Sejak otonomi daerah bergulir, Pemerintah Kota Samarinda sudah tergiur untuk menerbitkan izin pertambangan batubara. Walau visi dan misi tercatat sebagai kota jasa dan perdagangan dan bukan pertambangan, tapi tak menyurutkan semangat para pemimpinnya waktu itu. Setidaknya ada 63 izin tambang skala kecil diterbitkan Wali Kota Samarinda era Achmad Amins.
Ditambah 5 IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan beberapa PKP2B yang izinnya dari pemerintah pusat, maka setidaknya tercaplok 43 ribu hektar tanah daratan Kota Samarinda berada di kawasan tambang. Atau sekitar 60 persen luas keseluruhan Samarinda yang mencapai 71 ribu hektar.
Tidak mengherankan kalau hasilnya adalah bencana lumpur, bencana banjir, bencana longsor, bencana jalan-jalan umum yang rusak karena dilalui tambang dan bencana dangkalnya sungai. Bahkan terputusnya bentang alam karena bukit-bukit yang dipotong.
Kian tahun, bencana itu bertambah lagi. Seperti yang terjadi di areal tambang PT Himko Coal Kelurahan Sambutan Samarinda Ilir, dua pekan silam. Tiga bocah yang mestinya ceria di sekolah harus meregang nyawa. Ketiganya, Ruh Zunaidi, Rahmadhani dan Miftahul Zanah, tewas tenggelam di kolam tambang perusahaan.
Hilangnya nyawa bisa dikatagorikan takdir. Tapi keberadaan ketiga bocah sampai berada di dalam areal kolam maut pertambangan, menguak fakta-fakta begitu lalainya PT Himko Coal menjaga arealnya. Perusahaan tidak melakukan pemagaran dan membiarkan areal tambang hingga siapa saja bisa memasukinya.
Pemerintah Kota Samarinda juga telah bertindak sembrono dalam menerbitkan izin-izin tambang, tanpa dilengkapi dengan instrument pendukung. Misalnya pengawasan kepada perusahaan yang lalai tidak memagar arealnya. Pemerintah membiarkan izin-izin yang diterbitkan, setelah menerima ‘bayaran’ berupa pajak atau iuran resmi yang ditentukan pemerintah. Setelah menerima uangnya, kawasan tambang dibiarkan sampai merana, bahkan membiarkan perusahaan seenaknya tidak menimbun kembali, tidak memagar dan membiarkan jalan-jalan umum dipakai mobil tambang.
Warga Samarinda tengah berada di fase kemarahan stadium satu. Ditambah adanya kematian tiga bocah di lahan PT Himko Coal Sambutan, kemarahan itu mulai kian memunculkan ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Para orangtua mulai ketakutan terhadap anak-anak mereka, karena lokasi kolam terbuka seperti di PT Himko Coal ada di mana-mana. Sebutlah di depan Perumnas Bengkuring yang lahannya dibiarkan porak poranda setelah ditambang semi mekanis untuk dijual karungan.
Sayangnya pemerintahan Syaharie Jaang – Nusyirwan Ismail tak juga tergerak hatinya untuk menjadikan kasus kematian ketiga bocah itu untuk ‘memukul’ semua pengusaha tambang daerah ini. Padahal, Syaharie Jaang dan Nusyirwan tinggal memerintahkan agar perusahaan memagar dan tidak mematuhinya bisa mencabut izinnya. Sekali lagi, sayang, tidak ada itikad Pemkot Samarinda menertibkan. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar