menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Minggu, 31 Mei 2009
Neolib
SEORANG teman yang tinggal di Bogor datang ke Samarinda. Di tengah perjalanan Balikpapan – Samarinda ia merasa heran sekaligus takjub dengan sebuah tempat persinggahan bernama ”Tahu Sumedang”. Tepatnya di dekat areal Tahura Bukit Soeharto.
Ia takjub karena ’di tempat nun jauh’ ini bisa merasakan makanan yang berasal dari daerah yang satu bahasa dengannya, Sunda. Tapi sekaligus heran, sebab ia tidak menemukan makanan lokal. Kalau terus menerus dibiarkan, makanan asli orang Kaltim bakal semakin langka dan mungkin hilang.
Tak hanya makanan dari Sumedang yang intervensi ke lidah orang-orang yang berada di Kaltim. Bahkan berbagai franchise, sebut saja Kentucky Fried Chicken (KFC), Mac Donald, Pizza Hut, sampai Wong Solo, ”Ayam Cianjur”, dlsb.
Saya jadi ingat isu neoliberal alias neolib yang santer dihembuskan para pemerhati politik di negeri ini. Adakah kaitan isu neoliberal dengan masuknya ’Tahu Sumedang’ di Kaltim?
Waktu mencari jawabnya, saya berusaha mencari berbagai artikel mengenai bersatunya Jerman Timur dan Jerman Barat pada 3 Oktober 1990. Ternyata perkiraan saya sungguh tepat, yakni penyatuan dua negeri itu ditandai pula dengan dimulainya sejarah masuknya produk-produk Amerika Serikat ke Berlin yang menjadi ibukota Jerman Timur. Warganya sampai mengantre panjang di restoran KFC dan Mac Donald. Penyatuan itu membuka kesempatan masuknya Coca Cola, Marlboro bahkan kartu kredit Amec.
Jerman Timur menjadi gambaran jelas bagaimana ia berusaha mempertahankan nilai-nilai lokal karena pengaruh faham yang dianut negeri itu, sosialis-komunis. Perbedaan itu ternyata menghasilkan dua kemajuan berbeda, yakni Jerman Barat yang pro pasar sangat maju dan Jerman Timur yang sosialis-komunis sangat tertinggal.
Masuknya ’Tahu Sumedang’ juga akibat pengaruh pro pasar. Sistim yang menjadi ciri-ciri neoliberal. Karena pemerintah lokal tak punya akses untuk membatasi masuknya produk-produk dari luar daerah, maka sesuai hukum pasar bahwa yang kuat akan menindas yang lemah.
Produk-produk lokal Kaltim juga sudah menerima dampaknya. Dengan susah payah pemerintah lokal mengangkat karya-karya orang daerah, toh hasilnya kalah laris dengan produk-produk dari luar daerah dan negara. Saya tidak pernah melihat warga kita antre untuk membeli ”gangan ikan patin pais”. Tapi coba tengok di KFC nyaris tiap sore dipenuhi pembeli.
Bagaimana pemerintah Kaltim melihat masalah ini? Membiarkan nilai-nilai lokal terus tergerus dan menghilang, atau masih berniat mempertahankan? *
Gubernur
GUBERNUR Kalimantan Tengah Teras Narang punya gaya hidup yang mirip dengan Barack Obama, Presiden Amerika Serikat. Terutama dalam soal dunia gadget alias piranti komunikasi yang sehari-hari berada di genggaman tangan. Sang gubernur mengakui kalau ia memakai BB singkatan dari blackberry. Ini adalah jenis handphone canggih yang bisa langsung internetan.
Dari BB itu ia berinteraksi dengan rakyat, kawan lama, para aktifis, wartawan, famili dan siapa saja yang bergabung di dunia maya itu. Di sebuah halaman facebook (jejaring sosial) ia mengaku mengoperasikan sendiri BB. Tidak pakai ajudan.
Suatu saat, dengan rendah hati Teras Narang menulis dengan kalimat meminta maaf bahwa ia tidak bisa mengoperasikan piranti genggamnya karena sedang berada di daerah blank spot, yakni kawasan yang tidak bisa menangkap sinyal telepon. Tersirat ada nada kecewa karena masih ada masyarakatnya yang tidak tersentuh teknologi telepon, apalagi internet.
Mengamati gaya hidup Teras Narang yang pernah menjadi Ketua Panitia Anggaran (Panggar) DPR RI ini, saya respek sekali. Di era global ini yang dibutuhkan adalah pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Yang bisa membuka ruang komunikasi dengan media apa saja.
Sayapun iseng mengirim pesan kepada sang gubernur; ”saya warga Kaltim, saya salut dengan bapak yang masih bersedia membuka fb. Harapan saya, seluruh gubernur se Kalimantan berpikir regional, memberdayakan sumber daya alam untuk kepentingan langsung masyarakatnya. Jauhkan kebijakan pro pasar”.
Eh, tak sampai berselang 30 menit sudah ada jawaban. Begini tulisan utuhnya; “Terima kasih atas pengertiannya, semoga Kalimantan mampu utk mensejahterakan rakyatnya sendiri, tentu dengan semangat kebersamaan dan terus dgn kerja keras meningkatkan Sumber Daya Manusianya dengan tdk hanya mengirim sumber daya alamnya saja, tapi juga memproduknya sbg barang yg punya nilai tambah. 94 % batubara utk menghidupkan PLTU yg berada di luar Kalimantan. Menggunakan batubara dari Kalimantan, tapi sampai sekarang 4 Kalimantan masih kekurangan listrik. Ayoooo.....oooo kita berjuang dan berbuat yg terbaik bagi Kalimantan, yg pd akhirnya juga utk kejayaan NKRI”.
Saya pun tambah kagum. Terbayang para pemimpin Indonesia yang jor-joran mengeluarkan kebijakan izin tambang, dengan orientasi mendapat uang dari hasil penjualan. Akhirnya memang daerah ini banyak uang , tapi listrik di rumah-rumah masih sering padam. Anak-anak sekolah menjadi terganggu belajar.
Teringat pula cerita dizaman kejayaan kayu, ketika warga desa mendapat uang fee dari penebangan yang dilakukan perusahaan. Dengan uangnya warga desa membeli kulkas, tapi karena tidak ada listrik akhirnya kulkas menjadi lemari baju saja.
Itu kesalahan kebijakan yang pro pasar. Teras Narang telah memberi inspirasi tentang pemimpin yang berpikir cerdas dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Semoga bukan hanya kata-kata untuk menyenangkan. **
BEBERAPA waktu lalu saya mampir di ‘google search’ dan mengetik kata facebook. Tidak lama setelah di-enter keluar data yang salah satunya dari wikipedia bahasa Indonesia. Saya baru tahu kalau facebook yang terkenal itu pertamakali diperkenalkan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard. Dari universitas paling ‘keren’ di Amerika itu pula komunitas jejaring sosial ini dimulai pada 4 Februari 2004.
Tentu saja saya patut ikut berterima kasih kepada Zuckerberg, sebab hampir setahun ini saya ikut-ikutan tersihir dengan kenikmatan ber-facebook. Saya menemukan banyak teman yang sudah sejak berpuluh tahun tidak pernah saling tegur sapa, karena berada berbeda pulau bahkan negara. Saya pun bisa bercengkrama dengan teman-teman baru yang seide.
Barack Obama sebelum menjadi Presiden Amerika Serikat juga menggunakan jaringan facebook sebagai bagian kampanye diinternet. Terbukti, Obama tertinggi popularitasnya dikalangan pengguna internet.
Lantaran kesuksesan Obama pula membuat sejumlah politisi mengikuti jejaknya. Memasang foto dan profilnya di jejaring sosial tersebut. Mulai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, sampai dengan Rizal Ramli dan Rizal Malarangeng. Begitu pula sejumlah ketua partai dan politikus, sepertinya mereka tak menyia-nyiakan fasilitas facebook untuk sekadar berbasa-basi di dunia maya.
Sejumlah pejabat dan politisi lokal di Kalimantan Timur pun tak mau ketinggalan. Ada Syaharie Jaang dan Nursyiwan Ismail yang nampaknya sudah pasang kuda-kuda untuk maju menjadi calon Walikota Samarinda. Kemudian ada Rita Widyasari yang difacebook menggunakan nama Rita Tatawidi, yang kemungkinan bakal meramaikan bursa calon Bupati Kutai Kartanegara.
Rita termasuk yang aktif bercengkrama di dunia maya, karena ia menghubungkan fasilitas facebook dengan handphonenya. Tiap kali ada yang menyapa, secepat itu pula ia membalasnya. Plt Kabab Humas Pemkot Samarinda HM Faisal juga termasuk yang tiap pagi menyapa dengan cara memperbarui statusnya. Bahkan Faisal rajin mengirim foto-foto tentang sesuatu yang khas hanya ada di Samarinda. Misalnya jenis kue-kue dan juga kerajinan tangan.
Dunia facebook memang membuat jarak bukan lagi masalah. Bahkan sebuah penelitian menyebutkan ada peningkatan gairah kerja lantaran di kantornya tersambung internet. Para karyawan bisa bekerja sambil sesekali memeriksa ’dinding’ facebooknya. Asal jangan menjadi candu dan maniak, karena ada kejadian seseorang merampas notebook orang lain hanya karena ingin membuka halaman facebooknya. Wah. *
Asing
SEORANG teman menggebu-gebu datang kepada saya dan mengatakan bahwa ada investor dari China ingin menanamkan uangnya di bidang batubara. Kata dia, ‘si China’ mau membiayai semua operasional dan izin, asalkan ada jaminan dapat memboyong 200 ribu Metrik Ton per bulan ke negeri Tirai Bambu itu. Semua biaya akan diperhitungkan dengan nilai beli.
Si teman saya itupun beraksi, telpon kesana-sini mencari dokumen areal batubara dari teman-temannya. Hanya dalam tempo tidak sampai satu jam, sudah diperolehnya tiga dokumen dengan lokasi daerah yang berbeda-beda. Luar biasa.
Mendengar kata ‘investor asing’ tak hanya teman saya itu yang langsung bersemangat. Pejabat pemerintah pun selalu berapi-api seakan itu adalah sebuah prestasi yang bakal mendapat pujian dari rakyat. Padahal, karena mental seperti itulah membuat utang rakyat Indonesia terhadap lembaga keuangan asing terus membesar. Membuat sumber daya alam (SDA) yang kita miliki secara sengaja ’tersandera’ sebagai jaminan, agar hak membeli jatuh pada investor asing tertentu itu.
Lantaran semangat itu pula membuat lahan di Kaltim saat ini sudah terpetak-petak, dikuasai para pemodal. Ada yang memang Indonesia dan putra daerah, tapi ujung-ujungnya ada asing pula yang ’memerintah’ kapan dan berapa banyak SDA dieksploitasi. Kalau dulu harga penjualan kayu kita didikte oleh negara-negara pengimpor seperti China, Korea, Jepang dan beberapa negara Eropa, kini – setelah kebijakan ketat kehutanan di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – beralih ke hasil tambang batubara, setelah lebih dulu ada kebijakan minyak dan gas yang nyaris tak bisa diutak-atik dari genggaman para pemodal Francis dan Amerika.
Pemerintah tidak pernah memahami kalau buntut-buntutnya sumber ekonomi rakyat Kaltim (baca Indonesia) telah jatuh ke tangan para pemodal asing. Bahkan hutan telah berubah jadi kebun sawit yang ujung-ujungnya juga adalah untuk memenuhi selera bangsa asing yang gemar menggunakan produk ilir kelapa sawit. Bayangkan kehancuran hutan kita hanya karena tuntutan sebuah lifestyle (gaya hidup) bangsa asing.
Seperti yang dilakukan teman saya tadi, kalau berhasil usahanya menghubungkan pemilik areal tambang batubara dengan si investor dari China, maka setidaknya 2,4 Juta Metrik Ton dalam setahun batubara Kaltim dikuasai si investor. Kalau ikatannya 10 tahun, 20 tahun, maka sama saja asing sudah ’berdaulat’ di sumber ekonomi Kaltim. Dan itu mirip ’penjajahan’ ekonomi.
Sedangkan yang akan mendapat keuntungan, hanya sedikit sekali, yakni pemilik tambang dan teman saya yang jadi ’makelar’ tadi. Lalu pekerja tambang yang jaminan hidupnya tertolong sesaat, yakni selama masih ada hasil tambang.
Kalau saya ditanya; apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk melindungi sumber daya alam (SDA). Maka otomatis saya mengatakan save saja dulu. Pemerintah bisa mengatur ulang berapa banyak yang patut dijual untuk kepentingan kemakmuran rakyat Kaltim. Salam. ***
Si teman saya itupun beraksi, telpon kesana-sini mencari dokumen areal batubara dari teman-temannya. Hanya dalam tempo tidak sampai satu jam, sudah diperolehnya tiga dokumen dengan lokasi daerah yang berbeda-beda. Luar biasa.
Mendengar kata ‘investor asing’ tak hanya teman saya itu yang langsung bersemangat. Pejabat pemerintah pun selalu berapi-api seakan itu adalah sebuah prestasi yang bakal mendapat pujian dari rakyat. Padahal, karena mental seperti itulah membuat utang rakyat Indonesia terhadap lembaga keuangan asing terus membesar. Membuat sumber daya alam (SDA) yang kita miliki secara sengaja ’tersandera’ sebagai jaminan, agar hak membeli jatuh pada investor asing tertentu itu.
Lantaran semangat itu pula membuat lahan di Kaltim saat ini sudah terpetak-petak, dikuasai para pemodal. Ada yang memang Indonesia dan putra daerah, tapi ujung-ujungnya ada asing pula yang ’memerintah’ kapan dan berapa banyak SDA dieksploitasi. Kalau dulu harga penjualan kayu kita didikte oleh negara-negara pengimpor seperti China, Korea, Jepang dan beberapa negara Eropa, kini – setelah kebijakan ketat kehutanan di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – beralih ke hasil tambang batubara, setelah lebih dulu ada kebijakan minyak dan gas yang nyaris tak bisa diutak-atik dari genggaman para pemodal Francis dan Amerika.
Pemerintah tidak pernah memahami kalau buntut-buntutnya sumber ekonomi rakyat Kaltim (baca Indonesia) telah jatuh ke tangan para pemodal asing. Bahkan hutan telah berubah jadi kebun sawit yang ujung-ujungnya juga adalah untuk memenuhi selera bangsa asing yang gemar menggunakan produk ilir kelapa sawit. Bayangkan kehancuran hutan kita hanya karena tuntutan sebuah lifestyle (gaya hidup) bangsa asing.
Seperti yang dilakukan teman saya tadi, kalau berhasil usahanya menghubungkan pemilik areal tambang batubara dengan si investor dari China, maka setidaknya 2,4 Juta Metrik Ton dalam setahun batubara Kaltim dikuasai si investor. Kalau ikatannya 10 tahun, 20 tahun, maka sama saja asing sudah ’berdaulat’ di sumber ekonomi Kaltim. Dan itu mirip ’penjajahan’ ekonomi.
Sedangkan yang akan mendapat keuntungan, hanya sedikit sekali, yakni pemilik tambang dan teman saya yang jadi ’makelar’ tadi. Lalu pekerja tambang yang jaminan hidupnya tertolong sesaat, yakni selama masih ada hasil tambang.
Kalau saya ditanya; apa yang mesti dilakukan pemerintah untuk melindungi sumber daya alam (SDA). Maka otomatis saya mengatakan save saja dulu. Pemerintah bisa mengatur ulang berapa banyak yang patut dijual untuk kepentingan kemakmuran rakyat Kaltim. Salam. ***
Banjir
TOPIK obrolan publik di Kota Samarinda, pekan ini, adalah banjir. Mulai di warung kopi, media massa sampai jaringan facebook obrolannya lebih ’meluap-luap’ dari pada air yang naik perlahan menuju pinggang di kawasan simpang Lembuswana, Jalan Pemuda, Cendrawasih, Remaja, Bengkuring dan sekitarnya.
Pendek cerita, rakyat yang kena banjir sedang marah. Mahasiswa pun demonstrasi dan menuntut Walikota dan Wawali Samarinda Achmad Amins – Syaharie Jaang mundur dari jabatannya. ”Pokoknya ini dosa walikota”. Mengapa daerah bukit diratakan? Mengapa rawa-rawa penampung air diurug? Mengapa eksploitasi tambang batubara diberi izin?
Banjir bulan April 2009 ini diistilahkan sebagai ”yang terburuk” dalam 10 tahun belakangan. Dua bulan lalu, juga ada istilah bahwa banjir besar yang terjadi kala itu adalah siklus delapan tahunan, karena pada delapan tahun silam juga terjadi banjir hebat. Entah istilah apa lagi yang muncul kalau pada bulan Mei 2009 – seperti diperkirakan BMG (Badan Meterologi dan Geofisika) – terjadi banjir susulan.
Pemerintah Kota Samarinda juga seperti kehabisan kata-kata menghadapi ’kemarahan’ warga. Semua kebijakan jadi serba salah, karena toh hasilnya puluhan ribu jiwa warga kota menderita.
Saya jadi terusik; apa sudah tepat masyarakat menumpahkan kemarahannya kepada walikota?
Lucunya, ketika mencoba mencari jawaban, yang didapat adalah ’tampiasan’ dari orang-orang yang sedang marah pula. Pikiran rasional, pencerahan menjadi tak berlaku di sini.
Dan anehnya, para pemerhati lingkungan di daerah itu sama sekali tidak berusaha menjernihkan suasana. Mereka yang paham dengan lingkungan justru cenderung membiarkan opini masyarakat bergerilya di tempat yang mungkin sesat.
Bahwa pemerintah dengan berbagai kebijakannya menambah beban kerusakan lingkungan, itu memang benar. Bahwa pemerintah pemberi ’sumbangan’ hancurnya hutan, rusaknya lapisan tanah, terjadinya erosi, pencemaran, tidak bisa disangkal. Tapi menumpahkan kemarahan hanya kepada walikota, saya kira itu juga salah.
Banjir Kota Samarinda, dari sudut pandang saya, adalah konsekwensi geografis karena kota itu letaknya di muara Sungai Mahakam yang panjangnya 920 Kilometer. Ada ribuan anak sungai yang mengalirkan air dan lumpur ke Sungai Mahakam dan ujungnya adalah Kota Samarinda.
Pendek cerita, air hujan dari Kutai Barat, Kutai Kartanegara bahkan dari wilayah perbatasan Kalimantan Tengah tumpah ke sungai yang menjadi kebanggaan orang Kaltim ini. Sebagian air itu tertampung di ’folder-folder’ alam Danau Semayang, Danau Melintang dan lainnya, sebagian lagi memasuki daerah rendah yang mengakibatkan banjir besar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. Dari cerita orang-orang tua di kota Samarinda bahwa sejak jaman baheula banjir memang sudah biasa terjadi.
Persoalannya adalah mengapa perubahan iklim ini terlalu cepat dahsyat?
Pendek cerita, rakyat yang kena banjir sedang marah. Mahasiswa pun demonstrasi dan menuntut Walikota dan Wawali Samarinda Achmad Amins – Syaharie Jaang mundur dari jabatannya. ”Pokoknya ini dosa walikota”. Mengapa daerah bukit diratakan? Mengapa rawa-rawa penampung air diurug? Mengapa eksploitasi tambang batubara diberi izin?
Banjir bulan April 2009 ini diistilahkan sebagai ”yang terburuk” dalam 10 tahun belakangan. Dua bulan lalu, juga ada istilah bahwa banjir besar yang terjadi kala itu adalah siklus delapan tahunan, karena pada delapan tahun silam juga terjadi banjir hebat. Entah istilah apa lagi yang muncul kalau pada bulan Mei 2009 – seperti diperkirakan BMG (Badan Meterologi dan Geofisika) – terjadi banjir susulan.
Pemerintah Kota Samarinda juga seperti kehabisan kata-kata menghadapi ’kemarahan’ warga. Semua kebijakan jadi serba salah, karena toh hasilnya puluhan ribu jiwa warga kota menderita.
Saya jadi terusik; apa sudah tepat masyarakat menumpahkan kemarahannya kepada walikota?
Lucunya, ketika mencoba mencari jawaban, yang didapat adalah ’tampiasan’ dari orang-orang yang sedang marah pula. Pikiran rasional, pencerahan menjadi tak berlaku di sini.
Dan anehnya, para pemerhati lingkungan di daerah itu sama sekali tidak berusaha menjernihkan suasana. Mereka yang paham dengan lingkungan justru cenderung membiarkan opini masyarakat bergerilya di tempat yang mungkin sesat.
Bahwa pemerintah dengan berbagai kebijakannya menambah beban kerusakan lingkungan, itu memang benar. Bahwa pemerintah pemberi ’sumbangan’ hancurnya hutan, rusaknya lapisan tanah, terjadinya erosi, pencemaran, tidak bisa disangkal. Tapi menumpahkan kemarahan hanya kepada walikota, saya kira itu juga salah.
Banjir Kota Samarinda, dari sudut pandang saya, adalah konsekwensi geografis karena kota itu letaknya di muara Sungai Mahakam yang panjangnya 920 Kilometer. Ada ribuan anak sungai yang mengalirkan air dan lumpur ke Sungai Mahakam dan ujungnya adalah Kota Samarinda.
Pendek cerita, air hujan dari Kutai Barat, Kutai Kartanegara bahkan dari wilayah perbatasan Kalimantan Tengah tumpah ke sungai yang menjadi kebanggaan orang Kaltim ini. Sebagian air itu tertampung di ’folder-folder’ alam Danau Semayang, Danau Melintang dan lainnya, sebagian lagi memasuki daerah rendah yang mengakibatkan banjir besar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara. Dari cerita orang-orang tua di kota Samarinda bahwa sejak jaman baheula banjir memang sudah biasa terjadi.
Persoalannya adalah mengapa perubahan iklim ini terlalu cepat dahsyat?
Drakula
PASCA 9 April 2009, obrolan publik didominasi soal calon legislative (Caleg) yang gagal masuk parlemen. Menjadi tambah seru karena media-media – lokal dan nasional – memblow-up tingkah laku caleg-caleg yang gagal itu. Ada yang stress, bunuh diri, masuk rumah sakit jiwa bahkan meninggal dunia karena jantungan. “Tuh di Palaran sudah ada caleg gagal yang buka-buka baju sambil keluyuran,” tulis seorang teman anggota jaringan facebook. Palaran adalah sebuah kecamatan di ujung Kota Samarinda.
Pemilu Indonesia 2009 memang menjadi peristiwa terbesar sejagad raya. Bayangkan ada 43 partai (Kaltim 38 partai) yang ikut bertanding, dengan jumlah calon anggota legislative yang ikut kompetisi di seluruh Indonesia – mulai DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten, sekitar 1,7 Juta jiwa.
Asumsinya, dengan jumlah pemilih sekitar 170 Juta jiwa, maka pada tiap 100 warga negara terwakili satu menjadi caleg alias 100 : 1. Seorang teman yang tahu tentang Malaysia menyebutkan di negeri Jiran rasionya 10.000 : 1.
Begitu bersemangatnya putra-putri Indonesia terjun ke dunia politik. Terutama di level “Hak Dipilih”. Sampai-sampai mereka rela mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Tidak hanya bersaing dengan para kandidat partai lain, tetapi juga ‘saling terkam’ sesama caleg di internal partai sendiri. Mengorbankan rasa persaudaraan, persatuan, loyalitas. Gara-gara nafsu meraih predikat ‘anggota dewan yang terhormat’, mereka tak sungkan-sungkan menjatuhkan kandidat lain dengan cara tidak terpuji.
Ini berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi warga yang menggunakan “Hak Memilih”. Kabar menyebutkan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya di atas 30 persen atau sekitar 51 Juta orang. Mereka adalah yang cuek, sengaja Golput dan warga yang tidak terdaftar atau tidak menerima undangan ke TPS (Tempat Pemungutsan Suara).
Jelas ini fenomena baru. Iklim politik ’suara terbanyak’ yang menjadi pemenang, berhasil memunculkan nafsu luar biasa di masyarakat. Mereka efhoria, seakan ada lowongan kerja baru di dunia politik. Lowongan menjadi anggota dewan yang terhormat.
Lantaran itu banyak diantara mereka yang berusaha menyogok rakyat. Sebelum hari pencontrengan, kandidat membagi-bagi uang alias money politic. Jumlah uang yang dihambur juga tidak sedikit, karena ada yang sampai di atas Rp5 Miliar untuk menjadi anggota DPRD Kaltim saja.
Bisa dibayangkan, apa jadinya kalau parlemen kita berisi para politisi yang mendapatkan dukungan karena menyogok rakyat. Apa bedanya politisi itu dengan ‘drakula’? Mereka bakal mencari uang pengganti selama berada di lingkungan kekuasaan. Mulai dengan cara normal sampai ‘menghisap’ apa saja yang ada di anggaran pemerintahan (APBD). Halal dan tidak halal menjadi semakin tipis bedanya. **
Batubara
KETIKA PT Kaltim Prima Coal (KPC) mengumumkan rencana peningkatan produksi batubara dari 48 Juta ke 70 Juta Metrik Ton (MT) per tahun, sejumlah kalangan bereaksi. Dan seperti biasanya, para aktivis lingkungan menolak.
Kalau rencana PT KPC direalisasikan, maka Kaltim bakal menembus angka spektakuler dalam eksploitasi batubara. Yakni 125 Juta MT dari produksi saat ini yang sudah mendekati angka 100 Juta MT per tahun. Dan itu berarti ada uang dari pembeli batubara yang (mestinya) masuk ke Kaltim sekitar Rp8.750.000.000.000 (dengan asumsi harga batubara Rp70.000 per ton).
Hebatnya, dari angka Rp8,75 Triliun itu lebih 50 persen ada di PT Kaltim Prima Coal yang menambang di kawasan Sengata dan Bengalon Kutai Timur. Inilah perusahaan raksasa batubara kelas dunia yang sahamnya pernah dikuasai Grup Bakrie. Perusahaan yang juga punya track record tertinggi dalam tingkat konflik antara pemilik, penguasa dan rakyat.
Tambang memang sumber konflik. Bahkan di negeri manapun, sumber energi selalu menjadi biang perselisihan antarnegara. Para penambang, biasanya, berlomba-lomba untuk mencari pengaruh di tubuh kekuasaan. Dengan ‘uang’-nya pengusaha tambang umumnya berniat menguasai oknum-oknum pemerintahan.
Tidak heran kalau ada konflik perusahaan – masyarakat, maka suara pemerintah lebih condong kepada pengusaha. Bahkan para pengusaha itu bisa ‘mengatur’ pemerintahan seperti yang diinginkannya.
Bagaimana dengan ulah pengusaha tambang dalam upaya mempengaruhi pemerintahan di Kaltim?
Bukan lagi cerita baru bahwa di zaman sulit korupsi ini, banyak pejabat-pejabat pemerintahan bersandar pada pengusaha batubara. Mulai dari tingkat lokal sampai nasional. “Kalau pejabat Kaltim ke Jakarta, sekarang yang kasih servis itu para pengusaha batubara,” begitu ceritanya.
Tiap kali Pilkada, para calon kandidat berusaha mencari sponsor dari kalangan pengusaha. Dan yang sekarang sedang trend - karena dianggap paling banyak uang - adalah pengusaha batubara. Alhasil sejumlah pemenang Pilkada saat inipun terindikasi punya hubungan spesial dengan beberapa pengusaha batubara kelas kakap. Sudah menjadi rahasia umum.
Perilaku hubungan pengusaha – penguasa ini sebenarnya hanya bentuk ’migrasi’. Kalau dulu antara pengusaha kayu dengan oknum pemerintah, tapi sekarang antara pengusaha tambang dengan oknum pemerintah.
Masa kejayaan kayu sudah nyaris berakhir seiring dengan semakin langkanya kayu tegakan di hutan yang tersisa. Sekarang adalah kejayaan batubara yang oleh Dinas Pertambangan Kaltim diprediksi tidak bakal habis dieksploitasi sampai 90 tahun ke depan.
Sangat jelas, ini adalah masa-masa menguatirkan karena pengusaha pertambangan bakal semakin merajalela di pemerintahan. Harus ada solusi. **
Kalau rencana PT KPC direalisasikan, maka Kaltim bakal menembus angka spektakuler dalam eksploitasi batubara. Yakni 125 Juta MT dari produksi saat ini yang sudah mendekati angka 100 Juta MT per tahun. Dan itu berarti ada uang dari pembeli batubara yang (mestinya) masuk ke Kaltim sekitar Rp8.750.000.000.000 (dengan asumsi harga batubara Rp70.000 per ton).
Hebatnya, dari angka Rp8,75 Triliun itu lebih 50 persen ada di PT Kaltim Prima Coal yang menambang di kawasan Sengata dan Bengalon Kutai Timur. Inilah perusahaan raksasa batubara kelas dunia yang sahamnya pernah dikuasai Grup Bakrie. Perusahaan yang juga punya track record tertinggi dalam tingkat konflik antara pemilik, penguasa dan rakyat.
Tambang memang sumber konflik. Bahkan di negeri manapun, sumber energi selalu menjadi biang perselisihan antarnegara. Para penambang, biasanya, berlomba-lomba untuk mencari pengaruh di tubuh kekuasaan. Dengan ‘uang’-nya pengusaha tambang umumnya berniat menguasai oknum-oknum pemerintahan.
Tidak heran kalau ada konflik perusahaan – masyarakat, maka suara pemerintah lebih condong kepada pengusaha. Bahkan para pengusaha itu bisa ‘mengatur’ pemerintahan seperti yang diinginkannya.
Bagaimana dengan ulah pengusaha tambang dalam upaya mempengaruhi pemerintahan di Kaltim?
Bukan lagi cerita baru bahwa di zaman sulit korupsi ini, banyak pejabat-pejabat pemerintahan bersandar pada pengusaha batubara. Mulai dari tingkat lokal sampai nasional. “Kalau pejabat Kaltim ke Jakarta, sekarang yang kasih servis itu para pengusaha batubara,” begitu ceritanya.
Tiap kali Pilkada, para calon kandidat berusaha mencari sponsor dari kalangan pengusaha. Dan yang sekarang sedang trend - karena dianggap paling banyak uang - adalah pengusaha batubara. Alhasil sejumlah pemenang Pilkada saat inipun terindikasi punya hubungan spesial dengan beberapa pengusaha batubara kelas kakap. Sudah menjadi rahasia umum.
Perilaku hubungan pengusaha – penguasa ini sebenarnya hanya bentuk ’migrasi’. Kalau dulu antara pengusaha kayu dengan oknum pemerintah, tapi sekarang antara pengusaha tambang dengan oknum pemerintah.
Masa kejayaan kayu sudah nyaris berakhir seiring dengan semakin langkanya kayu tegakan di hutan yang tersisa. Sekarang adalah kejayaan batubara yang oleh Dinas Pertambangan Kaltim diprediksi tidak bakal habis dieksploitasi sampai 90 tahun ke depan.
Sangat jelas, ini adalah masa-masa menguatirkan karena pengusaha pertambangan bakal semakin merajalela di pemerintahan. Harus ada solusi. **
Patriot
CERITA legendaris Robin Hood tak pernah lekang oleh zaman. Anak-anak di era digital pun masih tertarik dengan ketokohan dalam cerita rakyat Inggris itu. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John, melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut "Merry Men".
Kelak, bagian cerita adalah bagaimana Robin Hood dan rombongannya merampok harta para orang kaya yang tamak, yang mendapat hartanya dari korupsi, untuk membantu rakyat miskin.
Cerita tentang orang miskin pun tak pernah lekang dari seluruh peradaban manusia. Siapapun pemimpin negeri tak pernah ada yang mampu menuntaskan kemiskinan itu, termasuk para pemimpin Indonesia.
Tapi, coba simak kampanye calon-calon pemimpin itu. Mulai dari tokoh-tokoh nasional sampai ke daerah, semua tidak malu menyuarakan kesejahteraan rakyat. Ingin melepaskan rakyat dari kemiskinan.
Ketika merasa yakin bahwa sumber kemiskinan adalah korupsi yang merajalela dan pendidikan rakyat yang masih rendah, sebenarnya yang dibutuhkan adalah para patriot negeri yang berani konsen dikedua sektor ini. Tentu bukan lagi sekedar ’peduli’ tanpa tindakan seperti yang dilakukan tokoh-tokoh masa kini. Tapi barangkali kepedulian dan keberanian sekelas Robin Hood. Merampok si kaya untuk membangun si miskin.
Kata ’merampok’ pastilah menjadi perbuatan pidana yang melanggar hukum. Itu sudah tidak bisa dilakukan lagi, karena peradaban negeri telah berubah; tak mungkin mengatasi penyakit negeri dengan cara melanggar hukum.
Tapi para patriot negeri masih punya cara lain. So, misalnya Presiden Barack Obama yang meluncurkan kebijakan pengenaan pajak 95 persen untuk pesangon para eksekutif perusahaan yang bangkrut akibat krisis global. Sangat ironi memang ketika negara / rakyat mengalami masalah ekonomi global, sementara perusahaan-perusahaan besar yang terpaksa mem-PHK para eksekutif dan karyawannya memperoleh pesangon yang sangat luar biasa besar. Apalagi, dana yang digulirkan kepada para eksekutif itu bersumber dari luncuran bantuan pemerintah. Dengan luncuran kebijakan pajak khusus oleh Obama, otomatis uang pesangon super besar bakal kembali ke negara.
Adakah cara para pengelola negeri ini untuk mengutak-atik harta kekayaan para konglomerat untuk membantu si negara memerangi si miskin?
Kini saatnya rakyat memilah-milah, partai apa dan siapa yang pantas diangkat sebagai patriot sejati untuk menerima amanah. Tanggal 9 April 2009, rakyat jangan salah pilih. Teliti sebelum membeli. Semoga. **
Pondasi
SAMPAI pertengahan bulan Maret 2009, atau menjelang berakhirnya 100 hari kerja Gubernur dan Wagub Kaltim Awang Faroek Ishak – Farid Wadjdy, nyaris belum terlihat apa prestasi mereka. Mau bangun jalan tol masih sebatas mimpi, bangun rel kereta api baru sekadar bayangan dan membenahi kelangkaan setrum listrik dengan merekomendasi PLN memperoleh pinjaman Rp2 Triliun dari Bank Kaltim, sangat-sangat diragukan karena tidak feasible.
Mau konsen ke pertahanan pangan seperti janji Gubernur Faroek, juga tidak muncul tanda-tandanya. Hasrat menjadikan kawasan perbatasan negara sebagai beranda Indonesia, baru sebatas wacana dan membangun jutaan hektar kebun sawit terasa mengendor setelah krisis global melanda.
Memang, dalam tempo waktu tiga bulan tak banyak yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin setingkat gubernur. Pada masa-masa itu, Faroek baru sebatas menyelaraskan para pemangku kepentingan dalam pembangunan. Misalnya menyusun ‘kabinet’ dengan melakukan mutasi, berdialog dengan tokoh-tokoh masyarakat dan juga membangun komunikasi aktif dengan bupati dan walikota.
Tak heran, kesan selama tiga bulan perjalanan pemerintahan Faroek, yang terbaca di surat-surat kabar adalah sejumlah acara seremonial (peresmian). Ada juga road show ke sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu, dengan harapan seluruh program pemerintah pusat lebih fokus ke Kalimantan Timur.
Anehnya, masih miskinnya prestasi ini tak diimbangi dengan meletakkan pondasi yang benar agar kokoh dalam perjalanan lima tahun ke depan. Buktinya, baru pada awal bulan Maret 2009 ini Gubernur bersama seluruh bupati/walikota diundang khusus untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014.
Padahal, RJPM hukumnya wajib sesuai UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005. Itu perencanaan strategis yang orientasinya pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1-5 tahun. Sebelumnya, Kaltim memakai RPJM zaman Gubernur Suwarna.
Lebih ironi lagi, pemerintahan Faroek masih harus berkutat dengan perjuangan menggolkan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) Kaltim. Pekan tadi, Faroek bersama dengan beberapa bupati / walikota di Kaltim mendatangi sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu dengan tujuan mendesak disahkannya RTRW itu.
Tanpa RJPM dan RTRW, sudah pasti mematikan minat investor untuk menanamkan modalnya di Kaltim. Karena tidak adanya kepastian hukum, maka kepercayaan pemodal juga lemah karena merasa investasinya tidak aman. Gubernur Faroek mestinya memulai dengan membangun pundi-pundi pondasi ini. Selamat bekerja. **
Langganan:
Postingan (Atom)