menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Sabtu, 06 Maret 2010
Brengsek
SEPEKAN tadi, kata ‘brengsek’ jadi trend. Itu karena diucapkan oleh Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim.
Kata itu, terbukti pula membuat banyak orang naik pitam. Kok seorang gubernur melontarkan seperti itu? Seperti preman, tidak intelek.
Kalimat persisnya yang diucapkan Faroek seperti dikutip koran adalah: ”Samarinda Paling Brengsek”. Ia menjelaskan mengenai tata ruang yang sudah diatur dalam undang-undang, tapi selalu ditabrak oleh pemimpin kota maupun kabupaten. Nah, Faroek malah menyebut Kota Samarinda yang paling brengsek.
Dari dulu, warga Samarinda hanya disuguhi opini bahwa kalau ada banjir maka itu kesalahan pemerintah. Pembukaan lahan pertambangan batubara, pembabatan bukit dan pengurukan rawa-rawa. Ditambah lagi statemen dari gubernur, maka semakin lengkap justifikasi bahwa pemimpinnya telah melakukan kebijakan yang merusak lingkungan.
Padahal, bisa jadi ini adalah opini yang menyesatkan. Tidak adanya parameter yang mengukur kebijakan pemerintah dengan kerusakan lingkungan, membuat warga terlanjur berasumsi pemerintahan Kota Samarinda yang sekarang dipimpin Wali Kota Achmad Amins – Syaharie Jaang adalah gagal. Setidaknya gagal dalam pengelolaan lingkungan.
Bagaimana bentuk kegagalannya? ”Itu, lihat saja tiap kali kalau hujan turun, pasti banjir di mana-mana”. Begitu saja. Titik.
Bertahun-tahun opini itu dibiarkan mengalir. Anehnya, pemerintah juga tidak berusaha meluruskan atau memang merasa asumsi-asumsi itu memang benar. Sebagai pihak yang merasa punya salah, pemerintah membiarkan rakyatnya mencaci mereka. Walaupun mungkin dengan data yang salah.
Praktik ’pembiaran’ asumsi itu malah tidak mengusik para pegiat lingkungan. Ketika ada momentum ucapan ’brengsek’ dari Gubernur Faroek, mestinya bisa menjadi arena untuk membuka data bahwa benar yang diucapkan gubernur bahwa soal lingkungan dan tata ruang kota Samarinda memang ’brengsek’. Atau kalau ternyata ucapan Faroek tidak benar, maka para pegiat lingkungan bisa mengklarifikasi.
’Bola’ opini sebenarnya ada di tangan para pakar lingkungan lokal untuk menjelaskan kondisi lingkungan yang sebenarnya. Agar semua bisa mengetahui dan intropeksi mengenai kebijakan yang sudah ditempuhnya. Tapi sayang momentum ’brengsek’ itu hanya menjadi arena omong-omong doang. **
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar