menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Minggu, 31 Mei 2009
Drakula
PASCA 9 April 2009, obrolan publik didominasi soal calon legislative (Caleg) yang gagal masuk parlemen. Menjadi tambah seru karena media-media – lokal dan nasional – memblow-up tingkah laku caleg-caleg yang gagal itu. Ada yang stress, bunuh diri, masuk rumah sakit jiwa bahkan meninggal dunia karena jantungan. “Tuh di Palaran sudah ada caleg gagal yang buka-buka baju sambil keluyuran,” tulis seorang teman anggota jaringan facebook. Palaran adalah sebuah kecamatan di ujung Kota Samarinda.
Pemilu Indonesia 2009 memang menjadi peristiwa terbesar sejagad raya. Bayangkan ada 43 partai (Kaltim 38 partai) yang ikut bertanding, dengan jumlah calon anggota legislative yang ikut kompetisi di seluruh Indonesia – mulai DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten, sekitar 1,7 Juta jiwa.
Asumsinya, dengan jumlah pemilih sekitar 170 Juta jiwa, maka pada tiap 100 warga negara terwakili satu menjadi caleg alias 100 : 1. Seorang teman yang tahu tentang Malaysia menyebutkan di negeri Jiran rasionya 10.000 : 1.
Begitu bersemangatnya putra-putri Indonesia terjun ke dunia politik. Terutama di level “Hak Dipilih”. Sampai-sampai mereka rela mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Tidak hanya bersaing dengan para kandidat partai lain, tetapi juga ‘saling terkam’ sesama caleg di internal partai sendiri. Mengorbankan rasa persaudaraan, persatuan, loyalitas. Gara-gara nafsu meraih predikat ‘anggota dewan yang terhormat’, mereka tak sungkan-sungkan menjatuhkan kandidat lain dengan cara tidak terpuji.
Ini berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi warga yang menggunakan “Hak Memilih”. Kabar menyebutkan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya di atas 30 persen atau sekitar 51 Juta orang. Mereka adalah yang cuek, sengaja Golput dan warga yang tidak terdaftar atau tidak menerima undangan ke TPS (Tempat Pemungutsan Suara).
Jelas ini fenomena baru. Iklim politik ’suara terbanyak’ yang menjadi pemenang, berhasil memunculkan nafsu luar biasa di masyarakat. Mereka efhoria, seakan ada lowongan kerja baru di dunia politik. Lowongan menjadi anggota dewan yang terhormat.
Lantaran itu banyak diantara mereka yang berusaha menyogok rakyat. Sebelum hari pencontrengan, kandidat membagi-bagi uang alias money politic. Jumlah uang yang dihambur juga tidak sedikit, karena ada yang sampai di atas Rp5 Miliar untuk menjadi anggota DPRD Kaltim saja.
Bisa dibayangkan, apa jadinya kalau parlemen kita berisi para politisi yang mendapatkan dukungan karena menyogok rakyat. Apa bedanya politisi itu dengan ‘drakula’? Mereka bakal mencari uang pengganti selama berada di lingkungan kekuasaan. Mulai dengan cara normal sampai ‘menghisap’ apa saja yang ada di anggaran pemerintahan (APBD). Halal dan tidak halal menjadi semakin tipis bedanya. **
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar