Saya setuju kalau Indonesia disebut negara sepakbola. Coba
tengok para penggila si kulit bundar itu. Mulai anak-anak, sampai kakek-kakek.
Di lapangan bola, saat tim favorit mereka bertanding, mereka berteriak
kegirangan. Dan kadang juga memaki.
Ketika saya menonton Persisam Samarinda bertanding ada
penonton di sebelah saya memaki wasit dengan kata-kata kotor. Yang tidak pantas
didengar. Padahal, saya perhatikan, dia datang menonton bersama anak perempuannya.
Publik juga menyaksikan bagaimana para Bonek (Bondo nekat), supporter Persebaya Surabaya rela mengorbankan tenaga, waktu dan duit untuk menonton tim kesayangannya bertanding di luar daerah. Mereka menumpang kereta, bersesak-sesakan selama lebih 10 jam dari Surabaya menuju Jakarta. Hanya untuk memberi spirit pada pertandingan 2 X 45 menit.
Di GOR Segiri, kandang Persisam, belasan ribu penonton tanpa komando rela membuat konfigurasi bersambung dari kursi penonton. Mereka berdiri bergantian memunculkan konfigurasi gelombang. Tak terkecuali supporter dari tim yang bertandang. Indah sekali sepakbola itu.
Industri sepakbola tidak boleh lagi sekedar sebuah games. Ia berisi multi kekuatan. Ya skill pemain, skill pelatih, pengurus, manajemen professional dan yang terpenting keuangan. Juga ada manajemen supporter, karena mereka adalah sumber ‘kekuatan’ yang menaikkan nilai komersil sebuah tim juga.
Walau Indonesia negeri sepakbola, tapi sesungguhnya era professional itu baru saja dimulai. Dari sebelumnya kita tertatih-tatih dengan klub gaya amatir yang sok professional, sampai akhirnya benar-benar menjadi klub professional. Tepatnya ketika rakyat Indonesia diguncang ‘prahara’ PSSI yang dulu diketuai Nurdin Halid dan kemudian berganti ke Djohar Arifin.
Kita baru tersadar bahwa sepakbola kita bukan lagi milik pemerintah Indonesia. Justru ia tidak boleh diintervensi negara. Kiblat bola adalah FIFA, organisasi induk yang mengatur a sampai z. Ada statuta yang menjadi ‘kitab suci’ sepakbola dunia.
Lebih tepatnya, saya menyebut, ini era transisi. Dari amatir ke professional. Jadi, kalau ada ‘keributan’ saat ini di PSSI yang memecah adanya pertandingan ISL (Indonesia Super League) dan IPL (Indonesia Primer League), ya memang karena begitulah posisinya. Ephoria statuta.
Di mana-mana para pengurus sepakbola bisa menjudge tentang salah benar statuta FIFA dan juga statuta PSSI. Semua merasa paling benar, sampai akhirnya PSSI pun terpecah. Ada yang berusaha menggulingkan kepemimpinan Djohar Arifin dan ada juga yang mempertahankan.
Situasi ini mirip ketika Indonesia juga mengalami transisi dari Orde Baru ke orde reformasi tahun 1998. Kemudian era otonomi daerah tahun 2001. Itu juga ephoria. Jadi, patut kita segera menyadarinya. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar