Menyedihkan. Itulah komentar saya mengenai ulah para legislator Kaltim yang menolak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Divestasi Saham PT Kaltim Prima Coal (KPC). Apalagi untuk mereka yang mencabut dukungan tandatangan, setelah sebelumnya sepakat, setuju dibentuknya kelembagaan itu.
Divestasi saham PT KPC adalah masalah akut diremehkannya kekuatan lokal oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Tidak sekedar berbicara bisnis tentang hak daerah membeli saham perusahaan batubara berizin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), tapi juga mengandung cerita heroik, yakni sebuah pertahanan rakyat Kaltim atas sumber daya alam yang dihisap korporasi untuk kepentingan asing.
Mestinya, 100 persen saham perusahaan itu sudah berada di tangan pemerintah Kaltim. Sejak dimulai tahapan divestasi sekira 15 tahun silam, ternyata yang tampil sebagai ‘pemenang’ adalah PT Bumi Resources (BUMI) yang mengakuisisi PT KPC dalam grupnya. Yang terjadi hanya berpindah kepemilikan dari konglomerat yang satu kepada konglomerat yang lain. Rakyat Kaltim? Kembali menjadi penonton.
Ada sekitar 3 juta rakyat Kaltim tak dapat meraih apa yang menjadi haknya. Mereka hanya mampu berpolemik dengan suara-suara memohon; “itu hak kami.. itu hak kami”.
Jeritan rakyat ternyata juga hanya didengar oleh sebagian anggota DPRD Kaltim. Yang lain pura-pura tak mendengarkannya dan yang lainnya lagi malah berbalik arah membela habis-habisan keberadaan perusahaan yang di dalamnya ada saham Aburizal Bakrie, konglomerat yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Tak ada getaran hati, bahwa perusahaan itu telah menarik keuntungan yang sangat besar dengan cara menelikung apa yang mestinya menjadi hak beli orang daerah. Para politisi itu malah menikmati bersama-sama , yang mungkin – maaf – memang sudah dipelihara perusahaan agar menjadi agen mereka di parlemen. Agen korporasi yang siap membela kalau datang serangan yang mengancam keberadaan mereka.
Agen-agen korporasi itu bertebaran di mana-mana. Dengan uang yang diperoleh dari menggali sumber daya alam Kaltim mereka bisa merangkul kekuatan siapa saja. Dari unsur pemerintahan, militer, kepolisian, bahkan aktivis pemuda dan LSM serta wartawan. Mereka juga membayar pengacara , akademisi dan wartawan.
Tidak heran kalau akhirnya memang muncul data, bahwa di kawasan tambang manapun di Indonesia; tidak ada warga sekitar tambang yang hidup sejahtera. Mereka sangat miskin, tak berimbang dengan kondisi para karyawan perusahaan. Kalau sudah tahu masalahnya; kok masih ada para legislator tak membela rakyatnya. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar