menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Minggu, 25 September 2011
Kaki Tangan KPC
Adakah orang yang merasa ‘berdosa’ atas gagalnya Pemerintah Provinsi Kaltim memperoleh hak beli saham dari aksi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) tahun 2002 lalu? Atau adakah oknum-oknum di Kaltim yang ikut merasa bersalah karena akhirnya perusahaan batubara itu membatalkan janjinya memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar?
Topik mengenai PT KPC seperti tak pernah surut bagi publik Kaltim. Simak sejak berdiri tahun 1982 dan beroperasi tahun 1992, sepak terjang perusahaan batubara itu ibarat bara yang selalu menyala. Bahkan membakar seluruh komponen masyarakat, tak hanya di sekitar tambang tapi meluas ke seluruh penjuru. Tak hanya di dalam negeri, tapi isunya sampai luar negeri.
Harap maklum, karena inilah pertambangan terbesar di Indonesia. Pemerintah RI memberikan areal konsesi PT KPC di Sangatta dan Bengalon Kutai Timur seluas 90.960 hektar dengan durasi izin sampai tahun 2021. Sejak tahun 2010 silam, perusahaan ini merancang produksi sebesar 70 juta Metrik Ton per tahun. Inilah angka produksi paling spektakuler yang boleh diusulkan masuk MURI (Museum Rekor Indonesia).
Pemilik awal PT KPC adalah para kampiun tambang internasional, Conzinc Rio Tinto of Australia dan British Petroleum (BP). Mereka meletakkan saham 50-50 persen dan pada 2003 silam – untuk alasan kewajiban divestasi saham - dialihkan ke perusahaan, Sangatta Holding Ltd dan Kalimantan Coal Ltd.
Hiruk pikuk tentang KPC kian berkobar-kobar ketika diketahui ada untung besar para pemegang konsesi di tambang itu. Apalagi PT KPC sebagai pemegang izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) generasi pertama, wajib melakukan divestasi.
Inilah awal munculnya oknum-oknum yang berusaha tampil bak ‘pejuang’ daerah. Tidak hanya di masyarakat, tapi juga para politisi dan profesi lainnya. Begitu menyentuh persoalan PT KPC, langsung saja ada yang tersengat. Apalagi setelah akhirnya pada tahun 2003, BUMI alias Bumi Resources berhasil mengakuisisi PT KPC. BUMI adalah perusahaan nasional yang di dalamnya terdapat Aburizal Bakrie dan keluarganya.
Menangnya BUMI segera membentuk kelompok anti dan pembela. Karena ada nama Aburizal Bakrie yang Ketua Umum Partai Golkar, segera pula PT KPC seolah telah berwarna kuning. Apalagi, tiba-tiba di dalam jajaran komisaris muncul nama H Abdulah Popo Parulian. Publik Kaltim yang selama lebih sepuluh tahun dilanda kemarahan karena menganggap PT KPC tidak member manfaat, seakan terobati. Popo Parulian adalah mantan Ketua Kadin Kaltim dan cukup dikenal.
Popo Parulian diharapkan menjadi jembatan aspirasi rakyat Kaltim untuk membuat kebijakan dewan direksi PT KPC yang benar-benar tepat. Selama ini pemerintah maupun komponen masyarakat merasa sangat sulit mengakses dewan direksi PT KPC, karena semua pimpinan pengambil keputusan ada di Jakarta.
Sayangnya, harapan agar Popo menjadi jembatan rakyat Kaltim tidak berjalan sesuai harapan. Ketika muncul persengketaan antara warga Kaltim yang menggugat ke arbitrase ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes), janji memberikan konpensasi sebesar Rp285 miliar asal gugatan dicabut, malah dibatalkan.
Anehnya, para politisi dan pemerintah tidak ada yang begitu mempersoalkan pembatalan pemberian konpensasi sebesar Rp285 miliar itu. Hanya Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kaltim yang dalam pandangan umumnya, pekan tadi, mencuatkan lagi soal dana konpensasi itu. Benarkah itu semua karena ada banyak uang yang beredar di DPRD Kaltim agar jadi pembela, kaki tangan KPC? #
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kecewa Dengan Popo Parulian
Nama Popo Parulian tercantum dalam jajaran Komisaris PT Kaltim Prima Coal (KPC) sejak PT Bumi Resources mengambilalih saham tahun 2003 silam.
Sedikit warga Kalimantan Timur yang mengetahui, bahwa dalam jajaran direksi PT Kaltim Prima Coal (KPC) terdapat nama H Abdulah Popo Parulian. Dia adalah mantan Ketua Kadinda Kaltim, alumni Fakultas Hukum Untag Samarinda dan pernah jaya dalam bisnis kayu di bawah bendera PT Kelawit Wana Lestari.
Jabatan Popo di PT KPC sebagai salah seorang komisaris, bersama Rosan P Roeslani dan Nalinkant A Rathod (Presiden Komisaris). Belum diketahui pasti apakah masuknya nama Popo terkait kepemilikan saham pribadi di perusahaan batubara terbesar di Indonesia itu atau mewakili masyarakat Kaltim dan Kutai Timur melalui Perusda PT Kutai Timur Energi yang semula memiliki saham 5 persen.
Rosan adalah bos perusahaan investasi PT Recapital Advisory. Hubungannya dengan BUMI, induk perusahaan PT KPC semakin mengikat, apalagi setelah BUMI berniat menyuntik dana kepada Recapital untuk membeli 90 persen saham PT Berau Coal dari PT Armadian Tritunggal.
Sementara Nalinkant A Rathod diketahui adalah ahli finansial berkewarganegaraan India. Ia bergabung dalam Grup Bakrie tahun 1987 dan terlibat dalam proses pembelian saham PT KPC dari Rio Tinto dan British Petroleum.
Saat ini Popo tinggal di Jakarta, ia berkantor di Bakrie Tower Senopati dengan bendera beberapa perusahaan bidang transportasi laut yang melayani pengangkutan tambang, termasuk batubara. Saat Bmagazine menyambangi di Lantai 9 gedung megah itu, Popo nampak tidak begitu menyukai menceritakan bagaimana keterlibatannya hingga menjadi komisaris di PT KPC.
Kedekatan Popo Parulian dengan Aburizal Bakrie sudah terjalin sejak keduanya masih menjadi Ketua Kadin. Aburizal sebagai Ketua Umum Kadin pusat, Popo menjadi Ketua Kadin Kaltim. Ketika mulai ribut-ribut soal divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Popo memang termasuk pengusaha yang ikut bersemangat di daerah. Sejumlah gerakan dilakukan termasuk di antaranya mengerahkan potensi pemuda untuk mengkampanyekan permusuhan kepada para pemegang saham pertama PT KPC.
“Banyak yang terlibat dalam aksi idealisme itu, karena rakyat Kaltim benar-benar menginginkan divestasi saham PT KPC bisa dimiliki oleh pengusaha atau Perusda asal Kaltim,” kenang Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Momentum reformasi turut mendorong masyarakat untuk mendapat porsi yang lebih dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Kaltim. Mulai dari soal rekrutmen karyawan sampai penyertaan saham daerah. Popo Parulian, kata Redy, ternyata punya agenda tersendiri yang belakangan baru kita ketahui membawa misi Aburizal Bakrie dengan BUMI-nya.
Padahal, waktu itu ada juga agenda Gubernur Kaltim Suwarna AF dengan menggandeng PT Intan Bumi Inti Pradana sebagai calon pembeli saham PT KPC yang bakal didivestasi. Perusahaan yang digandeng Suwarna ini disebut-sebut milik Salim Grup.
Pada akhirnya BUMI memang tampil sebagai pemenang. Setelah melewati manuver komponen daerah Kaltim dan Kutai Timur, muncul kesepakatan dari Bupati Kutai Timur Mahyudin, dengan syarat Perusda juga diberikan hak istimewa untuk membeli saham. Dari 18,5 persen saham yang ditawarkan, ternyata Perusda tidak punya uang untuk membeli sehingga diserahkan kembali kepada BUMI dengan harga yang sama ketika membeli 18,5 persen.
Dengan demikian Perusda yang diwakili PT Kutai Timur Energi tetap memiliki 5 persen saham. Setelah dijual kembali harga 5 persen saham PT KPC tersebut senilai Rp576 miliar.
Teka-teki masuknya nama Popo Parulian dalam jajaran komisaris PT KPC diduga karena adanya unsur Kalimantan Timur yang melekat. Apalagi mengenai divestasi saham itu, kata Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, disebuah media, sudah ada kesepakatan mengenai siapa yang berhak membelinya pada sidang kabinet terbatas tanggal 31 Juli 2002. Presiden Megawati waktu itu menyepakati calon pembeli 51 persen saham yang didivestasi adalah 20 persen saham diberiikan hak istimewa kepada pemerintah pusat melalui BUMN PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) untuk membelinya, dan sisanya 31 persen dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Ternyata hak istimewa yang diketahui publik itu kan hanya untuk PT Kutai Timur Energi. Jadi hak istimewa untuk Perusda Melati Bhakti Satya Pemprov Kaltim itu siapa yang mengambil. Saya mencurigai di situ Popo Parulian masuk, sehingga bisa jadi komisaris,” ujar Redy.
Tadinya, publik Kaltim cukup terwakili dengan masuknya nama Popo sebagai komisaris. Sebab sebagai tokoh pengusaha di Kaltim, setidaknya bisa menjadi jembatan antara keinginan masyarakat daerah ini kepada perusahaan yang cenderung tersentral di Jakarta dan tidak tersentuh.
“Dulu, ketika KPC masih dimiiki Rio Tinto dan BP, masyarakat Kaltim masih mudah berhubungan dengan Pak Noke Kiroyan sebagai Presdir Rio Tinto Indonesia. Sekarang setelah sahamnya dikuasai BUMI malah sulit sekali,” ujarnya.
Popo Parulian tidak berpihak pada keinginan masyarakat Kaltim, tapi justru jadi pelindung perusahaan. Redy mencontohkan tentang janji konpensasi Rp285 miliar kalau warga Kaltim mencabut gugatan di arbitrase ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes) Singapura. “Mestinya Popo yang menjembatani supaya janji itu dipenuhi. Eh, sekarang malah seenaknya dibatalkan dengan berbagai alasan,” ujarnya. #
Susunan Direksi PT KPC
Nalinkant A. Rathod (Presiden Komisaris)
Abdullah Popo Parulian (Komisaris)
Ari Saptari Hudaya (Presiden Direktur)
Kenneth Patrick Farrel (Direktur)
Hanibal S. Anwar (Direktur)
Rosan Perkasa Roeslani (Komisaris)
--=-----------------------------------------------------
Biodata
H Abdullah Popo Parulian
Nama Asal: Ngui Tjing Po
Lahir: 28 Oktober 1961
Sekolah Terakhir: Fakultas Hukum Untag Samarinda
Ketua Kadinda Kaltim periode 2007 – 2012
Bendahara Umum DPP Pemuda Pancasila 2009-2013
Bendahara Pengurus Besar Taekwondo Indonesia
Email: popoparulian@yahoo.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengejar Saham yang Tersisa
Hak rakyat Kaltim bukan hanya dari janji konpensasi PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp285 miliar, tapi masih ada hak istimewa untuk membeli saham sebesar 12,4 persen.
Charles Siahaan, Muhammad Idris
Putus asa. Itu yang terasa di Gedung DPRD Kaltim Karang Paci Samarinda jika membincangkan kemelut di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Padahal, inilah satu-satunya lembaga yang menjadi harapan rakyat agar hak-hak daerah di perusahaan seperti KPC bisa diraih kembali.
“Ya, praktis cuma DPRD yang bisa diandalkan rakyat. Karena mereka punya akses dan power ke pemerintah di daerah maupun pusat. Kalau anggota DPRD sudah melempem, masuk angin, ya mau apa lagi. Biar rakyat yang mengadili,” ujar Redy Zamzam, Ketua Komite Hak Rakyat Kaltim.
Karena masih mempercayai DPRD Kaltim, pekan tadi, Redy bersama tim menemui beberapa anggota legislative di sana. Misalnya Darlis Patolongi (Ketua PAN Kaltim), Rusman Yakub (Ketua PPP Kaltim), Syaifuddin DJ (Gerindra) dan Andi Harun (Partai Patriot).
“Kami menyampaikan kepada mereka bahwa harus ada lembaga yang konsen terhadap perjuangan merebut hak-hak Kaltim yang terabaikan. Misalnya dalam hal divestasi saham perusahaan pertambangan batubara generasi pertama, kemudian soal 285 miliar rupiah yang dijanjikan PT KPC,” cerita Redy kepada Bmagazine.
Darlis Patolongi, kata Redy, menyambut baik gagasan itu. Bahkan ia menyarankan agar persoalan divestasi perusahaan tambang berizin PKP2B generasi pertama supaya difasilitasi agar divestasinya bisa dirasakan oleh masyarakat Kaltim melalui Perusda. “Kan bukan cuma KPC yang wajib divestasi, masih ada Berau Coal, Kideco dan lainnya. Coba dicermati lagi supaya daerah kebagian,” kata Darlis kepada Redy.
Dalam persoalan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC), Iwan Lolang, salah seorang anggota DPRD Kaltim dari Partai Gerindra, setuju masuk menyisakan persoalan bahkan bisa dikatagorikan belum dilaksanakan. Kalaupun pemilik PT KPC sekarang mengklaim sudah melaksanakan divestasi, bisa disoal itu illegal karena tahapan dan proseduralnya tidak dilakukan.
“Bukan hanya kemiskinan yang punya lingkaran setan, ternyata proses divestasi sama. Propinsi menuntut, kabupaten menolak. Saat kabupaten menuntut, propinsi diam . Percuma bentuk tim, kalau ada penyusup dan pengabar berita 'data'. Toh akhirnya diputuskan oleh orang-orang di luar tim,” keluh Iwan menjawab status Charles Siahaan dalam akun facebook.
Ruang untuk membuka lagi persoalan divestasi itu kian terbuka, dikaitkan statemen Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak soal adanya keputusan sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati tahun 2002.
Waktu itu sudah ditetapkan siapa saja yang punya hak istimewa membeli 51 persen saham PT KPC yang wajib didivestasi.
Sebanyak 20 persen adalah hak PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) mewakili pemerintah pusat, dan kemudian 31 persen lainnya dibagi menjadi hak istimewa Perusda Melati Bhakti Satya (Pemprov Kaltim) sebesar 12,4 persen dan Perusda PT Kutai Timur Energi sebesar 18,6 persen.
“Kuncinya, gubernur dan DPRD bersatu. Jangan terpecah-pecah atau mau dipecah-pecah oleh oknum KPC,” ujar Redy.
Rusman Yakub, anggota legislatif yang juga Ketua PPP Kaltim memandang perlunya kesadaran bersama agar tidak lagi hak-hak Kaltim dikalahkan oleh kepentingan korporasi. “Masa lalu itu cukup jadi pelajaran,” ujarnya .
Bagaimana dengan Andi Harun dari Partai Patriot. Ketika Redy Zamzam melontarkan harapannya agar tersambung dengan Popo Parulian, salah seorang komisaris PT KPC, dengan tangkas Andi mengakui bahwa keinginan seperti itu sangat sulit. “Aku nelpon saja tidak diangkat,” ujar Andi.
Di DPRD Kaltim, yang terlihat konsisten memperjuangkan dana konpensasi Rp285 miliar atas pencabutan perkara di arbitrase ICSID Singapura adalah Fraksi PDI Perjuangan. Lewat jurubicaranya, Sudarno, dalam pandangan umum atas nota keuangan APBD Perubahan, pekan tadi, ia menyampaikan kepada pemerintah agar mengambil sikap. Sikap ini sama ketika masalah janji itu mencuat tahun lalu.
Beredar kabar, DPRD Kaltim memang terpecah ketika ada usulan untuk membentuk Pansus PT KPC. Ada yang mengisukan beredar sejumlah uang untuk menggagalkan upaya membuka lagi persoalan divestasi dan masalah lain di perusahaan tersebut.
Hatta Zainal, Ketua Fraksi Partai Golkar, mengakui ada persoalan dilematis ketika berbicara dana konpensasi Rp285 miliar itu. Karena perolehan seperti itu bisa saja dianggap menjadi gratifikasi dan melanggar hukum. “Kita mengalami dilema di situ,” kilah Hatta dalam perbincangan dengan Bmagazine di kafe KopiLuwak Atrium Senen Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rakyat Kaltim sudah merasakan kekecewaan yang dalam dengan PT KPC. Perusahaan ini mulai menakutkan para politikus, karena adanya nama Aburizal Bakrie di dalam perusahaan induk BUMI (Bumi Resources). Aburizal memiliki jaringan kuat di semua partai yang tersentral di Jakarta, sehingga muncul anggapan kalau mengganggu perusahaan PT KPC, maka berisiko dalam karir di partai sendiri. Bukan hanya untuk kader Partai Golkar, tapi partai-partai lainnya. #
========================================================================================
-Saifuddin Dj, Anggota DPRD Kaltim
KPC Harus Beritikat Baik
Seharusnya KPC memiliki itikad baik terhadap Kaltim untuk membayar dana konpensasi Rp285 miliar tersebut. Sekarang ini kan terasa mereka ini angkuh. Padahal, mereka kan melakukan eksploitasi secara besar-besaran di bumi Kaltim. Kalau sudah dijanjikan, itu kewajiban, jangan malah menghindar.
Kami di DPRD bersama pemerintah akan tetap menagih pembayaran tersebut. Saya kita perlu membentuk tim kembali bersama pemerintah. Ya, DPRD dan pemerintah harus bekerjasama dalam hal ini.
Saya juga menyesalkan sikap Popo Parulian sebagai komisaris PT KPC, tetapi tidak berusaha untuk menggolkan kewajiban konpensasi itu. Sebagai warga Kaltim yang berada di dewan komisaris, mestinya dia ikut memperjuangkan. Jangan malah mendiamkan.
Menyangkut divestasi saham, kami juga setuju agar perusahaan tambang batubar berizin PKP2B generasi pertama supaya diselesaikan persoalan divestasinya. Kan ada Berau Coal, Kideco dan Indominco. #M Idris
=
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar