SEORANG teman menggebu-gebu datang kepada saya dan mengatakan bahwa ada investor dari China ingin menanamkan uangnya di bidang batubara. Kata dia, ‘si China’ mau membiayai semua operasional dan izin, asalkan ada jaminan dapat memboyong 200 ribu Metrik Ton per bulan ke negeri Tirai Bambu itu. Semua biaya akan diperhitungkan dengan nilai beli.
Si teman saya itupun beraksi, telpon kesana-sini mencari dokumen areal batubara dari teman-temannya. Hanya dalam tempo tidak sampai satu jam, sudah diperolehnya tiga dokumen dengan lokasi daerah yang berbeda-beda. Luar biasa.
Mendengar kata ‘investor asing’ tak hanya teman saya itu yang langsung bersemangat. Pejabat pemerintah pun selalu berapi-api seakan itu adalah sebuah prestasi yang bakal mendapat pujian dari rakyat. Padahal, karena mental seperti itulah membuat utang rakyat Indonesia terhadap lembaga keuangan asing terus membesar. Membuat sumber daya alam (SDA) yang kita miliki secara sengaja ’tersandera’ sebagai jaminan, agar hak membeli jatuh pada investor asing tertentu itu.
Lantaran semangat itu pula membuat lahan di Kaltim saat ini sudah terpetak-petak, dikuasai para pemodal. Ada yang memang Indonesia dan putra daerah, tapi ujung-ujungnya ada asing pula yang ’memerintah’ kapan dan berapa banyak SDA dieksploitasi. Kalau dulu harga penjualan kayu kita didikte oleh negara-negara pengimpor seperti China, Korea, Jepang dan beberapa negara Eropa, kini – setelah kebijakan ketat kehutanan di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – beralih ke hasil tambang batubara, setelah lebih dulu ada kebijakan minyak dan gas yang nyaris tak bisa diutak-atik dari genggaman para pemodal Francis dan Amerika.
Pemerintah tidak pernah memahami kalau buntut-buntutnya sumber ekonomi rakyat Kaltim (baca Indonesia) telah jatuh ke tangan para pemodal asing. Bahkan hutan telah berubah jadi kebun sawit yang ujung-ujungnya juga adalah untuk memenuhi selera bangsa asing yang gemar menggunakan produk ilir kelapa sawit. Bayangkan kehancuran hutan kita hanya karena tuntutan sebuah lifestyle (gaya hidup) bangsa asing.
Seperti yang dilakukan teman saya tadi, kalau berhasil usahanya menghubungkan pemilik areal tambang batubara dengan si investor dari China, maka setidaknya 2,4 Juta Metrik Ton dalam setahun batubara Kaltim dikuasai si investor. Kalau ikatannya 10 tahun, 20 tahun, maka sama saja asing sudah ’berdaulat’ di sumber ekonomi Kaltim. Dan itu mirip ’penjajahan’ ekonomi.
Sedangkan yang akan mendapat keuntungan, hanya sedikit sekali, yakni pemilik tambang dan teman saya yang jadi ’makelar’ tadi. Lalu pekerja tambang yang jaminan hidupnya tertolong sesaat, yakni selama masih ada hasil tambang.
Kalau saya ditanya; apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk melindungi sumber daya alam (SDA). Maka otomatis saya mengatakan save saja dulu. Pemerintah bisa mengatur ulang berapa banyak yang patut dijual untuk kepentingan kemakmuran rakyat Kaltim. Salam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar