Inilah berita mengejutkan yang dirilis oleh detikcom, awal bulan Pebruari 2014 lalu. Disebut-sebut, bahwa ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2013 lalu mencapai 5,78 persen. Papua menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.
Berita itu mengutip Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin yang menunjukkan, ekonomi di daerah ujung Indonesia itu tumbuh paling tinggi tahun 2013 lalu sebesar 14,84 persen. Kemudian posisi selanjutnya adalah Sulawesi Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi 9,38 persen dan Papua Barat 9,3 persen.
Selain itu ada beberapa provinsi yang berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Di antaranya Sumatera Utara 6,61 persen, Sumatera Barat 6,18 persen, Kepulauan Riau 6,13 persen, Jambi 7,88 persen, Sumatera Selatan 5,98 persen, dan DKI Jakarta 6,11 persen.
Daerah dengan pertumbuhan ekonomi paling rendah adalah Kalimantan Timur sebesar 1,59 persen dan Riau 2,61 persen, serta Aceh yang hanya mampu sebesar 4,18 persen atau di bawah rata pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian Bangka Belitung ekonominya tumbuh 5,29 persen, Yogyakarta 5,4 persen, Nusa Tenggara Barat 5,69 persen, Nusa Tenggara Timur 5,56 persen, Kalimantan Selatan 5,18 persen, dan Maluku 5,14 persen.
Dari analisa data tersebut, jelas memang bahwa justru Kaltim dan Riau yang mengalami persoalan besar pertumbuhan ekonominya. Kedua daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil Migas terbesar. Kaltim lebih kaya lagi, karena menjadi penghasil batu bara terbesar di negeri ini.
“Saya tidak bisa komentar. Tapi supannya ae,” celetuk Abrianto Amin, seorang pemerhati pemerintahan di Kutai Kartanegara di akun facebooknya menanggapi postingan berita dari media online detikcom itu.
Ahli-ahli ekonomi di Kaltim berteori; permasalahan rendahnya pertumbuhan ekonomi Kaltim dipengaruhi kondisi ekonomi global yang sedang mengalami krisis. Karena krisis finansial, belanja sektor energi diperketat dan akibatnya pembelian hasil tambang dari Kaltim merosot tajam. Sektor yang paling besar mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kaltim adalah Migas dan batu bara.
Oke lah teori itu benar. Tapi paling tidak ada upaya untuk memperbaiki sektor pertumbuhan ekonomi di Kaltim agar tidak terlalu bergantung dengan Migas dan tambang lainnya. Terbukti pula, meski begitu besar penjualan produksi dari sumber daya alam dari bumi Kalimantan Timur, ternyata tidak begitu dinikmati oleh warga setempat.
Hasil tambang dari perut bumi Kaltim berpindah tangan ke masyarakat internasional, dan yang mengoperasikan perpindahan tangan itu yang paling banyak menikmati hasilnya. Sedang warga lokal, jadi penonton. #
Primadona, Tapi Bukan Milik Rakyat
Biang kerok jebloknya pertumbuhan ekonomi Kaltim yang hanya 1,59 persen di tahun 2013 diyakini karena menurunnya realisasi sektor pertambangan dan industri pengolahan.
Sebutan daerah kaya untuk provinsi Kalimantan Timur nampaknya perlu diubah. Sebab faktanya isi tambang yang ada di perut bumi, bukan punya warga lokal. Semua punya negara yang izinnya diberikan kepada para pengusaha. Nah, para pengusaha sudah menjualnya ke luar negeri dan sedikit sekali untuk kebutuhan dalam negeri.
Fakta-fakta ini yang membuat ‘heboh’ rakyat Kaltim. Sejak awal Pebruari 2014, BPS (Badan Pusat Statistik) mengumumkan kalau pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun 2013 silam terendah secara nasional.
Di media-media sosial, masalah itu jadi pergunjingan. “Lho kok daerah kaya malah terpuruk seperti itu. Ini pukulan telak bagi pemerintah,” kata seorang warga di akun facebook.
Komentar lain; beginilah nasib daerah kaya tambang, kenapa juga kalian bisanya cuma ekspor ke China, kenapa bukan untuk pembangkit listrik sendiri supaya tidak byar pet.
Ada lagi komentar dari Abrianto Amin, aktivis pemerintahan di Kutai Kartanegara. “Saya gak mau berkomentar, cuman supannya ae (malunya, red),” ujarnya.
Di Kota Samarinda, Balikpapan, Kukar, Bontang maupun daerah lainnya, menurunnya pertumbuhan ekonomi seperti yang dikabarkan oleh BPS tidak memberikan reaksi apa-apa. Selama tahun 2013 lalu, yang terasa menurun memang adalah pertambangan batu bara. Aktivitas perusahaan tambang batu bara terasa lebih menurun. Ini ditandai dengan berkurangnya tenaga kerja sektor tersebut.
Dampaknya hanya terlihat di tempat-tempat hiburan malam dan dealer kendaraan bermotor. Waktu zaman batu bara berjaya beberapa tahun silam, tempat-tempat hiburan selalu gegap gempita dan pembelian kendaraan bermotor juga luar biasa besarnya.
Era batu bara belum berlalu sebenarnya. Karena menurut para ahli, potensinya di Kaltim masih bisa digarap sampai 100 tahun. Itu dengan asumsi kecepatan eksploitasi seperti sekarang yang sudah di atas 200 juta ton per tahun.
Warga lokal, hanya menjadi pekerja. Sedangkan pemilik lahan-lahan batu bara umumnya pengusaha besar dari luar daerah dan mancanegara. Satu lagi yang penting, lebih dari 70 persen hasil eksploitasi batu bara untuk pasar luar negeri.
Saat ada kabar negara-negara di eropa mengalami krisis ekonomi dan berpengaruh terhadap permintaan batu bara, industri pertambangan itu juga langsung terkena dampaknya. Krisis itu sudah terasa sejak 2012 silam dan belum pulih juga setelah memasuki 2014.
Dalam catatan Bank Indonesia (BI), produksi batu bara Indonesia tercatat terus tumbuh dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dua provinsi di Kalimantan menjadi penyumbang terbesar produksi batu bara nasional, yaitu Kaltim dan Kalsel.
"Share (porsi produksi batu bara) Kaltim terus mengalami tren meningkat dalam 3 tahun terakhir hingga 54 persen, sementara Kalsel cenderung menyusut," kata Ameriza M Moesa, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kaltim, dalam sebuah diskusi di kantor BI Perwakilan Kaltim, Jl Gadjah Mada, Samarinda, Rabu (19/2/2014).
Tidak hanya batu bara yang jadi primadona. Tambang lainnya yang sudah berjaya duluan adalah migas (minyak dan gas). Menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi minyak di Kalimantan member kontribusi hampir 30 persen produksi minyak nasional. Produksi Indonesia di kisaran 830.000-850.000 barel per hari (bph).
Lapangan yang menjadi tumpuan produksi nasional, salah satunya lapangan milik Chevron Indonesia Company (CICO). Tahun 2013 lalu dalam rencana kerja dan anggaran (work plan and budget) Chevron diminta memproduksi minyak 28.000 bph. Dengan rencana investasi hingga USD 700 juta.
Ada lagi PT Virginia Indonesia Company (VICO), perusahaan patungan BP Berau, Inggris dan ENI Italia, yang mengelola Blok Sanga-Sanga juga jadi tumpuan produksi di Kaltim.
Kemudian ada produksi gas Lapangan Jangkring yang dikelola ENI yang bakal menyalurkan gas ke Bontang untuk di ekspor sebagai gas alam cair (liquified natural gas/LNG) dan disalurkan ke pembeli domestik yaitu Pupuk Kaltim.
Total E&P Indonesia juga masih menggarap Blok Mahakam di Kutai Kartanegara. Sedangkan, blok Sebuku yang dikelola Pearl Oil Sebuku Limited direncanakan berproduksi mencapai 100 mmscfd.
Jadi, Kaltim kaya. Tapi betul itu bukan milik orang daerah itu. #les
///foto : kilang migas dan pertambangan batu bara///
Pengaruh Perusahaan Besar
Bank Indonesia menyebut, faktor rendahnya pertumbuhan ekonomi Kaltim yang hanya 1,59 persen tahun 2013, akibat menurunnya produksi sejumlah perusahaan pertambangan dan industri pengolahan besar.
Pertumbuhan ekonomi Kaltim pada tahun 2013 menjadi yang terendah di Indonesia yang hanya sebesar 1,59 persen. Angka ini jauh dari pertumbuhan ekonomi Papua yang mencapai 5,78 persen. Catatan ini tentu menjadi preseden buruk mengingat Kaltim disebut terus mengalami peningkatan investasi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim Ameriza Ma’ruf Moesa menyatakan, sebenarnya pada tahun 2013 ekonomi tidak terlalu bergejolak. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi Kaltim sangat dipengaruhi oleh perusahaan besar. Jika terjadi penurunan omzet perusahaan ini, maka perekonomian Kaltim ikut berpengaruh.
“Angka 1,59 persen itu sebenarnya sumbangsih paling besar dipengaruhi oleh dua sektor, yakni sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan. Dimana pada tahun 2013, kedua sektor tersebut menurun sehingga sangat mempengaruhi ekonomi Kaltim,” kata Ameriza, beberapa waktu lalu (14/2/2014).
Di sektor itu, kata Ameriza, sangat didominasi oleh perusahaan korporasi yang sangat besar. perusahaan-perusahaan raksasa ini mengalami penurunan omzet yang juga cukup besar. hasilnya, angka pertumbuhan pun menjadi kecil.
Dia kemudian menjelaskan, pada tahun 2013 sektor pertambangan mengalami penurunan harga secara global. Ini tentu turut mempengaruhi harga batu bara di Kaltim. Meski jumlah produksi batu bara tidak menurun, tapi karena harganya yang turun membuat pemasukan perusahaan menjadi kecil.
Sektor industri pengolahan di Kaltim yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah industri pengolahan migas. Pada sektor ini sangat dipengaruhi oleh Pertamina, LNG Badak dan PT Pupuk Kaltim. Pada tahun 2013, sektor ini mengalami penurunan produksi.
“Pada tahun 2013 ketiganya mengalami penurunan, sehingga sektor tersebut menyumbang angka yang besar pada penurunan pertumbuhan ekonomi di Kaltim,” tambahnya.
Bank Indonesia memprediksi, pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Kaltim akan mengalami peningkatan. Meski tidak besar, namun angka pertumbuhan itu akan mendorong sektor lain untuk terus tumbuh dan berkembang. #Aw
==
///foto: Lahan pertanian di Kaltim///
Angka 1,59 Persen tak Usah Dikhawatirkan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2013 lalu mencapai 5,78%. Tercatat daerah dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi adalah Papua, dengan capaian 14,84 persen. Sedangkan daerah dengan pertumbuhan ekonomi paling rendah adalah Kalimantan Timur, yakni sebesar 1,59 persen.
Meski demikian, Kepala Bank Indonesia Kaltim Amireza M Moesa mengatakan, angka 1,59 persen itu tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Banyak sektor lain yang saat ini terus berkembang. Sehingga, sektor pertambangan dan industri pengolahan yang selama ini sangat mempengaruhi perekonomian Kaltim, bisa digantikan dengan sektor lain.
“Di sektor lain, pertumbuhan ekonomi Kaltim malah mengalami peningkatan yang cukup tinggi, banyak sektor ekonomi lain yang tumbuh. Sektor pertambangan dan indsutri malah berada di bawah,” kata Ameriza, Jumat (14/2/2014).
Dia menyebut, tulang punggung ekonomi Kaltim yang sebenarnya adalah sektor pertanian dengan angka pertumbuhan mencapai angka 26,6 persen pada tahun 2013. Sehingga penurunan pertumbuhan ekonomi, tidak terlalu berdampak pada ekonomi masyarakat di Kaltim.
“Angka 1,59 persen adalah angka total dari semua sektor ekonomi, sehingga sangat dipengaruhi oleh sektor yang dikelola perusahaan besar. Kalau di klihat per sektor, hanya dua sektor yang mengalami penurunan. Sedang yang lainnya malah mengalami peningkatan. Lihat saja, pada tahun 2013 ekonomi menurun, tapi mall dan hotel di Kaltim malah ramai,” katanya.
Sektor
|
Angka pertumbuhan
| |
1
|
Pertanian
|
26,6 %
|
2
|
Perdagangan, Hotel dan restoran
|
21,6%
|
3
|
Pertambangan
|
10%
|
4
|
Industri
|
6%
|
///foto: aji sofyan effendi///
Tidak Berdampak ke Rakyat
Meski pertumbuhan ekonomi Kaltim menyusut terendah se Indonesia, hanya 1, 59 persen, tapi tidak berdampak ke perekonomian rakyat.
Anjlognya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur (Kaltim) dipandang tak terlalu berdampak pada kehidupan masyarakat Kaltim secara signifikan. Karena sejauh ini, sektor penunjang pertumbuhan ekonomi Kaltim terbesar tertumpu pada dua sektor yaitu migas, pertambangan dan penggalian, yang hanya sedikit saja bisa dinikmati masyarakat Kaltim.
“Pertumbuhan ekonomi di Kaltim yang terus menurun akhir-akhir ini patut dicermati. Namun demikian, dampak penurunan pertumbuhan ekonomi yang selama ini diinjeksi sektor migas, pertambangan dan penggalian tidak terlalu berdampak pada tingkat ekonomi masyarakat Kaltim secara luas,” terang Aji Sofyan Effendi, pengamat ekonomi yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, di Samarinda (12/2) kepada Bmagazine.
Sofyan mengungkapkan, lesunya dua sektor dominan yang sangat berpengaruh besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim yaitu migas, pertambangan dan penggalian menjadi penyebab anjlognya pertumbuhan ekonomi di Kaltim yang secara umum sejauh ini masih dinilai fluktuatif.
“Secara nasional, Kaltim salah satu penyumbang hasil migas terbesar ke pusat, namun bagi hasil yang diterima Kaltim dalam bentuk dana perimbangan sangat kecil. Karenanya, sungguh akan lebih baik lagi jika pertumbuhan ekonomi di Kaltim ini tak lagi tertumpu pada dua sektor tersebut. Tapi tujuh sektor selain migas dan pertambangan yang harus didongkrak karena mengandung value added lokal,” lanjut Sofyan.
Lebih jauh Sofyan berpendapat, bahwa dalam menyikapi pertumbuhan ekonomi tersebut tak bisa berfikir saklek secara angka. Namun sejauh mana pertumbuhan tersebut benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat secara langsung. Karenanya, sudah saatnya dilakukan pengembangan ditujuh sektor penunjang pertumbuhan ekonomi secara optimal. Perbankan pun diharap lebih peduli terhadap kebutuhan pengembangan usaha masyarakat menengah ke bawah.
Catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim menunjukkan, perekonomian Kaltim berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III di 2013 lalu mencapai Rp 104,2 triliun (dengan migas) dan, Rp 70,1 triliun (tanpa migas).
PDRB Kaltim mengalami kontraksi 0,28 persen, lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh positif 0,31 persen yang disebabkan lesunya sector-sektor dominan yaitu pertambangan dan penggalian yang turun minus 1,64 persen. Sebagai dampak menurunnya kinerja subsektor pertambangan dengan migas minus 3,75 persen, dan pertambangan tanpa migas atau batibara 0,89 persen.
Tidak hanya PDRB atas dasar harga berlaku. Penurunan kinerja tambang di Kaltim diikuti pula menurunnya sektor industri pengolahan, yang mengalami kontraksi minus 0,93 persen. Industri pengolahan dipengaruhi pula penurunan produksi industri gas alam cair minus 2,76 persen. #yuni
=
Kaltim Optimistis di 2014
Terpuruknya pertumbuhan ekonomi Kaltim pada tahun 2013 yang hanya 1, 59 persen, diproyeksi akan membaik pada tahun 2014.
Kepala Bank Indonesia Kaltim Amireza M Moesa menerangkan, pemerintah pada tahun 2014 menargetkan produksi batu bara sedikit lebih menurun dari target, namun Kaltim diperkirakan masih akan stabil pada level produksi 220 juta ton. Secara historis, pangsa pasar ekspor batu bara Indonesia ke China dalam 3 tahun terakhir tercatat konstan, dibanding porsi ekspor batu bara ke India yang semakin besar.
"Namun demikian dari permasalahan infrastruktur, lemahnya mata uang India dan tingginya inflasi, serta belum pulihnya sektor industri otomotif dan konstruksi, diproyeksi membawa impor batu bara India melemah triwulan I-2014," ujar Ameriza.
"Optimisme datang dari pasar China yang kembali melakukan pembelian batu bara Indonesia pasca tahun baru Imlek. Bahkan selain itu, badai salju, cukup ekstrem yang melanda beberapa distrik di China pada awal tahun membuat konsumsi listrik lebih tinggi dari level normalnya dan berpotensi menambah permintaan batu bara," tambahnya.
Sementara untuk pemenuhan kebutuhan domestik, dalam catatan BI, kebutuhan batu bara nasional diperkirakan masih akan stabil pada 95 juta ton di 2014. Mayoritas kebutuhan batu bara sebesar 82,4% digunakan oleh pembangkit listrik, baik milik negara maupun swasta.
"Meski harus diakui bahwa terdapat kekhawatiran terhadap penyerapannya akibat kendala yang dihadapi dalam proyek PLTU misalnya, antara lain aksi penolakan dari masyarakat dengan dalih faktor lingkungan," ungkap Ameriza.
Ameriza membeberkan, masih dalam catatan BI terkait proyeksi prospek ekonomi di 2014, PLTU milik PT PLN (Persero) memiliki kebutuhan 57,4 juta ton batu bara (60,1%), Independent Power Plant (IPP) membutuhkan 19,91 juta ton (20,8%), PLTU Non PLN dan IPP membutuhkan 1,39 juta ton (1,5%).
Sementara industri semen memerlukan 9,8 juta ton batu bara (10,3%), sektor metalurgi 3,23 juta ton (3,4%), sektor tekstil dan produk tekstil 2,06 juta ton (2,2%), industri pupuk memerlukan 1,16 juta ton (1,2%), serta industri pulp membutuhkan 0,6 juta ton (0,6%).
"Tercatat total kebutuhan batu bara domestik sebesar 95,55 juta ton di 2014," tambahnya.
Masih menurut Ameriza, tahun 2013 lalu juga menjadi catatan tersendiri bagi industri batu bara akibat rendahnya harga. Ameriza menyebutkan, Harga Batubara Acuan (HBA) telah menyentuh level terendah di Oktober 2013 lalu, yakni US$ 76,61 per ton, di mana pemulihan ekonomi sejumlah negara maju seperti China dan India yang menjadi tujuan ekspor yang terhambat, membuat kebutuhan industri terhadap energi batu bara tidak seperti yang diperkirakan banyak kalangan.
"Tahun lalu produksi batu bara nasional diestimasi meningkat 9,1% year on year menjadi 412 juta ton di 2013, melenceng dari target pemerintah sebanyak 368 juta ton. Sementara produksi Kaltim justru naik menjadi 218 juta ton," terang Ameriza. #