Bisnis stasiun televisi swasta kian seksi. Bayangkan, tahun 2011 ini saja, belanja iklan nasional ditaksir tak kurang dari Rp60 triliun masuk ke lembaga-lembaga penyiaran swasta dan publik (LPS dan LPP). Itu juga yang jadi penyebab televisi swasta seperti Trans7, TV ONE, RCTI dan lainnya berlomba menangkap iklan dengan berbagai program acara.
Tak cukup dengan program, stasiun tv swasta juga berusaha meyakinkan para pengiklan dengan jangkauan siaran ke seluruh pelosok Indonesia. Apalagi Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 31, memang menyebutkan LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan.
Singkat kata, televisi lokal belakangan mulai kedatangan ‘tamu’ dari manajemen tv-tv nasional. Mereka membawa misi ingin bekerjasama, baik dalam permodalan maupun konten siaran. Di Kalimantan Timur misalnya, salah satu LPS yang menggunakan pemancar antene terestrial, Kaltim TV, kedatangan dua calon menawari ikut bekerjasama. “Kami wellcome, tapi coba kami pelajari dulu tawaran dari tv jaringan Jakarta itu,” kata Agus Suwandi, pemilik saham mayoritas PT Kaltim Televisi di Samarinda.
Tawaran kerjasama seperti itu, sebenarnya menjadi angin segar bagi tv-tv lokal. Maklum, umumnya manajemen tv lokal berada dalam posisi tidak sehat. Biaya produksi dan operasional yang tinggi, tidak seimbang dengan perolehan iklannya. Kalaupun ada iklan, umumnya dari pemerintah lokal dan nilainya belum cukup untuk menghidupi tv-tv lokal. Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM) pengelolaan tv lokal, sehingga tak mampu menghasilkan siaran bermutu.
Alih-alih ingin bekerjasama, tapi sebenarnya tamu-tamu dari tv jaringan itu punya hasrat kuat mencaplok semua saham pemilik tv lokal. Tentu dengan catatan, kalau pemilik awal bersedia melepaskan. Kalau tidak bisa dengan opsi begitu, tv jaringan ingin masuk menguasai mayoritas saham. Intinya, tv jaringan bersedia menggulirkan sekitar Rp5 miliar untuk menggaet tv lokal. Mereka mau menguasai 80 sampai 90 persen saham.
Menggiurkan? Tunggu dulu. Kalau skenario ‘pencaplokan’ saham tv lokal oleh tv-tv jaringan berhasil, konsekuensinya adalah siaran lokal juga hanya bisa berkisar 10-20 persen sesuai besaran sahamnya. Atau paling banter 3 jam dalam sehari. Dengan skenario jumlah siaran seperti itu, dipastikan publik Kaltim akan terus dijejali oleh siaran-siaran nasional dari Jakarta. Keinginan mengangkat nilai-nilai lokal, jadi mimpi bersama.
Tapi, harapan masih ada dari TVRI. Lembaga penyiaran tertua ini sudah lebih dulu memiliki tv jaringan di Indonesia. Tidak ada stasiun tv swasta yang bisa mengalahkan jangkauan siaran milik pemerintah ini.
Di Kaltim sendiri, TVRI lokal sudah siaran via satelit. Pemprov setempat membantu anggaran melalui APBD agar siarannya dapat ditonton warga di 14 kabupaten / kota daerah itu. Sayangnya, TVRI baru memanfaatkan waktu siarnya selama 4 jam sehari. Ada persoalan lain menyangkut biaya produksi dan operasional kalau menambah jam siaran.
“Sekarang ini kita dikasih kesempatan untuk berkarya di daerah. Silakan berkreasi,” kata Syarifuddin Lakku, Kepala Stasiun TVRI Kaltim. Itu sebab, ia mengibaratkan TVRI Kaltim di tangannya akan berbenah, mereformasi diri. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar