SEBUAH kabar muncul dari Kantor Gubernur Kaltim di Jalan Gajah Mada Samarinda. Ketika petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan di sebuah brankas, ditemukan catatan pemberian sejumlah travel cheq sebuah bank yang diperuntukkan pada puluhan orang termasuk sejumlah nama yang selama ini dikenal sebagai tokoh di Kaltim.
Kuat dugaan, pemberian travel cheq itu berkaitan dengan pembelian mobil pemadam kebakaran yang kini menjadi penyidikan KPK di Jakarta. Diantara mereka – lagi, konon katanya – ada nama seorang perempuan berinitial KMS. Dan, hebatnya, perempuan ini disebut-sebut sebagai istri muda seorang pejabat tinggi di Kaltim.
Ah, itu baru gosip. Saat BONGKAR! mulai tanya sana-sini, tidak ada nama tersebut sebagai pejabat yang pantas menerima uang. Atau dari unsur kontraktor atau unsur lain yang mungkin terlibat dalam pembelian. Huuh! Jadi siapa Ny KMS ini?
Saat ditanya via SMS (short massage system) kepada Syaiful Teteng, Sekdaprov Kaltim, yang bersangkutan tidak juga memberikan jawaban. Ini semakin memperpanjang keingintahuan ada apa di balik pembelian mobil PMK tersebut.
Dasar penyelidikan oleh KPK karena adanya dugaan penggelembungan harga dalam pembelian dua kali pembelian mobil PMK untuk Kaltim. Yang pertama pada pembelian 29 unit PMK tahun 2003 dan telah dibagikan ke seluruh kabupaten dan kota di Kaltim, sedangkan yang kedua pada dua unit mobil pemadam canggih yang diperuntukkan perkotaan, yakni Kota Samarinda dan Balikpapan. Pemprov Kaltim ketahuan mengeluarkan anggaran Rp23 Miliar pada tahun anggaran 2005. Padahal, ditaksir harga mobil tersebut hanya berkisar 5-6 Miliar per unit.
Yang membuat kasus ini bertambah luar biasa, karena ternyata DPRD Kaltim pada tahun 2005 itu merestui pembelian dua unit mobil pemadam senilai Rp20 Miliar saja. Tapi mengapa tiba-tiba menjadi Rp23 Miliar? Dan kemana larinya uang sekitar Rp3 Miliar itu?
Mulai Yurnalis Ngayoh, Syaiful Teteng dan juga pejabat keuangan di Pemprov Kaltim harus bolak-balik ke kantor KPK di Jalan Veteran Jakarta Pusat. Mereka sudah mulai terbiasa dan banyak kenal dengan para staf yang berada di sana. Teteng bahkan belakangan sudah jarang berada di Kaltim, karena pemeriksaan terhadap dirinya semakin intensif saja.
Kemelut hukum di tubuh Pemprov Kaltim itu ternyata mulai merambat melemahnya pelayanan sektor publik. Akibat sering tidak ada di tempat, membuat pekerjaan pemerintahan ikut terganggu. Bayangkan, untuk anggaran 2007 ini saja sampai bulan Juli 2007 atau lewat separuh tahun anggaran belum juga selesai. Lalu, sejumlah jabatan penting yang dipegang Syaiful Teteng ikut-ikutan terkendala.
Seperti diketahui Syaiful Teteng memegang peranan penting dalam panitia Pengurus Besar PON XVII Kaltim dan KONI Kaltim. Ia duduk sebagai Ketua Harian PB PON yang mengeluarkan kebijakan untuk mempersiapkan pelaksanaan PON. Dia pula yang punya kewenangan mengatur anggaran PON maupun KONI, termasuk bonus atelet peraih emas dari Kaltim.
Dan, ternyata persoalan di penyelenggaraan PON semakin menggantung, karena Teteng dianggap tidak konsentrasi lagi. Hal itu yang memicu jajaran pengurus KNPI Kaltim bersama dengan masyarakat olahraga mendorong agar Syaiful Teteng mundur dari jabatannya. Mereka melakukan demonstrasi, meminta Teteng lengser. Sayangnya waktu demo berlangsung Teteng masih di Jakarta, dan teleponnya tidak ada bisa dihubungi. **
menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Selasa, 10 Juli 2007
Kamis, 05 Juli 2007
Tebang Pilih
Tebang Pilih
Oleh: Charles Siahaan
Kosa kata ini dikenal di sektor kehutanan; yakni sebuah sistim penebangan pohon besar berdiameter 50 – up untuk diambil kayunya. Siapapun yang ketahuan menebang di bawah diameter itu, maka ada hukum pidana ganjarannya.
Akan tetapi sekarang muncul kosa kata “Tebang Pilih” untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua kata itu berhembus kencang menyerang pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK). Sejumlah praktisi, aktivis mengumandangkan tudingan Tebang Pilih itu. Kemudian menjadi senjata aktor-aktor politik untuk menyerang pemerintahan SBY – JK.
Digambarkan, upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintahan SBY – JK hanya untuk kepentingan pencitraan SBY untuk kepentingan Pemilu tahun 2009. SBY dan JK diprediksi akan maju kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Yang diberantas juga masih pilih-pilih. Misalnya para pejabat sekelas Menteri di kabinet Megawati Soekarno Putri dan para Gubernur, Walikota dan Bupati. Semuanya hanya untuk memberikan gambaran kalau pemerintahan SBY-JK serius melibas para petinggi negara.
Analisa itu muncul karena realitas. Karena mantan Presiden Soeharto dan kroni tidak juga diadili dan tidak serius mengejar para ”perampok” BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang telah mengemplang uang negara ratusan triliun rupiah.
Fakta lain adanya sikap membentengi dari Jusuf Kalla terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Izha Mahendra yang ketahuan membiarkan rekening Menhuk dan HAM digunakan transfer uang Tommy Soeharto dari luar negeri. Sepertinya mereka tidak ikut dilibas.
Kalau mau jujur, pemberantasan korupsi di Indonesia terasa mulai membaik. Di daerah-daerah pejabat publik semakin berhati-hati untuk menggunakan anggaran. DPRD Kaltim merasa perlu berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi, sistim tender pengadaan barang dan jasa diupayakan melalui proses e-government. Lewat internet.
Bahkan di Samarinda Walikotanya membuat loncatan dalam upaya memperkecil kebiasaan melakukan korupsi, yakni membebaskan biaya pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Kita menyadari korupsi di Indonesia sudah begitu akut, sehingga nyaris semua orang pernah terlibat di dalamnya. Ketika kita akan berurusan dengan kantor kelurahan, maka frame pikiran kita sudah tertanam keinginan menyelesaikan urusan dengan cara cepat dengan memberi suap atau memberi tip kepada staf kelurahan. Kebiasaan perilaku ini yang perlu dirubah dan yang mampu merubahnya adalah komitmen pemerintah seperti yang dilakukan Pemkot Samarinda itu.
Pemerintahan SBY – JK semestinya bisa berpikir seperti Pemkot Samarinda. Melarang pemerintahan daerah memungut biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran. Selain untuk meringankan beban warga juga yang terpenting memutus perilaku korupsi. Kebijakan seperti ini pasti tidak mengenal istilah ”Tebang Pilih”. ** (Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR! edisi 25)
Oleh: Charles Siahaan
Kosa kata ini dikenal di sektor kehutanan; yakni sebuah sistim penebangan pohon besar berdiameter 50 – up untuk diambil kayunya. Siapapun yang ketahuan menebang di bawah diameter itu, maka ada hukum pidana ganjarannya.
Akan tetapi sekarang muncul kosa kata “Tebang Pilih” untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Dua kata itu berhembus kencang menyerang pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK). Sejumlah praktisi, aktivis mengumandangkan tudingan Tebang Pilih itu. Kemudian menjadi senjata aktor-aktor politik untuk menyerang pemerintahan SBY – JK.
Digambarkan, upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintahan SBY – JK hanya untuk kepentingan pencitraan SBY untuk kepentingan Pemilu tahun 2009. SBY dan JK diprediksi akan maju kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Yang diberantas juga masih pilih-pilih. Misalnya para pejabat sekelas Menteri di kabinet Megawati Soekarno Putri dan para Gubernur, Walikota dan Bupati. Semuanya hanya untuk memberikan gambaran kalau pemerintahan SBY-JK serius melibas para petinggi negara.
Analisa itu muncul karena realitas. Karena mantan Presiden Soeharto dan kroni tidak juga diadili dan tidak serius mengejar para ”perampok” BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang telah mengemplang uang negara ratusan triliun rupiah.
Fakta lain adanya sikap membentengi dari Jusuf Kalla terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Izha Mahendra yang ketahuan membiarkan rekening Menhuk dan HAM digunakan transfer uang Tommy Soeharto dari luar negeri. Sepertinya mereka tidak ikut dilibas.
Kalau mau jujur, pemberantasan korupsi di Indonesia terasa mulai membaik. Di daerah-daerah pejabat publik semakin berhati-hati untuk menggunakan anggaran. DPRD Kaltim merasa perlu berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi, sistim tender pengadaan barang dan jasa diupayakan melalui proses e-government. Lewat internet.
Bahkan di Samarinda Walikotanya membuat loncatan dalam upaya memperkecil kebiasaan melakukan korupsi, yakni membebaskan biaya pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akte Kelahiran.
Kita menyadari korupsi di Indonesia sudah begitu akut, sehingga nyaris semua orang pernah terlibat di dalamnya. Ketika kita akan berurusan dengan kantor kelurahan, maka frame pikiran kita sudah tertanam keinginan menyelesaikan urusan dengan cara cepat dengan memberi suap atau memberi tip kepada staf kelurahan. Kebiasaan perilaku ini yang perlu dirubah dan yang mampu merubahnya adalah komitmen pemerintah seperti yang dilakukan Pemkot Samarinda itu.
Pemerintahan SBY – JK semestinya bisa berpikir seperti Pemkot Samarinda. Melarang pemerintahan daerah memungut biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran. Selain untuk meringankan beban warga juga yang terpenting memutus perilaku korupsi. Kebijakan seperti ini pasti tidak mengenal istilah ”Tebang Pilih”. ** (Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR! edisi 25)
Geopolitik
Geopolitik
Oleh: Charles Siahaan
RAJA Inal Siregar (Alm) disukai rakyat karena semasa menjabat Gubernur Sumatera Utara melakukan gerakan “masipature huta na be”. Dalam bahasa Indonesia gerakan itu bisa disebut sebagai seruan untuk memperbaiki kampung sendiri. Sang gubernur mengetuk hati kebanyakan orang Batak (baca Sumut-red) di perantauan untuk back to basic alias pulang kampung dan menyisihkan uang membenahi rumah sendiri.
Alhasil, sepanjang sisi Danau Toba bertumbuhan hotel, restoran dan kawasan berwisata. Bahkan berdiri rumah sakit, pusat perbelanjaan yang sebagian adalah bentuk partisipasi warga yang mencari uang di perantauan.
Yusril Izha Mahendra yang terlempar dari kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) bersiap menuju pentas pemilihan Presiden tahun 2009. Kini ia tengah menghitung kesempatan paling gampang dengan cara mengkaitkan faktor geopolitik.
Sebagai orang Sumatera (Bangka), Yusril ingin berpasangan dengan orang Jawa. Ia melihat sisi jumlah penduduk (pemilih) di negeri ini yang mayoritas memang orang Jawa. Jusuf Kalla juga pernah melontarkan kata-kata; ”Saya bukan orang Jawa” untuk mematahkan spekulasi bahwa ia akan maju menjadi calon Presiden dari Partai Golkar.
Ranah politik Indonesia tak dapat dipungkiri masih sangat dipengaruhi faktor geopolitik. Bahkan lembaga-lembaga survey masih pula meyakini bahwa faktor kuantitas kelompok suku tertentu menjadi penentu keberhasilan aktor politik. Dengan kata lain, sebenarnya orang Indonesia belum masuk pada tingkat masyarakat yang cerdas. Mereka lebih bersandar pada asal-usul dari pada kemampuan seseorang.
Faktor geopolitik bukan masalah sepele. Karena ini berkaitan juga dengan tingkat kepatuhan konstituen kepada pemimpinnya. Kepatuhan rakyat adalah modal terbesar suksesnya pembangunan, karena energi untuk membangun bukan hanya ada pada pemerintah saja.
Kalimantan Timur akhirnya mengalami ketertinggalan pembangunan yang salah satu faktornya adalah masalah geopolitik itu pula. Suwarna AF adalah Gubernur dari Suku Sunda yang minoritas di daerah ini, sehingga untuk membangkitkan gerakan partisipasi rakyat seperti yang dilakukan Raja Inal Siregar di Sumatera Utara – ia tidak mampu. Bahkan dengan cara menggulirkan semboyan ”Bangga Membangun Kaltim” pun, tetap saja rakyat tak bergerak. Tidak patuh. Ditambah lagi dengan sikap Pemerintah Provinsi Kaltim yang ambisius membangun proyek-proyek yang tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat, membuat rakyat semakin tak peduli dan memilih menjadi pembangkang.
Raja Inal Siregar kebetulan adalah putra daerah karena ia memimpin penduduk mayoritas dengan homogenitas empat puak suku Batak (Toba, Karo, Mandailing dan Sidempuan), sedangkan di Kalimantan Timur jumlah suku terbesar dalam urut-urutan adalah suku Jawa, Bugis (Sulsel), Banjar (Kalsel) dan kemudian suku-suku lokal. Menyimak data-data itu memberikan gambaran bahwa posisi geopolitik di Sumatera Utara sangat berbeda dengan Kalimantan Timur. Tapi apapun situasinya untuk percepatan membangun daerah masih tetap ditentukan oleh asal-usul suku siapa pemimpinnya. **
Oleh: Charles Siahaan
RAJA Inal Siregar (Alm) disukai rakyat karena semasa menjabat Gubernur Sumatera Utara melakukan gerakan “masipature huta na be”. Dalam bahasa Indonesia gerakan itu bisa disebut sebagai seruan untuk memperbaiki kampung sendiri. Sang gubernur mengetuk hati kebanyakan orang Batak (baca Sumut-red) di perantauan untuk back to basic alias pulang kampung dan menyisihkan uang membenahi rumah sendiri.
Alhasil, sepanjang sisi Danau Toba bertumbuhan hotel, restoran dan kawasan berwisata. Bahkan berdiri rumah sakit, pusat perbelanjaan yang sebagian adalah bentuk partisipasi warga yang mencari uang di perantauan.
Yusril Izha Mahendra yang terlempar dari kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) bersiap menuju pentas pemilihan Presiden tahun 2009. Kini ia tengah menghitung kesempatan paling gampang dengan cara mengkaitkan faktor geopolitik.
Sebagai orang Sumatera (Bangka), Yusril ingin berpasangan dengan orang Jawa. Ia melihat sisi jumlah penduduk (pemilih) di negeri ini yang mayoritas memang orang Jawa. Jusuf Kalla juga pernah melontarkan kata-kata; ”Saya bukan orang Jawa” untuk mematahkan spekulasi bahwa ia akan maju menjadi calon Presiden dari Partai Golkar.
Ranah politik Indonesia tak dapat dipungkiri masih sangat dipengaruhi faktor geopolitik. Bahkan lembaga-lembaga survey masih pula meyakini bahwa faktor kuantitas kelompok suku tertentu menjadi penentu keberhasilan aktor politik. Dengan kata lain, sebenarnya orang Indonesia belum masuk pada tingkat masyarakat yang cerdas. Mereka lebih bersandar pada asal-usul dari pada kemampuan seseorang.
Faktor geopolitik bukan masalah sepele. Karena ini berkaitan juga dengan tingkat kepatuhan konstituen kepada pemimpinnya. Kepatuhan rakyat adalah modal terbesar suksesnya pembangunan, karena energi untuk membangun bukan hanya ada pada pemerintah saja.
Kalimantan Timur akhirnya mengalami ketertinggalan pembangunan yang salah satu faktornya adalah masalah geopolitik itu pula. Suwarna AF adalah Gubernur dari Suku Sunda yang minoritas di daerah ini, sehingga untuk membangkitkan gerakan partisipasi rakyat seperti yang dilakukan Raja Inal Siregar di Sumatera Utara – ia tidak mampu. Bahkan dengan cara menggulirkan semboyan ”Bangga Membangun Kaltim” pun, tetap saja rakyat tak bergerak. Tidak patuh. Ditambah lagi dengan sikap Pemerintah Provinsi Kaltim yang ambisius membangun proyek-proyek yang tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat, membuat rakyat semakin tak peduli dan memilih menjadi pembangkang.
Raja Inal Siregar kebetulan adalah putra daerah karena ia memimpin penduduk mayoritas dengan homogenitas empat puak suku Batak (Toba, Karo, Mandailing dan Sidempuan), sedangkan di Kalimantan Timur jumlah suku terbesar dalam urut-urutan adalah suku Jawa, Bugis (Sulsel), Banjar (Kalsel) dan kemudian suku-suku lokal. Menyimak data-data itu memberikan gambaran bahwa posisi geopolitik di Sumatera Utara sangat berbeda dengan Kalimantan Timur. Tapi apapun situasinya untuk percepatan membangun daerah masih tetap ditentukan oleh asal-usul suku siapa pemimpinnya. **
Program Ilusi
Program Ilusi
Oleh: Charles Siahaan
KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **
(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)
Oleh: Charles Siahaan
KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **
(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)
Program Ilusi
Program Ilusi
Oleh: Charles Siahaan
KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **
KADANG, hati kecil kita ikut tertawa manakala muncul janji para politikus kepada rakyat. Untuk sebuah kekuasaan, seorang politikus mengumbar janji agar datang simpati dan rakyat tertarik memilihnya. Persis seorang sales yang mati-matian mempromosikan produk jualannya.
Ada yang menjual program bernama ”Kalima”, yakni singkatan dari (peningkatan) Keimanan, (pengentasan) Kemiskinan, (pemberantasan) Kebodohan, (perluasan) Kesempatan kerja, dan (peningkatan pelayanan) Kesehatan. Serta kemudian muncul pula barang jualan bernama ”SENYUM” yang merupakan singkatan program Sejahtera, Ekonomi, Nyaman, Yakin Usaha dan Madani.
Semua itu, sebenarnya hanya program ilusi. Dia hanya berupa konsep di atas kertas yang bisa sekadar menjadi sumber diskusi kalangan akademisi. Buat rakyat, program seperti itu hanya pepesan kosong. Tidak menarik karena siapapun pemimpin di negeri ini pasti terjerat dengan program retorika akademis seperti itu. Program ”Kalima” dan ”SENYUM” tidak lebih hanya permainan keindahkan kata-kata.
Rakyat Kaltim tidak membutuhkan keindahan kata-kata lagi. Rakyat tidak mau ikut dalam perdebatan kalangan akademisi, karena toh sudah begitu besar kesempatan tapi hasilnya adalah kemiskinan yang semakin besar juga jumlahnya.Harga sembako yang makin mahal, jalur darat yang tidak juga tuntas, transportasi udara ke pedalaman yang mogok dan lingkungan yang tidak sehat.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya jalan pintas mengubur angka kemiskinan itu. Seringkali pemimpin mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, namun kenyataannya itu bukan solusi mengangkat rakyat dari garis kemiskinan.
Sebaliknya, pintu investasi asing yang dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam negeri. Sebagian besar sumber daya alam di Kaltim justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Kaltim. Buktinya sumber energi Migas dan batubara yang melimpah tak juga bisa menyelesaikan byarpet listrik di daerah ini, karena kita mengutamakan kebutuhan pasar asing dari pada domestik.
Seringkali pula pemimpin berpikir tentang pemberdayaan masyarakat (civil society) sebagai jalan paling ampuh mengentaskan kemiskinan, tetapi itupun tak terbukti. Penguatan kapasitas individual dan kelompok di masyarakat agar pintar dalam memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar, seperti melatih nelayan mengolah ikan dan membangun industri hilir perkayuan, belum mampu juga membuat semua rakyat Kaltim hidup sejahtera.
Membuka kebijakan investasi asing sama dengan melimpahkan pengelolaan sumber daya alam Kaltim kepada pihak luar, sehingga kita semakin tergantung dengan mereka. Pada akhirnya rakyat Kaltim kehilangan ”keperkasaan” jatidiri sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kaya, hanya saja kekayaan itu bukan lagi menjadi milik kita.
Sedangkan sivil society memang tak bisa diraih seketika. Sebab sudah terlalu lama pemerintah jaman Orde Baru menciptakan sistim yang korup dan berbuah kemiskinan. Melupakan pentingnya kemandirian individual.
Membangun kekuatan lokal juga memerlukan waktu lama, walau banyak kalangan NGO (non government organitations) meyakini lebih baik tidak berlari terlalu cepat, dari pada menjual SDA kepada pihak asing, tapi nantinya membuat kita tergelincir lebih cepat. **
(Telah diterbitkan di Majalah BONGKAR!, edisi 27)
Penghianatan
Penghianatan
Oleh: Charles Siahaan
HATI kita boleh miris kalau membicarakan soal divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Bayangkan, sudah lebih empat belas tahun divestasi saham diperjuangkan, tapi ada pihak kelompok tertentu yang notabene tokoh-tokoh Kalimantan Timur berusaha menghalang-halangi.
Divestasi saham adalah kewajiban perusahaan pertambangan batubara yang mengantongi izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara). Dalam surat perjanjian yang telah disepakati pemerintah dan pengusaha pertambangan itu diatur kewajiban perusahaan melepas sahamnya secara bertahap mulai dari 15 persen, 30 sampai dengan 51 persen.
Semangat divestasi ini agar putra-putri Indonesia bisa menjadi petambang batubara juga. Jika dulu tambang batubara hanya diolah oleh perusahaan asing, maka dengan perjanjian itu ada kesempatan orang Indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri. Divestasi saham diprioritaskan dijual kepada pemerintah (pusat atau daerah) – tentunya boleh menggandeng pengusaha lokal juga.
Tapi rupanya, angka divestasi 51 persen saham PT KPC sangatlah besar. Sekitar US$ 419 juta atau Rp3,77 Triliun (kurs Rp9.000 dengan harga 100 persen PT KPC US$ 822, sesuai dengan perhitungan pemerintah dengan PT KPC sebelum akuisisi ke PT Bumi Resources tbk). Ini angka yang fantastis, menggiurkan, sehingga mengundang imajinasi jahat beberapa pihak. Persengkongkolan pengusaha dengan politikus serta oknum pemerintah sendiri.
Terbukti sudah. Kewajiban divestasi mulai diakali oleh para pemegang saham PT KPC, agar tidak pernah terjadi lagi. Hak Pemerintah Daerah dikaburkan agar menjadi hak kelompok tertentu. Kekuatan politik ikut masuk untuk membuat sebuah restu palsu.
Skenario persengkongkolan pengusaha – politikus – pemerintah itu terbaca dengan gamblang ketika ada kesempatan pemerintah provinsi Kaltim melakukan gugatan lewat arbitrase internasional kepada para pemegam saham PT KPC, baik yang lama Rio Tinto dan Beyond Petroleum maupun pemegang saham baru PT Bumi Resources tbk.
Semua organ yang bersengkongkol memainkan peranan masing-masing mengikuti selera dari para pemegang saham agar gugatan itu batal. Mulai dari mengulur-ulur jadwal pembicaraan soal pembiayaan persidangan, membuat opini bahwa jalur arbitrase tidak lebih baik dari negosiasi langsung, sampai dengan pencarian dukungan publik bahwa uang APBD tidak boleh digunakan untuk biaya berperkara di pengadilan.
Luar biasa. Demi membela sebuah korporasi yang menguras sumber daya alam Kalimantan Timur, tokoh-tokoh politik dan pemerintah daerah ini berani menyampingkan hak daerah dalam soal divestasi. Untuk sebuah persengkongkolan mereka berani merampok hak-hak daerah agar menjadi hak mereka. ***
Oleh: Charles Siahaan
HATI kita boleh miris kalau membicarakan soal divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Bayangkan, sudah lebih empat belas tahun divestasi saham diperjuangkan, tapi ada pihak kelompok tertentu yang notabene tokoh-tokoh Kalimantan Timur berusaha menghalang-halangi.
Divestasi saham adalah kewajiban perusahaan pertambangan batubara yang mengantongi izin PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara). Dalam surat perjanjian yang telah disepakati pemerintah dan pengusaha pertambangan itu diatur kewajiban perusahaan melepas sahamnya secara bertahap mulai dari 15 persen, 30 sampai dengan 51 persen.
Semangat divestasi ini agar putra-putri Indonesia bisa menjadi petambang batubara juga. Jika dulu tambang batubara hanya diolah oleh perusahaan asing, maka dengan perjanjian itu ada kesempatan orang Indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri. Divestasi saham diprioritaskan dijual kepada pemerintah (pusat atau daerah) – tentunya boleh menggandeng pengusaha lokal juga.
Tapi rupanya, angka divestasi 51 persen saham PT KPC sangatlah besar. Sekitar US$ 419 juta atau Rp3,77 Triliun (kurs Rp9.000 dengan harga 100 persen PT KPC US$ 822, sesuai dengan perhitungan pemerintah dengan PT KPC sebelum akuisisi ke PT Bumi Resources tbk). Ini angka yang fantastis, menggiurkan, sehingga mengundang imajinasi jahat beberapa pihak. Persengkongkolan pengusaha dengan politikus serta oknum pemerintah sendiri.
Terbukti sudah. Kewajiban divestasi mulai diakali oleh para pemegang saham PT KPC, agar tidak pernah terjadi lagi. Hak Pemerintah Daerah dikaburkan agar menjadi hak kelompok tertentu. Kekuatan politik ikut masuk untuk membuat sebuah restu palsu.
Skenario persengkongkolan pengusaha – politikus – pemerintah itu terbaca dengan gamblang ketika ada kesempatan pemerintah provinsi Kaltim melakukan gugatan lewat arbitrase internasional kepada para pemegam saham PT KPC, baik yang lama Rio Tinto dan Beyond Petroleum maupun pemegang saham baru PT Bumi Resources tbk.
Semua organ yang bersengkongkol memainkan peranan masing-masing mengikuti selera dari para pemegang saham agar gugatan itu batal. Mulai dari mengulur-ulur jadwal pembicaraan soal pembiayaan persidangan, membuat opini bahwa jalur arbitrase tidak lebih baik dari negosiasi langsung, sampai dengan pencarian dukungan publik bahwa uang APBD tidak boleh digunakan untuk biaya berperkara di pengadilan.
Luar biasa. Demi membela sebuah korporasi yang menguras sumber daya alam Kalimantan Timur, tokoh-tokoh politik dan pemerintah daerah ini berani menyampingkan hak daerah dalam soal divestasi. Untuk sebuah persengkongkolan mereka berani merampok hak-hak daerah agar menjadi hak mereka. ***
Langganan:
Postingan (Atom)