menulis bebas I politik oke I Ekonomi I entertainmen I sport I suami 1 istri I babenya 3 anak I Samarinda I Jakarta
Selasa, 16 Agustus 2011
Konstitusi Melenceng
Konstitusi kian melenceng, tepat sekali. Pangkal carut marutnya pengelolaan negeri ini bersumber dari klaim NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang menempatkan 'Jakarta' (Pemerintah Pusat) sebagai pemegang saham terbesar republik ini. Padahal, konsep NKRI bertentangan dengan sila ketiga Persatuan Indonesia. Konsep Persatuan Indonesia lahir karena ada 'negara-negara' kesultanan yang berkongsi membangun Republik Indonesia. Di Jawa ada Nyayogyakarta, di Sumatera, di Ternate di Sulawesi dan Kalimantan.
Sultan-sultan itu memiliki kekuasaan yang kemudian makin dikikis habis. Di Kalimantan Timur ada Kesultanan Kutai yang sempat dirayu bergabung ke RI dengan status Daerah Istimewa (1953), tapi kemudian dijadikan daerah setara dengan daerah-daerah lainnya.
Penyimpangan konstitusi Persatuan Indonesia menjadi Kesatuan Indonesia berakibat fatal, karena diterjemahkan dengan sistim negara sentralisasi yang kita anut di Orde Baru. Sumber daya alam Papua, Kalimantan dan di daerah-daerah diklaim milik 'Jakarta'. Akibat semua itu, daerah-daerah kaya pun menjadi daerah miskin. Simak data BPS dari sensus yang dirilis Oktober 2010 ini
10 Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
1 Papua Barat (36,80)
2 Papua (34,88)
3 Maluku (27,74)
4 Sulawesi Barat (23,19)
5 Nusa Tenggara Timur (23,03)
6 Nusa Tenggara Barat (21,55)
7 Aceh (20,98)
8 Bangka Belitung (18,94)
9 Gorontalo (18,70)
10 Sumatera Selatan (18,30)
Sumber: Sensus Nasional BPS 2010
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ada perubahan pada sistim sentralisasi menjadi desentrralisasi. Dengan memberikan kewenangan lebih besar pada daerah. Pusat hanya memegang lima kewenangan, Agama, Pertahanan, Keuangan, Politik LN dan Hukum. Tapi faktanya 'Jakarta' masih menjadi "Raja-Raja Besar" yang menganggap SDA di daerah milik Jakarta. UU Kehutanan, UU Minerba, semua bernafaskan sentralisasi gaya baru.
Tidak ada yang salah dalam penterjemahan itu, karena isi kepala pendiri negeri ini sudah tercekoki dengan singkatan NKRI itu. Bahkan sudah dipatok; NKRI Harga Mati.
Momentum 66 tahun Indonesia, ada baiknya memang kita renungkan kembali, bahwa negara Indonesia didirikan berdasarkan kesepakatan / konsensus para pemegang 'saham' dari Sabang sampai Merueke. Tapi karena faktor politik kuantitas, terutama dominasi Jawa, mengakibatkan suara daerah tidak didengar. Dikte 'Jakarta' berakibat terkurasnya sumber daya alam daerah dan membuat kemiskinan di daerah kaya SDA.
Indonesia harus kembali ke Persatuan Indonesia. Tepatnya Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI). Jakarta harus melepas egonya dan memberikan otonomi penuh kepada daerah-daerah mengelola sumber daya yang kaya itu.
charlessiahaan@bongkar.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)