Aksi ‘heroik’ Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dengan mengajukan gugatan JR (judicial review) ke MK (Mahkamah Konstitusi) di Jakarta, menjadi aksi pemanasan dari reaksi ketidakpuasan rakyat daerah dengan pusat.
Pilih mana. Judicial review, otonomi khusus atau Negara federal? Pertanyaan itu sengaja dilempar pengelola akun Bmagazine di jejaring sosial facebook. Hasilnya, selama dua hari ditayangkan, para member yang umumnya kalangan terdidik itu memilih Otsus atau otonomi khusus, 52 persen. Posisi kedua memilih Kaltim menjadi negara federal (33 persen) dan selebihnya membuat pilihan lain seperti ‘merdeka’ dan ‘perang’.
Tentu saja, ini bukan polling ilmiah seperti dilakukan lembaga riset atau lembaga survei yang kredibel. Hanya untuk mengukur apa masyarakat ada yang peduli terhadap perjuangan MRKTB yang segera mengajukan surat gugatan. Hasilnya, masyarakat peduli, tapi lebih senang kalau tuntutan lebih tinggi lagi, yaitu otonomi khusus.
Apa sih beda tuntuan JR, Otsus dan negara federal?
Kalau mengikuti rencana gugatan dari MRKTB, sebenarnya ini berawal dari ketidakpuasan Pemerintah Kalimantan Timur terhadap dana bagi hasil (DBH) sektor pertambangan. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas serta batubara, berdasar UU Nomor 25 tahun 1999 dan telah diubah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, seluruh kabupaten / kota dan provinsi menerima sekitar Rp10 triliun dari DBH. Seperti diketahui dalam APBD, selain ada DBH ada juga DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).
Angka sekitar Rp10 triliun itu dirasa tidak berkeadilan. Apalagi diketahui kontribusi Kaltim pada devisa mencapai Rp320 triliun per tahun.
Dari dasar itu, rupanya MRKTB menggugat pasal pembaginya agar dinaikkan angkanya menjadi setidaknya 30 persen sektor Migas untuk Kaltim. Sistem bagi hasil yang dianut sekarang, yakni dari minyak bumi 84,5 persen pemerintah pusat dan 15,5 persen pemerintah daerah, serta gas bumi sebanyak 69,5 persen pemerintah pusat dan pemerintah daerah 30,5 persen.
Bagaimana dengan Otsus? Kalau mengikuti daerah-daerah seperti Aceh dan Papua yang telah menikmati status Otsus, angka APBD mereka naik sampai 150 persen dari kondisi sebelumnya. Ada dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk membantu Papua dan Aceh. Walaupun hitung-hitungannya belum jelas dari mana ‘penyisihan’ dananya, tapi setidaknya hasil bumi dan sumber daya alam sudah lebih besar kembali ke daerah.
Pilihan menjadi negara federal, sebenarnya lebih pada keniscayaan. Masih banyak tokoh-tokoh yang merasa tidak yakin Kaltim bisa berhasil dengan menempuh upayagugatan itu? Seakan-akan tuntutan menjadi negara federal adalah sama dengan memisahkan diri dari Indonesia.
Rendi S Ismail, salah seorang tokoh di Balikpapan, masih percaya Kaltim dapat menempuh upaya itu. “Itu alternative pilihan,” katanya.
Dari sudut sejarah, upaya federasi itu sebenarnya sistim yang sudah pernah ada. Yakni berkuasanya para sultan dan raja di Kalimantan. Kesultanan dan kerajaan di Kalimantan bersedia melebur dengan pemerintah Indonesia, tapi kemudian – entah kenapa – ikut menanggalkan semua kekuasaannya. Inilah kesalahan fatal dari para pendiri negeri ini, karena sistim negara saat ini tidak memberikan kemakmuran pada rakyat Kalimantan Timur.
Jika dikembalikan pada sistim negara federal, pemerintahan lokal bisa berkuasa atas kebijakan sumber daya alam dan lainnya di daerah sendiri. #
Kaltim Bisa Lebih Keras
Judicial Review atas UU 33/2004 adalah tuntutan akan hak Kaltim, penyumbang Rp 320 trilyun APBN, jika upaya ini kandas jalan keluarnya otonomi khusus atau federal.
Kalimantan Timur, memberikan kontribusi hingga seperempat bagian total APBN Rp1.229 trilyun atau sebesar Rp 320 trilyun, Rp 130 trilyun di antaranya dari Kutai Kartanegara. Secara keseluruhan Kaltim memperoleh pengembalian sekitar Rp 17 trilyun, sedangkan Kutai Kartanegara hanya memperoleh Rp2,3 trilyun.
Sisanya dinikmati oleh sebagian besar daerah beroreintasi industri dan pariwisata. Duit dari SDA Kaltim paling besar dinikmati oleh DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Coba lihat indeks pembangunan manusia (IPM) empat provinsi itu berada di atas Kalimantan Timur yang menempati rangking 9, IPM nasional.
Infraststruktur Kaltim jauh di bawah Yogyakarta, jauh di bawah Jabar. Apalagi Bali dan Kota Manado. Wajar jika kemudian rakyat Kaltim geram dan berontak menuntut pembagian yang proporsional atas royalti sumberdaya alam bagi pembangunan Kaltim yang lebih baik.
Coba lihat lagi perjanjian kontrak pertambangan yang tidak seragam. Misal: equity share pertambangan minyak bumi berlain-lainan, perhitungan net operating income (NOI) untuk migas tidak jelas. Bahkan kontraktor sering mencantumkan biaya operasional terlalu besar sehingga angka NOI sangat kecil.
Penerimaan SDA dikumpulkan berdasarkan letak kantor perusahaan, bukan lokasi eksploitasi, ditambah lagi lokasi penambangan off shore belum diatur jelas dalam undang - undang. “Ada banyak departemen yang terlibat dalam penerimaan SDA, sulit dikontrol akurasinya. Cara penarikan dan tarif iuran tidak seragam,” kata Ilham Zain, kandidat Master Administrasi Publik UGM.
PKP2B seolah kitab suci yang tak dapat dikoreksi.Bahkan akibat dominasi pemerintah pusat dalam pengaturan tataniaga batubara menyeret banyak pejabat daerah masuk bui dan bermasalah secara hukum. Awang Faroek Ishak adalah salah satunya yang jadi tumbal PKP2B PT Kaltim Prima Coal.
Adalah Farid Wadjdy, Kamis 14 April 2011, saat melawat ke utara Kalimatan Timur secara resmi, Wagub Kaltim itu menyatakan gugatan judicial review terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan harus dimulai dengan seksama dan sistimatis agar tidak gagal.
Sebelumnya dari Karang Paci, Ir Gunawarman juga melontarkan tekad DPRD Kaltim untuk mempertanyakan pembagian yang kurang adil atas kontribusi daerahnya sebesar Rp 320 trilyun pertahun ke pemerintah pusat dan kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke Kaltim untuk dibagi ke 14 kota dan kabupaten.
Angka kemiskinan yang mencapai 7,60% dan pengangguran sebanyak 10,10%. Memberikan kontribusi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim yang berada di rangking 10 nasional. Padahal daerah ini menyumbang APBN sebesar Rp 320 triliun.
“Coba bayangkan, yang kembali ke kita kecil sekali, jalan di pedalaman amburadul, masyarakat terpencil dan perbatasan terbengkalai, IPM kita terendah dibanding daerah penghasil migas lainnya. Jadi jangan salhkan kami, jika menempuh upaya hukum judicial review, karena sejatinya kita berhak menikmati lebih besar,” kata Abraham Ingan, Ketua Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), ketika berbincang dengan Muhammad Idris, di Balikpapan pekan tadi.
Bayangkan, Kaltim yang mengalami perubahan morfologi laut, darat dan ketercemaran udara akibat eksploitasi migas hanya memperoleh 15 persen dari minyak dan 30 persen gas dari perut bumi Kalimantan Timur. ”Bagian terbesar dinikmati pusat. Celakanya lagi, penerima pembagian dari Kaltim ke daerah lain lebih besar dinikmati oleh daerah daerah yang beroreintasi industri dan pariwisata, sementara kami tidak punya jalanan yang bagus, pendidikan yang memadai,” kata Abraham.
Road show yang dilakukan DPRD Kaltim ke daerah penghasil migas lainnya, untuk bersama sama melakukan gugatan JR menurut Ir Gunawarman, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan hasil positif. “Langkah ini untuk memperkuat dukungan agar pemerintah pusat mengubah porsi anggaran dari alokasi APBN ke Kaltim yang selama ini masih dirasa tidak proporsional,” katanya.
Rendi S Ismael, tokoh muda Balikpapan malah lebih lantang meneriakkan JR. ”Jika upaya yang dilakukan mentok akibat intrik politik pemerintah pusat dan berbagai dalih yang tidak masuk akal, agaknya pantas kalau sekalian kita menuntut negara federal Kalimantan Timur,” katanya, beberapa waktu lalu di Balikpapan.
Memang, menurut Rendi aspek kesejarahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan acuan negara federal sekarang akan sangat berbeda. ”Kalau dulu adalah konsep pemaksaan Belanda akibat Konfrensi Meja Bundar, sekarang adalah tuntutan keadilan pembiayaan pembangunan agar Kaltim lebih sejahtera,” katanya.
Ini juga senada dengan tekad Abraham Ingan yang jika gagal di judicial review akan menempuh cara yang lebih keras lagi. Dari berbagai literatur sejarah yang ada, saat Indonesia berbentuk RIS, Kalimantan menjadi perhatian amar KMB (Konferensi Meja Bundah). Ini terbukti dengan terbentuknya Negara Kalimantan Timur, Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan Negara Dayak Besar.
“Jika memang keadaan memaksa, kita bisa melaksanakan referendum dua opsi otonomi khusus atau federasi, kendati hal itu akan menempuh jalan yang sangat panjang dan akan mengubah UUD Republik Indonesia. Jika memang itu jalan satu satunya, akan kami lakukan,” tambah Abraham Ingan yang sedang sibuk memediasi perseteruan Laskar Lagaligo dengan pasukan Forum Komunikasi Putra Asli Kalimantan di Balikpapan. #
//////////////////////////////////////
Tidak ada komentar:
Posting Komentar