Tebang Pilih
Oleh: Charles Siahaan
Kosa kata ini dikenal di sektor kehutanan; yakni sebuah sistim penebangan pohon besar berdiameter 50 – up untuk diambil kayunya. Siapapun yang ketahuan menebang di bawah diameter itu, maka ada hukum pidana ganjarannya.
Akan tetapi sekarang muncul kosa kata “Tebang Pilih” untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua kata itu berhembus kencang menyerang pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK). Sejumlah praktisi, aktivis mengumandangkan tudingan Tebang Pilih itu. Kemudian menjadi senjata aktor-aktor politik untuk menyerang pemerintahan SBY – JK.
Digambarkan, upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintahan SBY – JK hanya untuk kepentingan pencitraan SBY untuk kepentingan Pemilu tahun 2009. SBY dan JK diprediksi akan maju kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Yang diberantas juga masih pilih-pilih. Misalnya para pejabat sekelas Menteri di kabinet Megawati Soekarno Putri dan para Gubernur, Walikota dan Bupati. Semuanya hanya untuk memberikan gambaran kalau pemerintahan SBY-JK serius melibas para petinggi negara.
Analisa itu muncul karena realitas. Karena mantan Presiden Soeharto dan kroni tidak juga diadili dan tidak serius mengejar para ”perampok” BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang telah mengemplang uang negara ratusan triliun rupiah.
Fakta lain adanya sikap membentengi dari Jusuf Kalla terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Izha Mahendra yang ketahuan membiarkan rekening Menhuk dan HAM digunakan transfer uang Tommy Soeharto dari luar negeri. Sepertinya mereka tidak ikut dilibas.
Kalau mau jujur, pemberantasan korupsi di Indonesia terasa mulai membaik. Di daerah-daerah pejabat publik semakin berhati-hati untuk menggunakan anggaran. DPRD Kaltim merasa perlu berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi, sistim tender pengadaan barang dan jasa diupayakan melalui proses e-government. Lewat internet.
Bahkan di Samarinda Walikotanya membuat loncatan dalam upaya memperkecil kebiasaan melakukan korupsi, yakni membebaskan biaya pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Kita menyadari korupsi di Indonesia sudah begitu akut, sehingga nyaris semua orang pernah terlibat di dalamnya. Ketika kita akan berurusan dengan kantor kelurahan, maka frame pikiran kita sudah tertanam keinginan menyelesaikan urusan dengan cara cepat dengan memberi suap atau memberi tip kepada staf kelurahan. Kebiasaan perilaku ini yang perlu dirubah dan yang mampu merubahnya adalah komitmen pemerintah seperti yang dilakukan Pemkot Samarinda itu.
Pemerintahan SBY – JK semestinya bisa berpikir seperti Pemkot Samarinda. Melarang pemerintahan daerah memungut biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran. Selain untuk meringankan beban warga juga yang terpenting memutus perilaku korupsi. Kebijakan seperti ini pasti tidak mengenal istilah ”Tebang Pilih”. ** (Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR! edisi 25)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar