Oleh: Charles Siahaan
Plt Gubernur Kaltim Yurnalis Ngayoh juga ikut gelisah kalau berbicara kemiskinan. Ia justru punya slogan untuk menyemangati pembangunan segala bidang di daerah ini. Slogan itu: “Bangkit dan Bangga Membangun Kaltim”.
Bangga membangun Kaltim sudah tidak asing. Itu dicetuskan semasa Gubernur Kaltim Suwarna AF. Walau akhirnya sering menjadi cemohan publik, seiring terbukanya kasus-kasus korupsi yang memenjarakan sejumlah pejabat daerah ini. Kasus-kasus korupsi itu tentu bukan hal membanggakan.
Rupanya, sebagai Wakil Gubernur Kaltim – ketika slogan itu muncul – Ngayoh juga tak begitu sepaham dengan kata “bangga”, karena ia menyadari kita masih perlu “bangkit”. Rakyat di perbatasan negara, di pedalaman, memang belum patut merasa bangga dengan daerah mereka. Apa yang harus dibanggakan oleh warga di Krayan, karena jalan darat untuk menuju kampung warga dari etnis Dayak itu belum ada? Apa yang harus dibanggakan kalau rumah belum punya listrik?
Masih ada ratusan desa di Kaltim yang tak patut berbangga. Warga di desa-desa itu membutuhkan spirit untuk bangkit dari segala ketertinggalan. Mereka membutuhkan pertolongan dari segenap komponen daerah ini.
Kalimantan Timur tak dapat disangkal adalah daerah kaya. Minyak, batubara dan hasil tambang lain. Hutan dan kebun serta lautan adalah sumber daya yang luar biasa berlimpah. Tapi kekayaan itu memang tak berbanding lurus dengan kondisi masyarakatnya. Keprihatinan lantaran masih besarnya angka kemiskinan, kebodohan masih menjadi tantangan terbesar para pengelola pemerintahan dan juga masyarakatnya. Rakyat tak membutuhkan sekadar slogan lagi, karena saat ini yang dibutuhkan adalah aksi nyata. Bangun jalan menuju Kecamatan Krayan dan perbatasan, buat sentra ekonomi baru bagi warga pedalaman.
Rakyat Kaltim tidak bisa membiarkan sumber daya alam dikuras begitu besar dan sedikit sekali yang menetes kembali ke daerah penghasil. Masuknya investasi semestinya tidak bisa serta merta berjalan mulus beroperasi, tanpa adanya rekomendasi dari rakyat. Masyarakat sekitar tambang dan hutan perlu berkompromi dulu dan mendapat jaminan bahwa kelak kegiatan investisasi sangat berpihak untuk mengangkat taraf hidup warga sekitar.
Pemerintah juga tak patut secara langsung memuluskan setiap investor yang datang untuk meminta ijin, tanpa mempertemukan dulu dengan rakyat. Sebab yang dibutuhkan bukan sekadar terserapnya tenaga kerja lokal, tapi juga masa depan setiap keluarga di sekitar perusahaan jika ternyata sumber daya alam yang dikuras telah habis. Begitu pula dalam bidang perkebunan kelapa sawit atau perkebunan lainnya. Apakah cukup dengan program plasma yang memberikan rakyat memiliki kebun seluas 2-3 hektar? Apakah kebijakan seperti itu justru menciptakan kemiskinan yang permanen?
Pemerintah patut meredesign konsep kemakmuran yang menjadi tujuan pembangunan. Membenahi semua kebijakan yang tak memperbaiki aspek ekonomi rakyat, serta membuang jauh kebijakan yang hanya menguntungkan satu golongan. Rakyat harus bangkit. Bangkit dari sikap diam dan pasrah, bangkit dari kemalasan dan bangkit untuk berdemokrasi. **