Geopolitik
Oleh: Charles Siahaan
RAJA Inal Siregar (Alm) disukai rakyat karena semasa menjabat Gubernur Sumatera Utara melakukan gerakan “masipature huta na be”. Dalam bahasa Indonesia gerakan itu bisa disebut sebagai seruan untuk memperbaiki kampung sendiri. Sang gubernur mengetuk hati kebanyakan orang Batak (baca Sumut-red) di perantauan untuk back to basic alias pulang kampung dan menyisihkan uang membenahi rumah sendiri.
Alhasil, sepanjang sisi Danau Toba bertumbuhan hotel, restoran dan kawasan berwisata. Bahkan berdiri rumah sakit, pusat perbelanjaan yang sebagian adalah bentuk partisipasi warga yang mencari uang di perantauan.
Yusril Izha Mahendra yang terlempar dari kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) bersiap menuju pentas pemilihan Presiden tahun 2009. Kini ia tengah menghitung kesempatan paling gampang dengan cara mengkaitkan faktor geopolitik.
Sebagai orang Sumatera (Bangka), Yusril ingin berpasangan dengan orang Jawa. Ia melihat sisi jumlah penduduk (pemilih) di negeri ini yang mayoritas memang orang Jawa. Jusuf Kalla juga pernah melontarkan kata-kata; ”Saya bukan orang Jawa” untuk mematahkan spekulasi bahwa ia akan maju menjadi calon Presiden dari Partai Golkar.
Ranah politik Indonesia tak dapat dipungkiri masih sangat dipengaruhi faktor geopolitik. Bahkan lembaga-lembaga survey masih pula meyakini bahwa faktor kuantitas kelompok suku tertentu menjadi penentu keberhasilan aktor politik. Dengan kata lain, sebenarnya orang Indonesia belum masuk pada tingkat masyarakat yang cerdas. Mereka lebih bersandar pada asal-usul dari pada kemampuan seseorang.
Faktor geopolitik bukan masalah sepele. Karena ini berkaitan juga dengan tingkat kepatuhan konstituen kepada pemimpinnya. Kepatuhan rakyat adalah modal terbesar suksesnya pembangunan, karena energi untuk membangun bukan hanya ada pada pemerintah saja.
Kalimantan Timur akhirnya mengalami ketertinggalan pembangunan yang salah satu faktornya adalah masalah geopolitik itu pula. Suwarna AF adalah Gubernur dari Suku Sunda yang minoritas di daerah ini, sehingga untuk membangkitkan gerakan partisipasi rakyat seperti yang dilakukan Raja Inal Siregar di Sumatera Utara – ia tidak mampu. Bahkan dengan cara menggulirkan semboyan ”Bangga Membangun Kaltim” pun, tetap saja rakyat tak bergerak. Tidak patuh. Ditambah lagi dengan sikap Pemerintah Provinsi Kaltim yang ambisius membangun proyek-proyek yang tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat, membuat rakyat semakin tak peduli dan memilih menjadi pembangkang.
Raja Inal Siregar kebetulan adalah putra daerah karena ia memimpin penduduk mayoritas dengan homogenitas empat puak suku Batak (Toba, Karo, Mandailing dan Sidempuan), sedangkan di Kalimantan Timur jumlah suku terbesar dalam urut-urutan adalah suku Jawa, Bugis (Sulsel), Banjar (Kalsel) dan kemudian suku-suku lokal. Menyimak data-data itu memberikan gambaran bahwa posisi geopolitik di Sumatera Utara sangat berbeda dengan Kalimantan Timur. Tapi apapun situasinya untuk percepatan membangun daerah masih tetap ditentukan oleh asal-usul suku siapa pemimpinnya. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar