Sejak 10 Agustus 2018 lalu, warga kita di dunia nyata dan dunia maya mengalami pembelahan dukungan yang begitu kuat. Ada kubu Joko Widodo – KH Maruf Amin dan kubu lainnya Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Dua pasangan itu sudah mendaftar ke KPU sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden RI.
Kubu pendukung Jokowi, sejak tahun 2014 silam akrab disebut pendukung lawan sebagai Cebong. Sementara para pendukung Prabowo Subianto disebut Kampret. Karena terus menerus mendapat stempel Cebong dan Kampret, sampai-sampai kedua kubu yang awalnya geram dengan istilah itu sekarang berbalik menjadi merasa bangga disebut cebonger dan kampreter.
Akhirnya, media sosial kita jadi gegap gempita aksi cebonger dan kampreter tentang Pilpres. Meski Pilpres baru akan digelar bulan April 2019, tapi hiruk pikuknya mengalahkan peristiwa akbar Asian Games ke-18 yang akan berlangsung di Jakarta dan Palembang. Termasuk juga mengalahkan berita peristiwa kemanusiaan gempa bumi yang menelan lebih 300 korban jiwa di Pulau Lombok.
Bertambah dahsyat, karena adanya pendukung baru bawaan calon wakil presiden. Yakni para pendukung Prof DR KH Maruf Amin yang menjadi cawapresnya Jokowi dan Sandiaga Uno cawapresnya Prabowo. Entahlah, semoga saja para pendukung baru ini sudah siap pula menanggung beban stempel cebongeratau kampreter.
Baru sehari pendaftaran, puluhan narasi memojokkan sudah diproduksi para pihak. Misalnya narasi yang begini; “Karena kami sayang dengan ulama, saya tidak tega mencoblosnya pada Pilpres 2019 nanti,” tulis sebuah akun di twitter.
Ada juga yang membandingkan kuat-kuatan dukungan ulama kepada kubu Prabowo dan kubu Jokowi. Misalnya begini; “Kalau Jokowi itu memilih ulama, sedangkan Prabowo adalah pilihan ulama”.
Maksudnya, Jokowi yang memilih wakilnya dari ulama, sedangkan Prabowo dipilih ulama untuk menjadi Presiden. Seperti kita tahu bahwa sebelum diumumkan sebagai Capres dan Cawapres, Prabowo disetujui para ulama pendukung aksi 212 sebagai capres, dengan tambahan dua nama ulama sebagai Cawapresnya, yakni KH Salim Segaf dan Ust Abdul Somad. Namun akhirnya Prabowo tidak mengikuti saran ulama dengan memilih Sandiaga Uno sebagai Cawapresnya.
Serangan kepada Sandiaga Uno juga tak kalah seru. Karena dia adalah Wakil Gubernur DKI yang belum genap satu tahun menjabat dan dianggap tidak menunjukkan prestasi di pemerintahah Jakarta. Sandiaga bisa terpilih oleh Prabowo disebut-sebut karena punya logistik yang cukup untuk ikut kontestasi Pilpres. Kekayaan Sandiaga Uno yang berasal dari unsur pengusaha sesuai laporan ke KPK tidak kurang dari Rp5 Triliun.
Urusan logistik ini menyeruak jadi isu tajam dan sempat membuat kubu Partai Demokrat marah. Kemarahan itu dimunculkan seorang pengurusnya, Andi Arief di twitter dan juga wawancara dengan Wartawan. Wakil Sekretaris Partai Demokrat itu menyebut ada politik mahar dari Sandiaga Uno sebesar Rp500 miliar untuk tiap-tiap partai pengusung Prabowo-Sandi, yakni PKS dan PAN. Karena sebelumnya Demokrat mendapat angin segar dari Prabowo agar bergabung dalam koalisinya, dengan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) sebagai cawapresnya.
Karena Prabowo ingkar dengan janjinya itu, Andi Arief malah terang-terangan menyebut Prabowo sebagai Jenderal Kardus. Yang kurang lebih artinya adalah jenderal yang tidak jelas komitmennya.
Situasi betul-betul makin memanas. Media sosial diwarnai trending topic Jenderal Kardus bersama hastagnya yang dilempar kubu Demokrat. Hal itu memancing geram kubu Gerindra yang sempat menunjukkan emosional dengan menyebut Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Jenderal Baper alias bawa perasaan.
Masyarakat melihat dengan mata telanjang polemik antar kubu calon pemimpin bangsa ini. Baru sehari mendaftar di KPU, panasnya sudah begini. Bagaimana dengan perjalanan demokrasi menuju Pilpres yang kurang lebih tersisa waktu 8 bulan ke depan?
Ketika Jokowi menyampaikan pidato usai mendaftar di KPU, yakni mengatakan menjadikan demokrasi sebagai ajang adu gagasan, adu latarbelakang, adu prestasi, masyarakat merasa senang. Mudah-mudahan pesta demokrasi 2019 bisa terealisir. Walaupun saya meragukannya, karena realitanya hoaks terlanjur bertebaran di mana-mana.
Hoaks dan ujaran kebencian di media sosial kian mengkotak-kotakan masyarakat. Ruang-ruang publik menjadi tidak begitu bebas lagi. Pandangan yang rasional, berpikir positif, netralitas, jadi tertutup dengan dominasi opini salah satu kelompok yang belum jelas kebenarannya. Warga mengalami “ketakutan” karena jika melakukan perlawanan dengan bantahan atau teguran, salah-salah malah berpotensi berujung bentrok.
Isu agama juga masih begitu kental. Walaupun bukan antaragama lagi seperti ketika Pilkada DKI di mana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang Protestan maju sebagai cagub, tapi terlihat ada pihak yang merasa kehilangan dengan isu ‘koalisi umat’ yang pernah dimunculkan oleh Habib Riziek Syihab saat bertemu Prabowo Subianto, Amien Rais dan ulama alumni 212 di Mekkah.
Tagline ‘Koalisi Umat” yang hilang di kubu Prabowo karena menggandeng cawapres bukan ulama, sepertinya diupayakan untuk direbut kembali. Dengan cara yang bermacam-macam seperti menyebut Sandiaga Uno sebagai santri milenial. Kemudian juga menghidupkan kembali nostalgia 212 yang diklaim sukses mengantarkan Anies Baswedan – Sandiaga Uno menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta.
Skenario ‘Koalisi Umat’ cita-citanya menyatukan parpol Gerindra-PAN dan PKS yang sudah sejak lama bersama-sama, berkoalisi dengan ulama yang bergabung dalam aksi 212. Hanya saja tagline itu nampaknya kandas karena ternyata justru kubu Joko Widodo yang menggandeng ulama, yakni Ketua MUI KH Maruf Amin sebagai cawapresnya.
Siapa pada akhirnya yang lebih mendapat simpati umat? Sebagai warga negar, saya cuma bisa berdoa semoga tarik menarik itu tidak berujung pada perpecahan anak bangsa ini. Sudah cukup dalam Pilkada DKI saja demokrasi kita “berdarah-darah” karena ada polarisasi isu agama. @charlessiahaan
Samarinda, 11 Agustus 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar