menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Sabtu, 15 Agustus 2009
Listrik
MANTAN Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harry Murti, menantang wartawan di Kalimantan Timur. Kali ini bukan ‘tantangan’ soal jurnalistik, tapi bagaimana wartawan berperan agar listrik tidak byarpet lagi pada tahun 2010. “Bulan Juli tahun 2010, saya ke sini lagi dan kita lihat apakah persoalan listrik sudah selesai,” kata Bambang dalam suatu acara dengan para wartawan.
Sebelumnya anggota Dewan Pers itu mencibir tentang besarnya sumber daya alam yang dimiliki daerah ini, tapi masih mengalami krisis energi listrik. Wartawan lokal, menurut Bambang, bisa berperan mendorong dan berjuang untuk meluruskan kebijakan bidang energi itu.
Pertanyaannya; mengapa kebijakan energi listik perlu diluruskan dan mengapa wartawan dianggap berperan?
Sebenarnya, ini persoalan sederhana. Kalau saja kebijakan bidang energi seperti minyak dan gas tidak jor-joran diekspor untuk memenuhi kebutuhan orang asing. Begitupula batubara dan jaman sebelumnya adalah kayu tegakkan di hutan. Logisnya, penuhi dulu kebutuhan dalam negeri dan baru sisanya dijual ke asing.
Tapi pemerintah Indonesia tak mematuhi persoalan sederhana ini. Sejak jaman Orde Baru, pemerintah pusat cenderung memanfaatkan kekuasaannya untuk ’menjajah’ orang daerah secara pemikiran. Orang daerah tidak pernah diajak merundingkan untuk apa sumber daya alam yang ada di perut bumi itu.
Yang berpikir normal dan rasional pasti geli; punya hutan yang luas, tapi hampir diseluruh kabupaten / kota masyarakatnya sulit mendapat bahan baku kayu untuk membangun rumah sendiri. Punya kilang Migas dan batubara yang sangat besar, tapi tidak digunakan untuk pembangkit listrik sehingga masyarakatnya hidup dalam kegelapan.
Ini salah urus, karena model demokrasi masa lampau yang tidak memberikan kesempatan orang daerah - sebagai stakeholder atas segala sumber daya alam - berpikir tentang kebutuhannya. Pemerintahan yang waktu itu cenderung otoriter menjadikan semua sistim bernegara menjadi sentralistis. Daerah didikte pusat.
Memasuki era reformasi, daerah baru menyadari kalau semua sumber daya alam yang ada di perut bumi suatu daerah ternyata sebagian besar sudah ”diberikan” pengelolaannya kepada para pengusaha asing. Kontrak yang panjang tak bisa diputus di tengah jalan. Hasilnya; masyarakat marah karena tinggal di negeri kaya sumber daya alam, tapi menderita kekurangan energi.
Kesalahan tak boleh diulangi dan wartawan bisa menjadi pendorong perbaikan dari kebijakan masa lampau itu. Meluruskan kembali kebijakan bidang energi demi kepentingan rakyat Kaltim. Ayo!!*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar