kukar memang memperistri seorang putri dari kalangan kerabat kesultanan. Tapi, bukan karena motivasi itu ia dengan gigih membawa idenya ke Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Ada hal lebih besar; mengembalikan identitas kesultanan sebagai kekuatan lokal yang tumbuh bersama masyarakat Kutai sejak beratus tahun lamanya.
Identitas budaya kesultanan tidak patut lenyap apalagi dilenyapkan. Meski harus dengan konsekuensi Pemerintah Kukar harus membangun Kedaton dan perangkat kesultanan lain yang selama ini terlanjur sudah masuk gudang.
Syaukani melihat potensi luar biasa dari hidupnya lagi kesultanan. Banyak warisan sejarah yang belum tergali, tapi sedikit pejabat yang menaruh rasa peduli. “Sejarah kesultanan Kutai Kartanegara adalah sejarah bangsa, sejarah rakyat Kaltim yang besar,” kata Djohansyah Balham, Budayawan Kaltim.
Sejarah yang terputus membuat luka yang dalam bagi kalangan kesultanan. Apalagi, diketahui kemudian bahwa Kesultanan tidak memiliki apa-apa. Bukan kekuasaan saja yang hilang, tapi juga tanah-tanah yang dulu menjadi wilayah kedaulatan sultan.
“Kami memang kehilangan segala-galanya. Sejak bergabungnya Kerajaan Kutai ke Republik Indonesia. seluruh tanah Kutai yang dulunya masuk dalam kekuasaan kerajaan Kutai tidak jelas penyerahannya. Kita tidak tahu tanah mana saja yang diserahkan kepada pemerintah dan tanah mana yang dikelola Kerajaan Kutai,” ungkap Aji Wiwing, kerabat Kesultanan yang juga keponakan dari Adji Mohamad Sultan Salehoedin II.
Sengketa tanah yang mengatasnamakan hibah (grant) Kesultanan Kutai merebak di mana-mana. Mulai dari Balikpapan, Samarinda sampai Sangatta dan Bengalon Kutai Timur. Tanah-tanah itu sudah jadi pusat kota yang harganya mahal, sampai menjadi lokasi tambang PT KPC (Kaltim Prima Coal) yang produksinya terbesar di Indonesia. #
=====================================================================
Sengketa di Tanah Makmur
Sejak berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Kutai Kartanegara yang pernah berjaya di zamannya kehilangan tanah-tanahnya. Upaya menggugatpun selalu kandas.
Ibnu Arifuddin, Ch Siahaan
Siapa mengira kalau tanah eks kerajaan Kutai Kartanegara yang terbentang mulai sebagian Kabupaten Paser, Balikpapan sampai Bontang dan Kutai Timur adalah daerah kaya raya. Daerah yang kini bernama Provinsi Kalimantan Timur itu kini menjadi andalan devisa Indonesia, karena memproduksi minyak dan gas, batubara dan sumber daya alam lain. Data resmi pemerintah menyebutkan, tahun 2010 PDRB (product domestik regional bruto) Kaltim mencapai Rp359,98 triliun.
Begitu berlimpahnya hasil bumi eks kesultanan, tidak berarti menetes kepada kerabat kerajaan yang pernah berkuasa di daerah itu. “Kami tidak menerima royalty sepeserpun,” ucap putra mahkota H Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat. Bahkan sampai usia ke-87 tahun pada 24 Oktober nanti, Sultan mengaku masih berdiam di rumah warisan mertua.
Tanah-tanah eks kesultanan memang tidak jelas lagi bagaimana serah terimanya dengan pemerintah RI. Sejak bergabung dengan RIS tahun 1949, satu persatu kekuasaan yang membuat para bangsawan itu jaya terpreteli. Malah, setelah tahun 1959 sistim negara berubah kembali menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), status kesultanan nyaris habis sama sekali. Pemerintah menetapkan daerah itu menjadi DI (Daerah Istimewa) Kutai. Tapi itupun hanya beberapa tahun, sampai akhirnya statusnya sama dengan daerah otonom lainnya.
Tidak heran kalau akhirnya gugatan merebak di mana-mana. Kalangan kerabat kesultanan melakukan gugatan hukum ke pengadilan. Misal di Balikpapan, Mahkamah Agung (MA) menurunkan Surat Keputusan (SK) Kasasi bernomor 2204.K/Pdt/2007 tertanggal 31 Agustus 2009 yang memenangkan Aji Bachrun dkk – kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara, dalam perkara sengketa tanah seluas 25.650 meter persegi di Komplek Pertokoan Cemara Rindang dengan Wali Kota Balikpapan dkk. Sedikitnya ada 190 ruko rencananya akan dieksekusi oleh PN (Pengadilan Negeri) Balikpapan.
Sultan Kutai Kartanegara juga menggugat PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 22 Juli 2003. Di era Bupati Syaukani HR itu, pihak kesultanan mengklaim tanah seluas 447.000 hektar yang membentang dari Sangatta sampai Bengalon adalah milik kesultanan. PT Kaltim Prima Coal dituding menyerobot seluas 33.385 hektar untuk operasi tambang, perkantoran dan pemukiman karyawan.
Kesultanan Kukar menuntut KPC ke Pengadilan Negeri Tenggarong dengan ganti rugi sebesar USA $453.530, setara Rp3.383.500.000. Ada dokumen dari pemerintahan Hindia Belanda yang mendukung siapa yang memiliki tanah itu. Tapi gugatan itu kandas di Pengadilan Negeri Tenggarong maupun di Pengadilan Tinggi. Kemudian pihak kesultanan ingin berdamai dengan perusahaan dan mengajukan ganti rugi Rp1,3 miliar, tapi itu juga ditolak oleh manajemen KPC.
Kasus lain yang menyebut-nyebut tanah eks kesultanan, juga terjadi di Gunung Lipan Samarinda. Tanah yang kini menjadi perumahan mewah Pesona Mahakam, Lipan Hill, Pom Bensin (SPBU) milik Sayid Sjafran, mantan Sekdaprov Kaltim yang juga mantan Bupati Kutai, sampai tanah kampus Politeknik dan ratusan rumah penduduk, diklaim sebagai milik Johariyah. Total tanahnya diklaim sebesar 61 hektar.
Dayang Johariyah mengaku turunan langsung Sultan Sulaiman, yang pernah berkuasa di Kerajaan Kutai. Johariyah adalah cucu dari Aji Raden Botoh, salah seorang anak lelaki Sultan Sulaiman.
Sejak Johariyah tampil beraksi untuk menguasai tanah-tanah yang telah dikuasai banyak pihak tersebut, ketegangan terjadi. Mereka bertekad melawan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mempersoalkan surat bukti Hak Waris yang menjadi modal Johariyah. Mereka menuding palsu, karena menemukan data berbeda bahwa Sultan Sulaiman – menurut data mereka – telah wafat pada tahun 1899, sedangkan surat waris dari Sultan kepada kakeknya Johariyah tertera tahun 1909 alias 10 tahun setelah Sultan mangkat.
Tidak cukup sampai di situ, tanah di jantung kota Kelurahan Panji Tenggarong yang sekarang berdiri Kedaton sampai ke kawasan monumen juga diklaim sebagai tanah perwatasan milik almarhum Adji Gao atau Adji Pangeran Ratu yang pernah jadi Menteri Kesultanan Kutai Ing Martadipura. Keturunan Adji Gao kini mempersoalkan pemerintah yang menguasai tanah-tanah itu tanpa adanya ganti rugi.
Keturunan Adji Gao mengklaim tanah di situ milik mereka sesuai surat akte kepemilikan tanah tahun 1907 yang dibuat dalam bahasa Belanda dan sudah dilengkapi dengan salinan terjemahan bahasa Indonesia. Berdasarkan akte surat tanah itu disebutkan lokasi tanah perwatasan yang luasnya mencapai kurang lebih 4 hektar, dulunya berada di samping rumah sakit, sekarang lokasi itu sudah berubah menjadi bangunan Mesjid Agung, Monumen Pancasila yang dulu adalah lapangan sepakbola dan Bioskop lama sekarang gedung Dharma Wanita serta bangunan Kedaton sekarang.
Pihak kesultanan sendiri tidak berdaya dengan banyaknya gugatan yang muncul. Karena diakui memang ada tanah-tanah yang dihibahkan oleh sultan, khususnya pada zaman Sultan Sulaiman tahun 1850-an, namun soal tanah hibah itu sudah dianulir sekitar tahun 1931, ketika kerajaan Kutai dipegang oleh Sultan AM Parikesit.
“Tanah rakyat ini memang dihibahkan yang mulia paduka raja Sultan Sulaiman kepada masyarakat kala itu dengan tidak memandang suku apapun,” jelas Aji Wiwing, salah seorang kerabat kesultanan.
Dengan aturan menarik kembali tanah-tanah yang telah dihibahkan (grant), itu berarti seluruh tanah dikuasai kembali oleh kesultanan. Aturan ini dibuat langsung oleh Sultan AM Parikesit dengan tujuan mengatur dan menyelesaikan kasus-kasus tanah yang timbul dalam masyarakat ketika itu. #
==================================================================
Jelang 87 Tahun Usia Sultan
Sultan Kutai Ing Martadipura di Tenggarong, H Adji Muhammad Salehuddin II, pada 24 Oktober 2011 nanti berusia 87 tahun.
Fahran, Ibnu Arifuddin
Tak banyak yang berubah dari Sultan Kutai Ing Martadipura H Adji Muhammad Salehuddin II. Raut wajah tuanya masih memancarkan sinar yang seakan menunjukkan optimistis. Ia sangat sederhana dan sesekali hadir dalam acara yang digelar pemerintah.
Salehuddin II ditabalkan menjadi Sultan secara utuh pada 22 September 2001. Penobatannya sendiri diakui oleh seluruh kerabat Kesultanan Kutai ing Martadipura dan Pemkab Kutai Kartanegara. Malah, ketika Pemkab Kukar di era pemerintahan Syaukani HR, ia pun dibangunkan sebuah keraton (kedaton) senilai Rp 11 miliar lebih. Letaknya persis di belakang museum Mulawarman, Tenggarong, bekas istana atau pusat kerajaan tempo dulu.
Sultan pun diminta meninggali kedaton yang tergolong mewah itu. Sebuah tempat tinggal orang terpandang yang memang representatif, berhawa sejuk, berperabotan serba mengkilap dan berbagai fasilitas menggiurkan lainnya. Namun, Sultan Salehuddin II agaknya lain dari yang lain. Ia malah menolak dengan alasan merasa trauma tinggal di tempat yang bernama dan bernuansa istana.
Sultan menceritakan masa lalunya. Ia trauma kalau mengingat kejadian saat ayahandanya Sultan Adji Muhammad Parikesit mangkat. Ada semacam kenangan pahit dan menyedihkan yang seakan sukar dilupakannya.
Tanggal 27 Oktober nanti, Pangeran Prabu berusia 87 tahun. Tapi sampai setua itu ia mengaku tidak pernah menerima royalti dari usaha-usaha pertambangan maupun eksploitasi hutan.
“Satu rupiah pun saya tidak pernah memperoleh royalti seperti itu,” jawabnya pada suatu hari kepada wartawan Bmagazine.
Sultan pun bercerita, tanah-tanah warisan kesultanan pun ia tidak tahu. Sudah dijadikan bangunan apa dan siapa pula tuannya. Sultan Salehuddin II ini mengaku tidak memikirkannya lagi, kecuali ia berpikir menjalani masa tuanya bersama istri tercinta, sang permaisuri Hj Adji Ratu Aida. Putra putrinya pun sudah berkeluarga semua dan hidup mandiri.
Hiburan satu-satunya yang ia sukai bila putra-putrinya datang menengok dengan cucu-cucunya yang jumlahnya setengah lusinan. Dan, salah satu putranya, HA Ali Zain Faisal pernah menyatakan kalau ayahandanya (Sultan Salehuddin II) sampai setua itu masih belum memiliki rumah pribadi.
Benarkah begitu? Sultan sendiri membenarkannya. “Rumah tua yang aku diami bersama istri ini adalah rumah mertua. Saya mendiami rumah ini sejak berumah tangga sampai hari tua seperti sekarang. Yang penting, saya sudah menjalankan kewajiban membesarkan anak-anak dan memberikan pendidikan hingga lima anak-anak dapat hidup mandiri dan membina rumah tangga,” aku Sultan Salehuddin.
Di rumah tua itu sendiri ada aktivitas Sultan Salehuddin yang mungkin belum banyak diketahui publik. Sultan Salehuddin II ini ternyata memiliki kelebihan atau kemampuan menyembuhkan anak-anak balita yang menderita sakit. Misalnya seperti demam panas dan bermacam-macam penyakit yang menyerang anak balita pada umumnya.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar